script src='http://elmubarok.googlecode.com/files/floating1.js' type='text/javascript'/>

http://ikkibondenkkesmas.blogspot.com/2010/03/about-me.html

Kata Rasullullah ada tiga amalan yang jika dikerjakan maka Amalnya akan mengalir meskipun yang mengamalkannya telah meninggalal dunia diantaranya adalah ILMU BERMANFAAT YANG DIAJARKAN.

Monday, 2 February 2009

KOLERA dan VIBRIOSES

Postingan kali ini bersumber dari E-Book dengan Judul Manual Pemberantasan Penyakit Menular, by James Chin, MD, MPH Editor dan Dr, I Nyoman Kandun, MPH Edisi Ke 17 tahun 2000

KOLERA dan VIBRIOSES lain ICD-9.001; ICD-10.A00
I. Vibrio kolera serogrup O1 dan O139.
1. Identifikasi.
Penyakit saluran pencernaan akut yang disebabkan oleh bakteri dan ditandai gejala dalam bentuknya yang berat dengan onset yang tiba-tiba, diare terus menerus, cair seperti air cucian beras, tanpa sakit perut, disertai muntah dan mual di awal timbulnya penyakit. Pada kasus-kasus yang tidak diobati dengan cepat dan tepat dapat terjadi dehidrasi, asidosis, kolaps, hipoglikemi pada anak serta gagal ginjal. Infeksi tanpa gejala biasanya lebih sering terjadi daripada infeksi dengan gejala, terutama infeksi oleh biotipe El Tor; gejala ringan dengan hanya diare, umum terjadi, terutama dikalangan anak-anak. Pada kasus berat yang tidak diobati (kolera gravis), kematian bisa terjadi dalam beberapa jam, dan CFR-nya bisa mencapai 50 %. Dengan pengobatan tepat, angka ini kurang dari 1 %.
Diagnosa ditegakkan dengan mengisolasi Vibrio cholera dari serogrup O1 atau O139 dari tinja. Jika fasilitas laboratorium tidak tersedia, Cary Blair media transport dapat digunakan untuk membawa atau menyimpan spesimen apus dubur (Rectal Swab).
Untuk diagnosa klinis presumtif cepat dapat dilakukan dengan mikroskop medan gelap atau dengan visualisasi mikroskopik dari gerakan vibrio yang tampak seperti shooting stars atau bintang jatuh, dihambat dengan antisera serotipe spesifik yang bebas bahan pengawet. Untuk tujuan epidemiologis, diagnosa presumtif dibuat berdasarkan adanya kenaikan titer antitoksin dan antibodi spesifik yang bermakna. Di daerah non-endemis, organisme yang diisolasi dari kasus indeks yang dicurigai sebaiknya dikonfirmasikan dengan pemeriksaan biokimiawi dan pemeriksaan serologis yang tepat serta dilakukan uji kemampuan organisme untuk memproduksi toksin kolera atau untuk mengetahui adanya gen toksin. Pada saat terjadi wabah, sekali telah dilakukan konfirmasi laboratorium dan uji sensitivitas antibiotik, maka terhadap semua kasus yang lain tidak perlu lagi dilakukan uji laboratorium
2. Penyebab Penyakit.
Vibrio cholera serogrup O1 terdiri dari dua biotipe yaitu Vibrio klasik dan Vibiro El Tor dan yang terdiri dari serotipe Inaba, Ogawa dan Hikojima (jarang ditemui). Vibrio cholera O139 juga menyebabkan kolera tipikal. Gambaran klinis dari penyakit yang disebabkan oleh Vibrio cholera O1 dari kedua biotipe dan yang disebabkan oleh Vibrio cholera O139 adalah sama karena enterotoksin yang dihasilkan oleh organisme ini hampir sama. Pada setiap kejadian wabah atau KLB, tipe organisme tertentu cenderung dominan, saat ini biotipe El Tor adalah yang paling sering ditemukan. Di kebanyakan daerah di India dan Bangladesh, sebagian besar dari kejadian kolera disebabkan oleh Vibrio cholera O139 dan Vibrio cholera O1 dari biotipe klasik ditemukan di Bangladesh selama dekade lalu. Beberapa jenis Vibrio yang secara biokimiawi tidak dapat dibedakan satu sama lain, tetapi tidak menggumpal dengan antisera Vibrio cholera serogrup O1 (strain non-O1, dahulu di kenal sebagai Vibrio yang tidak menggumpal (NAGs) atau juga dikenal sebagai “Non Cholera Vibrio” (NCVsJ) sekarang dimasukkan ke dalam spesies Vibrio cholera. Beberapa strain kolera memproduksi enterotoksin tetapi kebanyakan tidak. Sebelum tahun 1992, strain non-O1 diketahui sebagai penyebab diare sporadis dan jarang menyebabkan KLB dan tidak pernah sebagai penyebab wabah yang menelan korban banyak. Namun pada akhir tahun 1992 wabah kolera dengan dehidrasi berat terjadi di India dan Bangladesh dengan jumlah korban yang sangat banyak. Organisme penyebabnya adalah serogrup baru dari Vibrio cholera O139, yang menghasilkan toksin kolera yang sama dengan O1 tetapi berbeda, pada struktur lipo polisakaridanya (LPS) dan berbeda dalam kemampuan memproduksi antigen kapsuler. Gambaran klinis dan epidemiologis dari penyakit yang disebabkan oleh organisme ini dengan ciri khas kolera, dan harus dilaporkan sebagai kolera. Wabah oleh strain O-139 yang mempunyai faktor virulensi yang sama seperti Vibrio cholera O1 El Tor, faktor ini nampaknya diperoleh dari hilangnya bagian gen yang menyandikan (Encode) antigen lipo polisakarida dari O1 strain El Tor di ikuti dengan bersatunya sebagian besar fragmen dari DNA baru yang menyandikan (encoding) enzim yang memungkinkan terjadinya sintesa dari liposakarida dan kapsul dari O 139. Melaporkan Infeksi Vibrio cholera O1 non-toksikogenik atau infeksi Vibrio cholera non O1, selain O139 sebagai, kolera, adalah laporan yang tidak akurat dan membingungkan.
3. Distribusi penyakit.
Selama abad 19, pandemi kolera menyebar berulang kali dari delta Sungai Gangga di India ke seluruh dunia. Sampai dengan pertengahan abad ke 20, penyakit ini terbatas hanya terjadi di Asia, kecuali kejadian wabah kolera yang menelan banyak korban di Mesir pada tahun 1947. Selama setengah abad terakhir abad ke 20 gambaran epidemiologis kolera ditandai dengan 3 ciri utama.
1). Terjadinya pandemi ke 7 kolera yang disebabkan oleh Vibrio cholera O1 El Tor, dengan korban yang sangat banyak.
2). Diketahui adanya reservoir lingkungan dari kolera, salah satunya adalah di sepanjang pantai teluk Meksiko di AS.
3). Munculnya untuk pertama kali ledakan wabah besar dari Cholera gravis yang disebabkan oleh organisme Vibrio cholera dari serogrup selain O1, (Vibrio cholera O139).

Sejak tahun 1961, Vibrio cholera dari biotipe El Tor telah menyebar dari Indonesia melalui sebagian besar Asia ke Eropa Timur. Pada tahun 1970, biotipe ini masuk ke Afrika bagian barat dan menyebar dengan cepat di benua itu dan menjadi endemis di sebagian besar negara Afrika. Beberapa kali KLB kolera telah terjadi di semenanjung Iberia dan Itali pada tahun 1970 an.
Kolera El Tor kembali ke Benua Amerika di tahun 1991, sesudah menghilang selama satu abad dan menyebabkan ledakan-ledakan wabah sepanjang pantai Pasifik di Peru. Dari Peru, kolera dengan cepat menyebar ke negara-negara tetangga, dan pada tahun 1994, kira-kira 1 juta kasus kolera tercatat terjadi di Amerika Latin. Perlu di catat, walaupun manifestasi klinis penyakit ini sama beratnya dengan yang terjadi di bagian lain di dunia, namun keseluruhan CFR kolera di Amerika Latin bisa ditekan tetap rendah (sekitar 1%) kecuali di pedesaan di pegunungan Andes dan wilayah Amazona dimana fasilitas pelayanan kesehatan sangat jauh.
Perlu dicatat secara spesifik bahwa telah terjadi KLB kolera El Tor diantara pengungsi Rwanda di Goma, Zaire, pada bulan Juli tahun 1994 dengan 70.000 penderita dan 12.000 orang diantaranya tewas dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Secara keseluruhan, 384.403 penderita dan 10.692 kematian akibat kolera dilaporan ke WHO pada tahun 1994 oleh 94 negara. CFR global pada tahun 1994 adalah 2,8 % yang bervariasi dari 1% di AS, 1,3 % di Asia dan 5 % di Afrika.
Variasi angka ini mencerminkan perbedaan dalam sistim pelaporan dan akses terhadap pengobatan yang tepat, tidak menggambarkan virulensi dari organisme penyebab.
Kecuali untuk dua kasus kolera yang didapatkan karena infeksi dilaboratorium, dibelahan bumi bagian Barat tidak ditemukan penderita kolera indigenous sejak tahun 1911 sampai dengan 1973, pada saat itu di Texas ditemukan penderita dengan V. cholerae El Tor Inaba sebagai penyebab, dimana sumbernya tidak diketahui.
Pada tahun 1978 dan awal 1990 an ditemukan secara sporadis penderita dengan infeksi V. cholerae El Tor Inaba di Louisiana dan Texas.
Timbulnya kasus-kasus kolera diatas disepanjang Gulf Coast Amerika selama bertahun-tahun disebabkan oleh satu strain indigenous yang berasal dari reservoir lingkungan dari V. cholerae O1 El Tor Inaba disepanjang pantai teluk Mexico.
Pada bulan Oktober 1992, KLB kolera terjadi secara serentak di beberapa daerah di Negara Bagian Tamilnadu, India. Strain yang diisolasi dari KLB ini tidak menggumpal dengan antisera O1, begitu pula strain ini pada pemeriksaan laboratorium tidak dapat 104
diidentifikasi dengan panel standar antisera dari Vibrio cholera 138 non O1. Serogrup baru, yang disebut O 139 Bengal menyebar dengan cepat ke seluruh negara bagian dan kawasan sekitarnya, dalam beberapa bulan menyebabkan ratusan ribu orang terserang. Selama periode wabah, V. cholerae O139 menggantikan strain V. cholerae O1 pada hampir semua pasien yang dirawat di rumah sakit dan dari sampel yang diambil dari air permukaan. Wabah terus menyebar sepanjang tahun 1994 dengan penderita kolera O139 yang dilaporkan dari 11 negara di Asia. Strain baru ini diperkirakan menyebar ke benua lain melalui para pelancong yang terinfeksi didaerah tujuan wisata, tetapi tidak dilaporkan adanya penyebaran sekunder diluar Asia. Bahwa wabah O139 yang terjadi di Asia pada awal tahun 1990-an dipercaya sebagai awal terjadinya pandemi ke 8 dari kolera. Namun O139 bukan hanya tidak menyebar dan menyebabkan wabah di Afrika dan Amerika Selatan tetapi ia juga menghilang dengan cepat baik di India maupun Bangladesh. Dan bahkan menghilang dari daerah dimana strain ini berasal dan pernah menyebar. Kalaupun ditemukan dibagian lain didunia, O139 sebagai penyebab tidak lebih dari 5 – 10 % dari seluruh kasus kolera. Kolera O 139 di masa yang akan datang diduga dapat menyebabkan wabah yang sangat besar di bagian lain di dunia dan karenanya membutuhkan surveilans internasional yang terus menerus.
Semenjak kolera kembali menyerang Amerika Latin pada tahun 1990 an, para pelancong yang terserang kolera meningkat dengan tajam. Dengan menggunakan metode bakteriologis yang canggih (media TCBS) berbagai studi prospektif telah dilakukan dan membuktikan bahwa insiden kolera yang menyerang para pelancong di AS dan yang menyerang turis Jepang cukup tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya.
4. Reservoir
Reservoirnya adalah : Manusia; pengamatan yang dilakukan di AS, Bangladesh dan Australia selama lebih dari 2 dekade menunjukkan adanya reservoir lingkungan, dimana vibrio diduga hidup pada copepoda dan zooplankton yang hidup diperairan payau dan muara sungai.
5. Cara penularan
Masuk melalui makanan atau air minum yang terkontaminasi secara langsung atau tidak langsung oleh tinja atau muntahan dari orang yang terinfeksi. El Tor dan O139 dapat bertahan di air dalam jangka waktu yang lama. Pada saat wabah El Tor sekala besar terjadi di Amerika Latin pada tahun 1991, penularan yang cepat dari kolera terjadi melalui air yang tercemar karena sistem PAM perkotaan yang tidak baik, air permukaan yang tercemar, sistem penyimpanan air dirumah tangga yang kurang baik. Makanan dan minuman pada saat itu diolah dengan air yang tercemar dan di jual oleh pedagang kaki lima, bahkan es dan air minum yang dikemaspun juga tercemar oleh vibrio cholerae. Biji-bijian yang dimasak dengan saus pada saat wabah itu terbukti berperan sebagai media penularan kolera. Vibrio cholerae yang dibawa oleh penjamah makanan dapat mencemari salah satu dari jenis makanan yang disebutkan diatas yang apabila tidak disimpan dalam lemari es dalam suhu yang tepat, dapat meningkatkan jumlah kuman berlipat ganda dalam waktu 8 – 12 jam. Sayuran dan buah-buahan yang dicuci dan dibasahi dengan air limbah yang tidak diolah, juga menjadi media penularan. Terjadinya wabah maupun munculnya kasus sporadis sering disebabkan oleh karena mengkonsumsi seafood mentah atau setengah matang. Air yang tercemar sering berperan sebagai media penularan seperti yang
terjadi pada KLB di Guam, Kiribati, Portugal, Itali dan Ekuador. Pada kejadian lain, seperti di AS, kasus sporadis kolera justru timbul karena mengkonsumsi seafood mentah atau setengah matang yang ditangkap dari perairan yang tidak tercemar.
Sebagai contoh Kasus kolera yang muncul di Louisiana dan Texas menyerang orang-orang yang mengkonsumsi kerang yang diambil dari pantai dan muara sungai yang diketahui sebagai reservoir alami dari Vibrio cholera O1 serotipe Inaba, muara sungai yang tidak terkontaminasi oleh air limbah. Kolera klinis didaerah endemis biasanya ditemukan pada kelompok masyarakat ekonomi lemah.
6. Masa inkubasi : Dari beberapa jam sampai 5 hari, biasanya 2 – 3 hari.
7. Masa penularan
Diperkirakan selama hasil pemeriksaan tinja masih positif, orang tersebut masih menular, berlangsung sampai beberapa hari sesudah sembuh. Terkadang status sebagai carrier berlangsung hingga beberapa bulan. Berbagai jenis antibiotika diketahui efektif terhadap strain infektif (misalnya tetrasiklin untuk strain O139 dan kebanyakan strain O1). Pemberian antibiotika memperpendek masa penularan walaupun sangat jarang sekali, ditemukan infeksi kandung empedu kronis berlangsung hingga bertahun-tahun pada orang dewasa yang secara terus menerus mengeluarkan vibrio cholerae melalui tinja.
8. Kekebalan dan kerentanan.
Resistensi dan kerentanan seseorang sangat bervariasi achlorhydria, lambung meningkatkan risiko terkena penyakit, sedangkan bayi yang disusui terlindungi dari infeksi. Kolera gravis biotipe El Tor dan Vibrio cholera O139 secara bermakna lebih sering menimpa orang-orang dengan golongan darah O. Infeksi oleh V. cholerae O1 atau O139 meningkatkan titer antibodi penggumpalan maupun antibodi terhadap toksin dan meningkatkan daya tahan terhadap infeksi. Serum antibodi terhadap Vibrio Cholera bisa dideteksi sesudah terjadi infeksi oleh O1 (namun uji spesifik, sensitif dan prosedur pemeriksaan yang dapat dipercaya seperti untuk O1 saat ini tidak ada untuk infeksi O139). Adanya serum antibodi terhadap vibrio cholerae ini sebagai bukti adanya perlindungan terhadap kolera O1. Studi lapangan menunjukkan bahwa infeksi klinis awal oleh Vibrio cholera O1 dari biotipe klasik memberikan perlindungan terhadap infeksi biotipe klasik maupun El Tor; sebaliknya infeksi klinis awal oleh biotipe El Tor memberikan perlindungan jangka panjang namun sangat rendah dan terbatas terhadap infeksi El Tor saja. Di daerah endemis, kebanyakan orang memperoleh antibodi pada awal masa beranjak dewasa. Infeksi oleh strain O1 tidak memberi perlindungan terhadap infeksi O 139 dan sebaliknya. Studi eksperimental yang dilakukan pada sukarelawan, menunjukkan bahwa infeksi klinis awal oleh Vibrio cholera O139 memberikan proteksi yang cukup bermakna terhadap diare karena infeksi Vibrio cholera O139.
9. Cara – cara pemberantasan
A. Tindakan pencegahan.
1). Lihat demam Tifoid, 9A 1-7.
2). Pemberian Imunisasi aktif dengan vaksin mati whole cell, yang diberikan secara parenteral kurang bermanfaat untuk penanggulangan wabah maupun untuk penanggulangan kontak. Vaksin ini hanya memberikan perlindungan parsial (50%)
dalam jangka waktu yang pendek (3 – 6 bulan) di daerah endemis tinggi tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi asimptomatik; oleh karena itu pemberian imunisasi tidak direkomendasikan. Dua jenis Vaksin oral yang memberikan perlindungan cukup bermakna untuk beberapa bulan terhadap kolera yang disebabkan oleh strain O1, kini tersedia di banyak negara. Pertama adalah vaksin hidup (strain CVD 103 – HgR, dosis tunggal tersedia dengan nama dagang Orachol® di Eropa dan Mutacol di Kanada, SSV1); yang lainnya adalah vaksin mati yang mengandung vibrio yang diinaktivasi ditambah dengan subunit B dari toksin kolera, diberikan dalam 2 dosis (Dukoral, SBL). Sampai dengan akhir tahun 1999, vaksin-vaksin ini belum mendapat lisensi di AS.
3). Tindakan pencegahan yang melarang atau menghambat perjalanan orang, pengangkutan bahan makanan atau barang tidak dibenarkan.
B. Pengawasan penderita, kontak atau lingkungan sekitarnya
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan kasus kolera umumnya diwajibkan sesuai dengan Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulation,1969). Edisi beranotasi Ketiga (Third Annotated Edition, 1983), dan IHR yang di perbarui dan di cetak ulang pada tahun 1992, WHO, Geneva; kelas 1 (lihat tentang pelaporan penyakit menular). Saat ini sedang dilakukan revisi terhadap IHR.
2). Isolasi : perawatan di rumah sakit dengan memperlakukan kewaspadan enterik di perlukan untuk pasien berat; isolasi ketat tidak diperlukan. Untuk penderita yang tidak begitu berat, dapat di perlakukan sebagai penderita rawat jalan, diberi rehidrasi oral dan antibiotika yang tepat. Ruang perawatan kolera yang penuh sesak dengan penderita dapat di operasikan tanpa perlu khawatir dapat menimbulkan ancaman penularan kepada petugas kesehatan dan pengunjung asalkan prosedur cuci tangan secara efektif serta prosedur kebersihan perorangan di laksanakan dengan baik. Pemberantasan terhadap lalat juga perlu dilakukan.
3). Disinfeksi serentak : Dilakukan terhadap tinja dan muntahan serta bahan-bahan dari kain (linen, seperti sprei, sarung bantal dan lain-lain) serta barang-barang lain yang digunakan oleh penderita, dengan cara di panaskan, diberi asam karbol atau disinfektan lain. Masyarakat yang memiliki sistem pembuangan kotoran dan limbah yang modern dan tepat, tinja dapat langsung dibuang ke dalam saluran pembuangan tanpa perlu dilakukan disinfeksi sebelumnya. Pembersihan menyeluruh.
4). Karantina :Tidak diperlukan.
5). Manajemen kontak : Lakukan surveilans terhadap orang yang minum dan mengkonsumsi makanan yang sama dengan penderita kolera, selama 5 hari setelah kontak terakhir. Jika terbukti kemungkinan adanya penularan sekunder didalam rumah tangga, anggota rumah tangga sebaiknya di beri pengobatan kemoprofilaksis; untuk orang dewasa adalah tetrasiklin (500 mg 4 kali sehari) atau doksisiklin (dosis tunggal 300 mg) selama 3 hari, kecuali untuk strain lokal yang diketahui atau diduga resisten terhadap tetrasiklin. Anak-anak juga bisa diberikan tetrasiklin (50mg/kg/hari dibagi ke dalam 4 dosis) atau doksisiklin (dosis tunggal 6 mg/kg) selama 3 hari, dengan pemberian tetrasiklin dalam waktu yang singkat, tidak akan terjadi noda pada gigi. Pengobatan profilaktik alternatif yang bisa  digunakan untuk strain V. cholerae O1 yang resisten terhadap tetrasiklin adalah: Furazolidon (Furoxone®) (100 mg 4 kali sehari untuk orang dewasa dan untuk anak-anak 1.25 mg/kg 4 kali sehari), eritromisin (dosis anak-anak 40 mg/kg sehari dibagi ke dalam 4 dosis dan untuk orang dewasa 250 mg, 4 kali sehari); TMP-SMX (320 mg TMP dan 1600 mg SMX dua kali sehari untuk orang dewasa dan 8 mg/kg TMP dan 40 mg/kg SMX sehari dibagi ke dalam 2 dosis untuk anak-anak); atau siprofloksasin (500 mg dua kali sehari untuk orang dewasa). TMP-SMX tidak bermanfaat untuk infeksi V. cholerae O139 karena strain ini resisten pada obat-obat antimikroba jenis ini. Kemoprofilaksis masal untuk semua anggota masyarakat tidak pernah di lakukan karena dapat menyebabkan resistensi terhadap antibiotika. Imunisasi terhadap kontak tidak dianjurkan.
6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : Lakukan investigasi terhadap kemungkinan sumber infeksi berasal dari air minum dan makanan yang terkontaminasi. Makanan yang dikonsumsi 5 hari sebelum sakit harus di tanyakan. Pencarian dengan cara mengkultur tinja untuk kasus-kasus yang tidak dilaporan hanya disarankan dilakukan terhadap anggota rumah tangga atau terhadap orang-orang yang kemungkinan terpajan dengan satu sumber (Common source) didaerah yang sebelumnya tidak terinfeksi.
7). Pengobatan spesifik : Ada tiga cara pengobatan bagi penderita Kolera : 1). Terapi rehidrasi agresif. 2). Pemberian antibiotika yang efektif. 3). Pengobatan untuk komplikasi. Dasar dari terapi kolera adalah rehidrasi agresif melalui oral dan intravena yang dilakukan untuk memperbaiki kekurangan cairan dan elektrolit, juga untuk mengganti cairan akibat diare berat yang sedang berlangsung. Antibiotika yang tepat adalah terapi tambahan yang sangat penting terhadap pemberian cairan, karena pemberian antibiotika dapat mengurangi volume dan lamanya diare dan dengan cepat mengurangi ekskresi dari vibrio sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya penularan sekunder. Akhirnya pada saat terapi rehidrasi cukup efektif, dan penderita tertolong dari renjatan hipovolemik dan tertolong dari dehidrasi berat, penderita dapat mengalami komplikasi seperti hipoglikemi yang harus di ketahui dan di obati dengan segera. Jika hal diatas dilakukan dengan baik maka angka kematian (CFR) bahkan pada ledakan KLB di negara berkembang dapat ditekan dibawah 1 %.
Untuk memperbaiki dehidrasi, asidosis dan hipokalemia pada penderita dengan dehidrasi ringan hingga sedang cukup dengan hanya memberikan larutan rehidrasi oral (Oralit) yang mengandung glukosa 20g/l (atau sukrosa 40 gr/l atau dengan air tajin 50g/L), NaCl (3.5 g/L), KCl (1.5 g/L); dan trisodium sitrat dihidrat (2.9 g/L) atau NaHCO3 (2.5 g/L). Kehilangan cairan pada penderita dengan dehidrasi ringan hingga sedang di perbaiki dengan rehidrasi oral sebagai pengganti cairan, diberikan lebih dari 4 – 6 jam, agar jumlah yang diberikan dapat mengganti cairan yang diperkirakan hilang (kira-kira 5 % dari berat badan untuk dehidrasi ringan dan 7 % pada dehidrasi sedang). Kehilangan cairan yang berlangsung terus dapat digantikan dengan memberikan, selama lebih dari 4 jam, cairan per oral sebanyak 1.5 kali dari volume tinja yang hilang selama 4 jam sebelumnya.
Penderita yang menderita renjatan sebaiknya diberi rehidrasi intra vena cepat dengan larutan multielektrolit seimbang yang mengandung kira-kira 130 mEq/L Na+, 25 - 48 mEq/L bikarbonat, asetat atau ion laktat, dan 10-15 mEq/L K+.
Larutan yang sangat bermanfaat antara lain Ringer’s laktat atau Larutan Pengobatan Diare dari WHO (4 gr NaCl, 1 g KCl, 6.5 gr natrium asetat dan 8 gr glukosa/L) dan “Larutan Dacca” (5 g NaCL, 4 gr NaHCO3, dan 1 g KCL/L), yang dapat dibuat ditempat pada keadaan darurat. Penggantian cairan awal sebaiknya diberikan 30ml/kg BB pada jam pertama untuk bayi dan pada 30 menit pertama untuk penderita berusia diatas 1 tahun, dan sesudahnya pasien harus di nilai kembali. Sesudah dilakukan koreksi terhadap sistem cairan tubuh yang kolaps, kebanyakan penderita cukup diberikan rehidrasi oral untuk melengkapi penggantian 10 % defisit awal cairan dan untuk mengganti cairan hilang yang sedang berlangsung.
Antibiotika yang tepat dapat memperpendek lamanya diare, mengurangi volume larutan rehidrasi yang dibutuhkan dan memperpendek ekskresi vibrio melalui tinja. Orang dewasa diberi tetrasiklin 500 mg 4 kali sehari dan anak anak 12.5 mg/kg 4 kali sehari selama 3 hari. Pada saat Strain V. cholerae yang resisten terhadap tetrasiklin sering ditemukan, maka pengobatan dilakukan dengan pemberian antimikroba alternatif yaitu TMP-SMX (320 mg trimethoprim dan 1600 mg sulfamethoxazol dua kali sehari untuk orang dewasa dan 8 mg/kg trimethoprim dan 40 mg/kg sulfamethoxazol sehari dibagi dalam 2 dosis untuk anak-anak, selama 3 hari); furazolidon (100 mg 4 kali sehari untuk orang dewasa dan 1.25 mg/kg 4 kali sehari untuk anak-anak, selama 3 hari); atau eritromisin (250 mg 4 kali sehari untuk orang dewasa dan 10 mg/kg 3 kali sehari untuk anak-anak selama 3 hari). Siprofloksasin, 250 mg sekali sehari selama 3 hari, juga merupakan regimen yang baik untuk orang dewasa. V. cholerae strain O139 resisten terhadap TMP-SMX. Oleh karena ditemukan strain O139 atau O1 yang mungkin resisten terhadap salah satu dari antimikroba ini, maka informasi tentang sensitivitas dari strain lokal terhadap obat-obatan ini perlu diketahui, jika fasilitas untuk itu tersedia, informasi ini digunakan sebagai pedoman pemilihan terapi antibiotika yang tepat.
C. Penanggulangan wabah.
1). Berikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di daerah risiko tinggi untuk segera mencari pengobatan bila sakit.
2). Sediakan fasilitas pengobatan yang efektif
3). Lakukan tindakan darurat untuk menjamin tersediaanya fasilitas air minum yang aman. Lakukan klorinasi pada sistem penyediaan air bagi masyarakat, walaupun diketahui bahwa sumber air ini tidak terkontaminasi. Lakukan klorinasi atau masaklah air yang akan di minum, dan air yang akan dipakai untuk mencuci alat-alat masak dan alat-alat untuk menyimpan makanan kecuali jika tersedia air yang telah di klorinasi dengan baik dan terlindungi dari kontaminasi.
4). Lakukan pengawasan terhadap cara-cara pengolahan makanan dan minuman yang sehat. Setelah diolah dan dimasak dengan benar, lindungi makanan tersebut dari kontaminasi oleh lalat dan penanganan yang tidak saniter; makanan sisa sebaiknya di panaskan sebelum dikonsumsi. Orang yang menderita diare sebaiknya tidak menjamah atau menyediakan makanan dan minuman untuk orang lain. Makanan yang disediakan pada upacara pemakaman korban kolera mungkin tercemar dan selama wabah berlangsung makanan di tempat seperti ini sebaiknya dihindari.
5). Lakukan investigasi dengan sungguh-sungguh dengan desain sedemikian rupa untuk menemukan media dan lingkungan yang memungkinkan terjadinya penularan menurut variable orang, tempat dan waktu serta buatlah rencana penanggulangan yang memadai.
6). Sediakan fasilitas pembuangan sampah dan limbah domestik sesuai dengan syarat kesehatan.
7). Pemberian imunisasi dengan suntikan vaksin kolera Whole cell tidak dianjurkan.
8). Pada saat situasi wabah relatif mulai tenang, vaksin kolera oral dapat diberikan sebagai tambahan terhadap upaya penanggulangan wabah kolera. Namun, vaksin ini sebaiknya tidak digunakan pada saat suasana masih panik atau pada saat terjadi kekurangan persediaan air yang parah yang dapat mempengaruhi penyediaan terapi rehidrasi oral.
D. Implikasi bencana : risiko terjadinya KLB sangat tinggi di daerah di suatu daerah endemis kolera, apabila didaerah tersebut orang berkumpul bersama dalam jumlah besar tanpa penanganan makanan yang baik serta tanpa tersedianya fasilitas sanitasi yang memadai.
E. Tindakan internasional :
1). Pemerintah suatu negara harus segera melaporkan kepada WHO dan negara tetangga melalui media elektronika apabila pertama kali ditemukan penderita kolera yang disebabkan oleh V. cholerae O1 atau O139 dari suatu daerah/wilayah yang sebelumnya bebas dari kolera. Tidak perduli apakah kasus itu adalah kasus import ataukah bukan. Di AS, para klinisi dan ahli mikrobiologi melaporkan setiap kasus yang di curigai sebagai kolera kepada ahli epidemiologis negara bagian; dan departemen kesehatan negara bagian tersebut akan melaporkan kasus ini ke CDC, Atlanta. CDC kemudian akan mengkonfirmasikan kasus ini dan selanjutnya melaporkan ke WHO.
2). Tindakan dan prosedur untuk mencegah penularan yang di terapkan pada kapal laut, pesawat udara dan angkutan darat yang datang dari daerah terjangkit kolera tercantum dalam Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulation) 1996, Edisi beranotasi ke tiga (Third Annotated Edition, 1983), di perbaharui dan di cetak ulang pada tahun 1992 oleh WHO di Genewa. IHR saat ini sedang direvisi, diharapkan edisi revisi ini bias selesai pada tahun 2005.
3). Pelancong internasional: Imunisasi dengan suntikan vaksin kolera whole cell tidak direkomendasikan oleh WHO bagi mereka yang mengadakan perjalanan dari suatu negara ke negara di manapun di dunia dan secara resmi tidak ada satu negarapun yang mensyaratkan pemberian imunisasi ini. Imunisasi dengan vaksin oral dianjurkan bagi mereka yang akan mengadakan perjalanan dari negara maju ke negara endemis ataupun kenegara yang sedang mengalami wabah kolera. Di negara-negara ini dimana vaksin oral telah memperoleh ijin beredar, imunisasi dianjurkan untuk diberikan kepada pelancong yang diketahui mempunyai faktor risiko, seperti mereka dengan hipoklorhidria (sebagai akibat dari gastrektomi ataupun pengobatan) atau kepada mereka yang menderita penyakit jantung (misalnya aritmia), orang tua ataupun mereka dengan golongan darah O. Sejak akhir tahun 1999, vaksin ini tidak lagi di ijinkan beredar di AS.
Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulation) menyatakan bahwa : “orang yang melakukan perjalanan internasional, dan datang dari daerah terjangkit kolera yang masih dalam masa inkubasi serta orang yang menunjukkan gejala kolera, harus menyerahkan tinjanya untuk dilakukan pemeriksaan”.
4). Manfaatkan Pusat – pusat kerjasama WHO. 

No comments:

Post a Comment