script src='http://elmubarok.googlecode.com/files/floating1.js' type='text/javascript'/>

http://ikkibondenkkesmas.blogspot.com/2010/03/about-me.html

Kata Rasullullah ada tiga amalan yang jika dikerjakan maka Amalnya akan mengalir meskipun yang mengamalkannya telah meninggalal dunia diantaranya adalah ILMU BERMANFAAT YANG DIAJARKAN.

Monday 2 February 2009

DIARE YANG DISEBABKAN OLEH ESCHERICHIA COLI

DIARE YANG DISEBABKAN OLEH ESCHERICHIA COLI
ICD-9 008.0; ICD-10 A04.0-A04.4
Strain Escherichia coli penyebab diare terdiri dari enam kategori utama: 1) entero-hemorrhagic; 2) enterotoxigenic; 3) enteroinvasive; 4) enteropathogenic; 5) enteroaggregative; dan 6) diffuse adherent. Setiap kategori mempunyai patogenesis yang berbeda, perbedaan virulensi, dan terdiri dari serotype O:H yang terpisah. Juga terlihat adanya perbedaan gejala klinis dan gambaran epidemiologis.
I. DIARE YANG DISEBABKAN OLEH STRAIN ENTEROHEMORAGIKA
ICD-9 008.0; ICD-10 A04.3
(EHEC, E. coli penghasil toksin Shiga [STEC]
E. coli O 157:H7, E. coli penghasil verotoksin) [VTEC]
1. Identifikasi
Kategori E. coli penyebab diare ini dikenal pada tahun 1982 ketika terjadi suatu KLB colitis hemoragika di Amerika Serikat yang disebabkan oleh serotipe yang tidak lazim, E. coli O157:H7 yang sebelumnya tidak terbukti sebagai patogen enterik. Diare dapat bervariasi mulai dari yang ringan tanpa darah sampai dengan terlihat darah dengan jelas dalam tinja tetapi tidak mengandung lekosit. Yang paling ditakuti dari infeksi EHEC adalah sindroma uremia hemolitik (HUS) dan purpura trombotik trombositopenik (TTP). Kira-kira 2-7% dari diare karena EHEC berkembang lanjut menjadi HUS. EHEC mengeluarkan sitotoksin kuat yang disebut toksin Shiga 1 dan 2. Toksin Shiga 1 identik dengan toksin Shiga yang dikeluarkan oleh Shigella dysentriae 1; khususnya, HUS juga dikenal suatu komplikasi berat dari penyakit S. dysentriae 1. Sebelumnya toksin-toksin ini disebut verotoksin 1 dan 2 atau toksin I dan II mirip-Shiga. Keluarnya toksin-toksin ini tergantung pada adanya “phages” tertentu yang dibawa oleh bakteri. 161
Disamping itu strain EHEC mengandung plasmid yang ganas yang membantu menempelnya bakteri pada mukosa usus. Kebanyakan strain EHEC mempunyai pulau pathogen di dalam kromosomnya yang mengandung bermacam gen virulen dengan kode-kode protein tertentu penyebab terjadinya penempelan dan penyembuhan luka pada mukosa usus.
Di Amerika Utara strain dari serotipe EHEC yang paling umum adalah 0157:H7, dapat diidentifikasi dari kultur tinja, terlihat dari ketidakmampuannya meragikan sarbitol dari media seperti MacConkey-sorbitol (media ini digunakan untuk skrining E. coli 0157:H7). Sejak diketahui bahwa pada strain EHEC yang bisa meragikan sarbitol, maka teknik lain untuk mendeteksi EHEC perlu dikembangkan. Teknik yang perlu dikembangkan ini termasuk kemampuan mendeteksi adanya toksin Shiga. Kemampuan melakukan identifikasi karakteristik serotipe atau penggunaan probes DNA untuk identifikasi gen toksin punya kemampuan mendeteksi adanya plasmid virulens EHEC atau sekuensi spesifik dalam pulau patogenik. Tidak adanya demam pada kebanyakan pasien dapat membantu membedakan penyakit ini dari shigellosis dan disentri yang disebabkan oleh strain enteroinvasive E. coli atau oleh Campylobacter.
2. Penyebab Penyakit
Serotipe EHEC utama yang ditemukan di Amerika Utara adalah E. coli 0157:H7; serotipe lainnya seperti 026:H11; 0111:H8; 0103:H2; 0113:H21; dan 0104:H21 juga ditemukan.
3. Distribusi Penyakit
Penyakit ini sekarang ini dianggap masalah kesehatan masyarakat di Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Jepang, ujung selatan Amerika Selatan dan Australia. Sedangkan di bagian lain belahan bumi, penyakit ini belum menjadi masalah. KLB hebat, KLB dengan colitis hemoragika, HUS disertai dengan kematian terjadi di Amerika karena hamburger yang tidak dimasak dengan baik, susu yang tidak dipasteurisasi, cuka apel (dibuat dari apel yang kemungkinan tercemar kotoran sapi) dan karena mengkonsumsi tauge alfafa.
4. Reservoir
Ternak merupakan reservoir EHEC terpenting; manusia dapat juga menjadi sumber penularan dari orang ke orang. Terjadi peningkatan kejadian di Amerika Utara dimana rusa dapat juga menjadi reservoir.
5. Cara Penularan
Penularan terjadi terutama karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi seperti: tercemar dengan Salmonella, hal ini paling sering terjadi karena daging sapi yang tidak dimasak dengan baik (terutama daging sapi giling) dan juga susu mentah dan buah atau sayuran yang terkontaminasi dengan kotoran binatang pemamah biak. Seperti halnya Shigella, penularan juga terjadi secara langsung dari orang ke orang, dalam keluarga, pusat penitipan anak dan asrama yatim piatu. Penularan juga dapat melalui air, misalnya pernah dilaporkan adanya KLB sehabis berenang di sebuah danau yang ramai dikunjungi orang dan KLB lainnya disebabkan oleh karena minum air PAM yang terkontaminasi dan tidak dilakukan klorinasi dengan semestinya.
6. Masa Inkubasi
Relatif panjang berkisar antara 2 sampai 8 hari, dengan median antara 3-4 hari. 162
7. Masa Penularan
Lamanya ekskresi patogen kira-kira selama seminggu atau kurang pada orang dewasa dan 3 minggu pada kira-kira sepertiga dari anak-anak. Jarang ditemukan “carrier” yang berlarut-larut.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Dosis infeksius sangat rendah. Hanya sedikit yang diketahui tentang spektrum dari kerentanan dan kekebalan. Umur tua mempunyai risiko lebih tinggi, hipoklorhidria diduga menjadi faktor yang terkontribusi pada tingkat kerentanan. Anak usia di bawah 5 tahun berisiko paling tinggi untuk mendapat HUS.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan
Mengingat bahwa penyakit ini sangat potensial menimbulkan KLB dengan kasus-kasus berat maka kewaspadaan ini dari petugas kesehatan setempat untuk mengenal sumber penularan dan melakukan pencegahan spesifik yang memadai sangat diperlukan. Begitu ada penderita yang dicurigai segera lakukan tindakan untuk mencegah penularan dari orang ke orang dengan cara meminta semua anggota keluarga dari penderita untuk sering mencuci tangan dengan sabun dan air terutama buang air besar, sehabis menangani popok kotor dan sampah, dan melakukan pencegahan kontaminasi makanan dan minuman. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengurangi Distribusi Penyakit sebagai berikut:
1) Mengelola kegiatan rumah pemotongan hewan dengan benar untuk mengurangi kontaminasi daging oleh kotoran binatang.
2) Pasteurisasi susu dan produk susu.
3) Radiasi daging sapi terutama daging sapi giling.
4) Masaklah daging sapi sampai matang dengan suhu yang cukup terutama daging sapi giling. The USA Food Safety Inspection Service dan the 1997 FDA Food Code merekomendasikan memasak daging sapi giling pada suhu internal 155ºF (68ºC) paling sedikit selama 15-16 detik. Hanya dengan melihat warna merah muda daging yang menghilang, tidak dapat dibandingkan dengan kecepatan pengukuran suhu menggunakan termometer daging.
5) Lindungi dan lakukan pemurnian dan klorinasi air PAM; lakukan klorinasi kolam renang.
6) Pastikan bahwa kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan pada pusat penampungan anak, terutama sering mencuci tangan dengan sabun dan air sudah menjadi budaya sehari-hari.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada pejabat kesehatan setempat: Laporan kasus infeksi E. coli 0157:H7 merupakan keharusan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat dan di banyak negara, Kelas 2B (lihat tentang pelaporan penyakit menular). Mengenal KLB secara dini dan segera melaporkan kepada Dinas Kesehatan setempat sangatlah penting.
2) Isolasi: Selama penyakit dalam keadaan akut, tindakan pencegahan dengan kewaspadaan enterik.
163
Walaupun dengan dosis infektif yang amat kecil, pasien yang terinfeksi dilarang menjamah makanan atau menjaga anak atau merawat pasien sampai hasil sampel tinja atau suap dubur negatif selama 2 kali berturut-turut (diambil 24 jam secara terpisah dan tidak lebih cepat dari 48 jam setelah pemberian dosis antibiotik yang terakhir).
3) Disinfeksi serentak: dilakukan terhadap tinja dan barang-barang yang terkontaminasi. Masyarakat yang mempunyai sistem pembuangan kotoran modern dan memadai, tinja dapat dibuang langsung kedalam saluran pembuangan tanpa dilakukan desinfeksi. Pembersihan terminal.
4) Karantina: tidak ada.
5) Penatalaksanaan kontak: Jika memungkinkan mereka yang kontak dengan diare dilarang menjamah makanan dan merawat anak atau pasien sampai diare berhenti dan hasil kultur tinja 2 kali berturut-turut negatif. Mereka diberitahu agar mencuci tangan dengan sabun dan air sehabis buang air besar dan sebelum menjamah makanan atau memegang anak dan merawat pasien.
6) Penyelidikan kontak dan sumber infeksi: kultur kontak hanya terbatas dilakukan pada penjamah makana, pengunjung dan anak-anak pada pusat perawatan anak dan situasi lain dimana penyebaran infeksi mungkin terjadi. Pada kasus sporadic, melakukan kultur makanan yang dicurigai tidak dianjurkan karena kurang bermanfaat.
7) Pengobatan spesifik: Penggantian cairan dan elektrolit penting jika diare cair atau adanya tanda dehidrasi (lihat Kolera, 9B7). Peranan pengobatan antibiotika terhadap infeksi E. coli 0157:H7 dan EHEC lainnya tidak jelas. Bahkan beberapa kejadian menunjukkan bahwa pengobatan dengan TMP-SMX fluorquinolones dan antimikrobial tertentu lainnya dapat sebagai pencetus komplikasi seperti HUS.

C. Penanggulangan Wabah
1) Laporkan segera kepada pejabat kesehatan setempat jika ditemukan adanya kelompok kasus diare berdarah akut, walaupun agen penyebab belum diketahui.
2) Cari secara intensif media (makanan atau air) yang menjadi sumber infeksi, selidiki kemungkinan terjadinya penyebaran dari orang ke orang dan gunakan hasil penyelidikan epidemiologis ini sebagai pedoman melakukan penanggulangan yang tepat.
3) Singkirkan makanan yang dicurigai dan telusuri darimana asal makanan tersebut; pada KLB keracunan makanan yang common-cource; ingatan terhadap makanan yang dikonsumsi dapat mencegah banyak kasus
4) Jika dicurigai telah terjadi KLB dengan penularan melalui air (waterborne), keluarkan perintah untuk memasak air dan melakukan klorinasi sumber air yang dicurigai dibawah pengawasan yang berwenang dan jika ini tidak dilakukan maka sebaiknya air tidak digunakan.
5) Jika kolam renang dicurigai sebagai sumber KLB, tutuplah kolam renang tersebut dan pantai sampai kolam renang diberi klorinasi atau sampai terbukti bebas kontaminasi tinja. Sediakan fasilitas toilet yang memadai untuk mencegah kontaminasi air lebih lanjut oleh orang-orang yang mandi.
6) Jika suatu KLB dicurigai berhubungan dengan susu, pasteurisasi dan masak dahulu susu tersebut sebelum diminum.
7) Pemberian antibiotik untuk pencegahan tidak dianjurkan.
164

8) Masyarakatkan pentingnya mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar; sediakan sabun dan kertas tissue.

D. Implikasi menjadi bencana: Potensial terjadi bencana jika kebesihan perorangan dan sanitasi lingkungan tidak memadai (lihat Demam Tifoid, 9D).
E. Penanganan Internasional: Manfaatkan Pusat kerja sama WHO.
II. DIARE YANG DISEBABKAN STRAIN ENTEROTOKSIGENIK (ETEC)
ICD-9 008.0; ICD-10 A04.1
1. Identifikasi
Penyebab utama “travelers diarrhea” orang-orang dari negara maju yang berkunjung ke negara berkembang. Penyakit ini juga sebagai penyebab utama dehidrasi pada bayi dan anak di negara berkembang. Strain enterotoksigenik dapat mirip dengan Vibrio cholerae dalam hal menyebabkan diare akut yang berat (profuse watery diarrhea) tanpa darah atau lendir (mucus). Gejala lain berupa kejang perut, muntah, asidosis, lemah dan dehidrasi dapat terjadi, demam ringan dapat/tidak terjadi; gejala biasanya berakhir lebih dari 5 hari.
ETEC dapat diidentifikasi dengan membuktikan adanya produksi enterotoksin dengan teknik immunoassays, bioasay atau dengan teknik pemeriksaan probe DNA yang mengidentifikasikan gen LT dan ST (untuk toksin tidak tahan panas dan toksin tahan panas) dalam blot koloni.
2. Penyebab Penyakit
ETEC yang membuat enterotoksin tidak tahan panas (a heat labile enterotoxin = LT) atau toksin tahan panas ( a heat stable toxin = ST) atau memproduksi kedua toksin tersebut (LT/ST). Penyebab lain adalah kelompok serogroup O yaitu: O6, O8, O15, O20, O25, O27, O63, O78, O80, O114, O115, O128ac, O148, O153, O159 dan O167.
3. Distribusi Penyakit
Penyakit yang muncul terutama di negara yang sedang berkembang. Dalam 3 tahun pertama dari kehidupan, hampir semua anak-anak di negara-negara berkembang mengalami berbagai macam infeksi ETEC yang menimbulkan kekebalan; oleh karena itu penyakit ini jarang menyerang anak yang lebih tua dan orang dewasa. Infeksi terjadi diantara para pelancong yang berasal dari negara-negara maju yang berkunjung ke negara-negara berkembang. Beberapa KLB ETEC baru-baru ini terjadi di Amerika Serikat.
4. Reservoir
Manusia. Infeksi ETEC terutama oleh spesies khusus; manusia merupakan reservoir strain penyebab diare pada manusia.
5. Cara Penularan
Melalui makanan yang tercemar dan jarang, air minum yang tercemar. Khususnya penularan melalui makanan tambahan yang tercemar merupakan cara penularan yang 165
paling penting terjadinya infeksi pada bayi. Penularan melalui kontak langsung tangan yang tercemar tinja jarang terjadi.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi terpendek adalah 10 – 12 jam yang diamati dari berbagai KLB dan dari studi yang dilakukan dikalangan sukarelawan dengan strain LT dan ST tertentu. Sedangkan masa inkubasi dari ETEC yang memproduksi sekaligus toksin ST dan LT adalah 24-72 jam.
7. Masa Penularan
Selama ada ETEC patogen bisa berlangsung lama.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Dari hasil berbagai studi epidemiologis dan berbagai studi yang dilakukan pada sukarelawan secara jelas menunjukkan imunitas serotipik spesifik terbentuk setelah infeksi ETEC. Infeksi ganda dengan serotipe yang berbeda dibutuhkan untuk menimbulkan imunitas yang broad-spectrum terhadap ETEC.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan:
1) Untuk tindakan pencegahan penularan fecal oral; lihat bab Demam Tifoid 9A.
2) Bagi pelancong dewasa yang bepergian dalam waktu singkat ke daerah risiko tinggi dimana tidak mungkin mendapat makanan dan minuman yang bersih dan sehat, dapat dipertimbangkan pemberian antibiotikka profilaksis; norfloxacin 400 mg sehari memberikan hasil yang efektif. Bagaimanapun, pendekatan yang paling baik adalah dengan terapi dini, dimulai pada saat terjadi diare yaitu sesudah diare hari kedua dan ketiga (Lihat bagian 9B7, di bawah).

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporkan kejadian diare ke pejabat kesehatan setempat: Laporan jika terjadi wabah wajib dibuat; kasus individual tidak dilaporkan, Kelas 4 (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: kewaspadaan enterik dilakukan jika ada kasus-kasus yang jelas dan yang dicurigai.
3) Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap tinja dan benda-benda yang tercemar. Di masyarakat dengan sistem pembuangan kotoran yang modern dan memadai, tinja dapat dibuang langsung kedalam saluran tanpa didesinfeksi awal. Lakukan pembersihan terminal yang seksama.
4) Karantina: Tidak ada.
5) Imunisasi terhadap kontak: Tidak ada.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak perlu.
7) Pengobatan khusus: Pemberian cairan elektrolit untuk mencegah atau mengatasi dehidrasi merupakan tindakan yang terpenting (lihat Kolera, bagian 9B7). Kebanyakan kasus tidak membutuhkan terapi apapun. Bagi traveler’s diarrhea dewasa yang berat, lakukan pengobatan dini dengan Ioperamide (Imodium®) (tidak untuk anak-anak) dan antibiotik seperti Fluoroquinolone (Ciprofloksasin PO
166

500 mg dua kali sehari) atau norfloksasin (PO 400 mg sehari) selama 5 hari. Fluoroquinolon digunakan sebagai terapi awal karena kebanyakan strain ETEC di dunia sudah resisten terhadap berbagai antimikroba lainnya. Namun demikian, jika strain lokal diketahui masih ada yang sensitif. Pemberian TMP-SMX (PO) (160 mg – 180 mg) dua kali sehari atau doksisiklin (PO 100 mg) sekali sehari, selama 5 hari ternyata masih bermanfaat. Pemberian makanan diteruskan sesuai dengan selera pasien.

C. Penanggulangan Wabah: Investigasi epidemiologis perlu dilakukan untuk mengetahui cara-cara terjadinya penularan.
D. Implikasi terjadinya bencana: Tidak ada.
E. Penanganan Internasional: Manfaatkan Pusat Kerjasama WHO.

III.DIARE YANG DISEBABKAN STRAIN ENTEROINVASIVE (EIEC)
ICD-9 008.0; ICD-10 A04.2
1. Identifikasi
Penyakit yang menimbulkan peradangan mukosa dan submukosa usus disebabkan oleh strain EIEC dari E. coli yang mirip sekali dengan Shigella. Organisme ini mempunyai kemampuan plasmid dependent yang sama untuk menginvasi dan memperbanyak diri didalam sel epitel. Namun demikian secara klinis sindrom watery diarrhea yang disebabkan oleh EIEC lebih sering terjadi daripada disentri. Antara antigen O dari EIEC dapat terjadi reaksi silang dengan antigen O Shigella. Gejala penyakit dimulai dengan kejang perut yang berat, rasa tidak enak badan, tinja cair, tenesmus dan demam, kurang dari 10% dari penderita berkembang dengan gejala sering buang air besar dengan tinja yang cair dalam jumlah sedikit dan mengandung darah dan lender.
EIEC dicurigai jika ditemukan lekosit pada sediaan usap lendir tinja yang dicat, gambaran ini juga ditemukan pada shigellosis. Pemeriksaan laboratorium rujukan antara lain immunoassay yang dapat mendeteksi plasmid encoded protein spesific membrane bagian luar yang dikaitkan dengan invasivitas sel epitel; suatu bioassay (tes keratoconjunctivitis pada marmot untuk mendeteksi invasivitas sel epitel; sedangkan DNA probe untuk mendeteksi enteroinvasivitas plasmid).
2. Penyebab Penyakit
Penyebab penyakit adalah strain E. coli yang memiliki kemampuan enteroinvasif yang tergantung pada virulensi antigen plasmid dari invasi encoding plasmid. Serogroup O utama dimana EIEC termasuk didalamnya antara lain: O28ac, O29, O112, O124, O136, O143, O144, O152, O164 dan O167.
3. Distribusi Penyakit
Infeksi EIEC endemis di negara berkembang dan kira-kira 1%-5% penderita diare mencari 167
pengobatan dengan mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan. KLB diare yang disebabkan oleh EIEC dilaporkan juga terjadi di negara-negara maju.
4. Reservoir: - Manusia.
5. Cara Penularan
Dari kejadian yang ada menunjukkan bahwa EIEC ditularkan melalui makanan yang tercemar.
6. Masa Inkubasi
Masa inkubasi berkisar antara 10 – 18 jam. Angka ini didapatkan dari penelitian yang dilakukan dikalangan sukarelawan dan dari pengamatan berbagai KLB yang pernah terjadi.
7. Masa Penularan
Selama strain EIEC masih ditemukan dalam tinja.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Sedikit sekali yang diketahui tentang kerentanan dan kekebalan terhadap EIEC.
9. Cara-cara Pemberantasan
Sama seperti ETEC yang diuraikan di atas. Untuk kasus-kasus diare berat yang jarang terjadi yang disebabkan oleh strain enteroinvasif seperti pada shigellosis, pengobatan dengan menggunakan antimikroba cukup efektif terhadap isolasi Shigella lokal.
IV. DIARE YANG DISEBABKAN STRAIN ENTEROPATOGENIK
ICD-9 008.0; ICD-10 A04.0
(EPEC, Enteritis yang disebabkan oleh Enteropatogenik E. coli)
1. Identifikasi
Ini adalah kategori tertua dari E. coli penyebab diare yang ditemukan dalam studi yang dilakukan pada tahun 1940-an dan tahun 1950-an dimana serotipe O:H tertentu diketahui sebagai penyebab diare musim panas pada bayi, KLB diare pada tempat perawatan bayi dan KLB diare yang menimpa bayi di masyarakat. Penyakit diare pada kategori ini terbatas pada bayi-bayi berumur kurang dari setahun yang menderita “watery diarrhea” dengan lendir, demam dan dehidrasi. EPEC menyebabkan disolusi mikrovili enterosit dan memacu melekatnya bakteri kepada enterosit. Diare pada bayi bisa berlangsung berat dan lama dan di negara-negara berkembang merupakan penyebab kematian yang tinggi.
EPEC sementara dapat dikenal dengan aglutinasi antisera untuk mendeteksi serogroup EPEC O namun untuk konfirmasi baik tipe O maupun H diperlukan reagensia yang bermutu tinggi. EPEC memperlihatkan kemampuan melekat pada sel HEP-2 dalam kultur sel, kemampuan yang membutuhkan adanya plasmid EPEC yang virulens. (EPEC adherence factor = EAF) DNA probe dapat mendeteksi plasmid EPEC yang virulens. 168
Diperkirakan ada sekitar 98% korelasi antara melekatnya EPEC dengan HEP-2 (localized adherence) dan positivitas EAF probe.
2. Penyebab Penyakit
Serogroup EPEC O utama yaitu O55, O86, O111, O119, O125, O126, O127, O128ab dan O142.
3. Distribusi Penyakit
Sejak akhir tahun 1960-an, EPEC tidak lagi sebagai penyebab utama diare pada bayi di Amerika Utara dan Eropa. Namun EPEC masih sebagai penyebab utama diare pada bayi di beberapa Negara sedang berkembang seperti Amerika Selatan, Afrika bagian Selatan dan Asia.
4. Reservoir : - Manusia
5. Cara Penularan
Dari makanan bayi dan makanan tambahan yang terkontaminasi. Di tempat perawatan bayi, penularan dapat terjadi melalui ala-alat dan tangan yang terkontaminasi jika kebiasaan mencuci tangan yang benar diabaikan.
6. Masa Inkubasi
Berlangsung antara 9 – 12 jam pada penelitian yang dilakukan di kalangan dewasa. Tidak diketahui apakah lamanya masa inkubasi juga sama pada bayi yang tertular secara alamiah.
7. Masa Penularan - Tergantung lamanya ekskresi EPEC melalui tinja dan dapat berlangsung lama.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Walaupun fakta menunjukkan bahwa mereka yang rentan terhadap infeksi adalah bayi namun tidak diketahui apakah hal ini disebabkan oleh faktor kekebalan ataukah ada hubungannya dengan faktor umur atau faktor lain yang tidak spesifik. Oleh karena itu diare ini dapat ditimbulkan melalui percobaan pada sukarelawan dewasa maka kekebalan spesifik menjadi penting dalam menentukan tingkat kerentanan. Infeksi EPEC jarang terjadi pada bayi yang menyusui (mendapat ASI).
9. Cara-cara Penanggulangan
A. Cara Pencegahan
1) Menganjurkan para ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif sampai dengan usia 4 – 6 bulan. Siapkan perangkat yang memadai untuk pemberian ASI. Bantu para ibu agar mau menyusui bayi-bayi mereka. Apabila produksi ASI tidak mencukupi, bayi dapat diberikan ASI dari donor yang sudah dipasteurisasi sampai
169

si bayi dipulangkan. Susu formula bayi sebaiknya disimpan dalam suhu kamar hanya untuk jangka pendek saja. Dianjurkan sedini mungkin menggunakan cangkir untuk minum daripada menggunakan botol.
2) Lakukan perawatan dalam satu kamar bagi ibu dan bayi di rumah bersalin, kecuali ada indikasi medis yang jelas untuk memisahkan mereka. Jika ibu atau bayi mengalami infeksi saluran pencernaan atau pernapasan, tempatkan mereka dalam satu kamar tetapi dipisahkan mereka dari pasangan yang sehat. Di fasilitas yang mempunyai ruang perawatan khusus, pisahkan bayi yang terinfeksi dari bayi prematur maupun dari penderita penyakit lainnya.
3) Sediakan peralatan tersendiri bagi setiap bayi, termasuk termometer, simpan di bassinet (ayunan/buaian bayi). Jangan menggunakan tempat mandi atau meja perawatan bersama dan jangan menggunakan bassinet untuk membawa atau memindahkan lebih dari satu bayi pada waktu yang sama.
4) Pencegahan terjadinya KLB di rumah sakit sangat tergantung pada kebiasaan mencuci tangan sewaktu menangani bayi dan tetap menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan sesuai dengan standar.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Kalau terjadi wabah wajib dilaporkan. Kasus perorangan tidak wajib dilaporkan; Kelas 4 (lihat pelaporan tentang penyakit menular). Jika ditemukan dua atau lebih kasus baru penderita diare di tempat perawatan bayi atau muncul setelah seorang penderita diare dipulangkan dari tempat perawatan maka perlu dilakukan investigasi lebih lanjut.
2) Isolasi: Perlu dilakukan kewaspadaan enterik terhadap penderita dan mereka yang diduga sebagai penderita.
3) Desinfeksi serentak: Lakukan desinfeksi terhadap semua barang yang tercemar dan terhadap tinja.
4) Karantina: Lakukan kewaspadaan enterik dan pengamatan dengan metode kofort (lihat 9 C di bawah).
5) Imunisasi kontak: Tidak dilakukan.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Keluarga dari bayi yang baru keluar dari perawatan di rumah sakit perlu dihubungi untuk melihat perkembangan penyakit dari si bayi (lihat 9 C di bawah).
7) Pengobatan spesifik: Yang paling utama adalah pemberian cairan elektrolit baik oral maupun parenteral (lihat Cholera, 9B7). Kebanyakan penderita tidak membutuhkan pengobatan. Untuk diare yang berat pada bayi yang disebabkan mikroorganisma enteropatogenik pemberian TMP-SMX (10 – 50 mg/kg BB/hari) membantu meringankan penyakit dan memperpendek masa sakit; diberikan selama 5 hari dalam dosis yang dibagi menjadi 3-4 kali sehari. Mengingat bahwa banyak strain EPEC yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotika, pemilihan jenis antibiotika harus didasarkan kepada hasil tes sensitivitas terhadap strain lokal. Pemberian makanan dan ASI tidak boleh dihentikan.

C. Penanggulangan Wabah
1) Semua bayi dengan diare dirawat dalam satu ruangan dan jangan lagi menerima penitipan bayi jika pada tempat penitipan bayi tersebut ditemukan penderita diare.
170

Untuk KLB yang terjadi di ruangan perawatan bayi (lihat juga 9B1): Hentikan untuk sementara pelayanan KIA kecuali dapat dijamin disediakannya tempat pelayanan KIA yang benar-benar bersih dengan petugas dan peralatan yang terpisah; jika pertimbangan medis mendukung maka setiap bayi yang terinfeksi dipulangkan segera untuk dirawat di rumah. Bagi bayi-bayi yang terpajan dengan tempat perawatan bayi yang terinfeksi, sediakan tenaga perawatan khusus yang sudah terlatih untuk menangani penyakit menular pada bayi. Lakukan pengamatan paling sedikit selama 2 minggu setelah penderita diare terakhir meninggalkan tempat perawatan. Kasus baru yang ditemukan segera dimasukkan ke ruang perawatan khusus. Pelayanan KIA dimulai lagi setelah semua kontak baik bayi maupun ibu telah dipulangkan serta telah dilakukan pembersihan dan desinfeksi ruangan dengan baik. Terapkan rekomendasi 9A di ruangan gawat darurat.
2) Lakukan investigasi KLB dengan benar untuk mengetahui distribusi penyakit berdasarkan waktu, tempat dan orang dan cari faktor risiko yang melatarbelakangi.

D. Implikasi bencana: - Tidak ada.
E. Tindakan Internasional: Manfaatkan Pusat kerja sama WHO.

V. DIARE YANG DISEBABKAN OLEH ENTEROAGGREGATIVE E. COLI
(EaggEC) ICD-9 008.0; ICD-10 A04.4
Kategori yang disebabkan oleh E. coli, sebagai penyebab utama diare pada bayi di negara berkembang dan biasa menyebabkan diare persisten pada bayi. Pada percobaan binatang (hewan), organisme E. coli memperlihatkan karakter hispatologi dimana EaggEC melekat pada enterosit dalam biofilm tebal dari kumpulan bakteri dan lendir. Saat ini metode yang luas dipakai untuk mengidentifikasi EaggEC adalah dengan Hep-2 assay, dimana strain-strain menghasilkan ciri khas berupa “Stacked brick” berpola mengumpul melekat satu dengan yang lainnya dan melekat dengan sel HEP2; ini adalah ciri dari plasmid dependent yang dimediasi oleh “Novel Fimbriae”. Kebanyakan EaggEC memiliki satu atau lebih cytotoxin/enterotoxin yang diduga sebagai penyebab diare cair dengan lendir yang ditemukan pada bayi-bayi dan anak-anak yang terinfeksi oleh jenis pathogen ini. Pada pemeriksaan ditemukan DNA probe. Masa inkubasi diperkirakan kurang lebih 20 – 48 jam.
1. Identifikasi
E. coli yang menyebabkan diare pada bayi ditemukan pada studi yang dilakukan di Chili pada akhir tahun 1980-an. Kemudian ditemukan di India yang dihubungkan dengan terjadinya diare persisten (diare yang berlanjut dan tidak mereda hingga 14 hari). Begitu pula telah ditemukan di Brasil, Meksiko dan Bangladesh. 171
2. Penyebab Infeksi
Penyebab infeksi adalah EaggEC yang mengandung plasmid virulens yang dibutuhkan untuk pembentukan fimbriae yang membawa kode-kode yang mampu melakukan pelekatan yang bersifat agregatif dan banyak strain yang mampu membuat cytotoxin/enterotoxin. EaggEC serotipe O yang paling umum ditemukan adalah: O3:H2 dan O44:H18. Banyak strain EaggEC mula-mula muncul sebagai strain-strain kasar yang tidak mengandung antigen-antigen O.
3. Distribusi Penyakit
Laporan-laporan yang mengaitkan EaggEC sebagai penyebab diare pada bayi terutama diare persisten datang dari banyak negara di Amerika Latin, Asia dan Republik Demokrasi Kongo (dulu disebut Zaire) di Afrika. Laporan-laporan yang datang dari Jerman dan Inggris menunjukkan bahwa EaggEC mungkin juga sebagai penyebab diare di negara-negara maju.
VI. DIARE YANG DISEBABKAN OLEH DIFFUSE-ADHERENCE E. COLI
(Diffuse-Adherence E. Coli = DAEC) ICD-9 008.0; ICD-10 A04.4
Kategori keenam E. coli yang menyebabkan diare dikenal sebagai E. coli (DAEC). Nama ini diberi berdasarkan ciri khas pola perekatan bakteri ini dengan sel-sel HEP-2 dalam kultur jaringan. DAEC adalah kategori E. coli penyebab diare yang paling sedikit diketahui sifat-sifatnya. Namun demikian data dari berbagai penelitian epidemiologi di lapangan terhadap diare pada anak-anak di negara-negara berkembang menemukan DAEC secara bermakna sebagai penyebab diare yang umum ditemukan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Sedangkan studi lain gagal menemukan perbedaan ini. Namun bukti-bukti awal menunjukkan bahwa DAEC lebih patogenik pada anak prasekolah dibandingkan dengan pada bayi dan anak di bawah tiga tahun (Batita). Pada penelitian lain ada strain DAEC yang dicobakan pada sukarelawan tidak berhasil menimbulkan diare dan belum pernah ditemukan adanya KLB diare yang disebabkan oleh DAEC. Sampai saat ini belum diketahui reservoir bagi DAEC, begitu pula belum diketahui cara-cara penularan dan faktor risiko serta masa penularan DAEC. 172
DIFTERIA ICD-9 032; ICD-10 A36
1. Identifikasi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteria faringotonsiler, diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang sedang dan berat ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ekstensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Gejala lain yang muncul belakangan antara lain neuropati yang mirip dengan Guillain Barre Syndrome. Tingkat kematian kasus mencapai 5-10% untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama 50 tahun. Bentuk lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.
Pengaruh toksin difteria pada lesi perifer tidak jelas. Difteria sebaiknya selalu dipikirkan dalam membuat diferensial diagnosa pada infeksi bakteri (khususnya Streptococcus) dan viral pharingitis, Vincent’s angina, mononucleosis infeksiosa, syphilis pada mulut dan candidiasis.
Perkiraan diagnosa difteri didasarkan pada ditemukan adanya membran asimetris keabu-abuan khususnya bila menyebar ke ovula dan palatum molle pada penderita tonsillitis, pharingitis atau limfadenopati leher atau adanya discharge serosanguinus dari hidung. Diagnosa difteri dikonfrimasi dengan pemeriksaan bakteriologis terhadap sediaan yang diambil dari lesi.
Jika diduga kuat bahwa kasus ini adalah penderita difteria maka secepatnya diberikan pengobatan yang tepat dengan antibiotika dan pemberian antitoksin. Pengobatan ini dilakukan sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratoriumnya negative.
2. Penyebab Penyakit
Penyebab penyakit adalah Corynebacterium diphtheria dari biotipe gravis, mitis atau intermedius. Bakteri membuat toksin bila bakteri terinfeksi oleh coryne bacteriophage yang mengandung diphtheria toxin gene tox. Strain nontoksikogenik jarang menimbulkan lesi lokal, namun strain ini dikaitkan dengan kejadian endokarditis infektif.
3. Distribusi Penyakit
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara 173
subtropis dan terutama menyerang anak-anak berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Sering juga dijumpai pada kelompok remaja yang tidak diimunisasi. Di negara tropis variasi musim kurang jelas, yang sering terjadi adalah infeksi subklinis dan difteri kulit.
Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 kasus setiap tahunnya; dua pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia. Faktor risiko yang mendasari terjadinya infeksi difteri dikalangan orang dewasa adalah menurunnya imunitas yang didapat karena imunisasi pada waktu bayi, tidak lengkapnya jadwal imunisasi oleh karena kontraindikasi yang tidak jelas, adanya gerakan yang menentang imunisasi serta menurunnya tingkat sosial ekonomi masyarakat.
Wabah mulai menurun setelah penyakit tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1995 meskipun pada kejadian tersebut dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus dan 5.000 diantaranya meninggal dunia antara tahun 1990-1997. Di Ekuador telah terjadi KLB pada tahun 1993/1994 dengan 200 kasus, setengah dari kasus tersebut berusia 15 tahun ke atas. Pada kedua KLB tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan imunisasi massal.
4. Reservoir: Manusia.
5. Cara Penularan
Cara penularan adalah melalui kontak dengan penderita atau carrier; jarang sekali penularan melalui peralatan yang tercemar oleh discharge dari lesi penderita difteri. Susu yang tidak dipasteurisasi dapat berperan sebagai media penularan.
6. Masa Inkubasi
Biasanya 2-5 hari terkadang lebih lama.
7. Masa Penularan
Masa penularan beragam, tetap menular sampai tidak ditemukan lagi bakteri dari discharge dan lesi; biasanya berlangsung 2 minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari 4 minggu. Terapi antibiotik yang efektif dapat mengurangi penularan. Carrier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.
8. Kerentanan dan Kekebalan
Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki imunitas biasanya memiliki imunitas juga; perlindungan yang diberikan bersifat pasif dan biasanya hilang sebelum bulan keenam. Imunitas seumur hidup tidak selalu, adalah imunitas yang didapat setelah sembuh dari penyakit atau dari infeksi yang subklinis. Imunisasi dengan toxoid memberikan kekebalan cukup lama namun bukan kekebalan seumur hidup. Sero survey di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 40% remaja kadar antitoksin protektifnya rendah; tingkat imunitas di Kanada, Australia dan beberapa negara di Eropa lainnya juga mengalami penurunan. Walaupun demikian remaja yang lebih dewasa ini masih memiliki memori imunologis yang dapat melindungi mereka dari serangan penyakit. Di Amerika Serikat kebanyakan anak-anak telah diimunisasi pada kuartal ke-2 sejak tahun 1997, 95% dari 174
anak-anak berusia 2 tahun menerima 3 dosis vaksin difteri. Antitoksin yang terbentuk melindungi orang terhadap penyakit sistemik namun tidak melindungi dari kolonisasi pada nasofaring.
9. Cara-cara Pemberantasan
A. Cara Pencegahan
1) Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak.
2) Tindakan pemberantasan yang efektif adalah dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (missal) dengan Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen “acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau vaksin yang mengandung “whole cell pertusis” (DTP). Vaksin yang mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen “whole cell pertussis”, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat ini juga telah tersedia.
3) Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain mungkin menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai imunisasi dasar).
a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7 tahun.
Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal tersebut.
Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin DT.
b) Untuk usia 7 tahun ke atas:
Mengingat efek samping pemberian imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis booster untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah. Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus dan diphtheria toxoid (Td).
Dua dosis pertama diberikan dengan interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun setelah dosis ke-2. data yang terbatas dari Swedia menunjukkan bahwa jadwal pemberian imunisasi ini mungkin tidak memberikan tingkat perlindungan yang memadai pada kebanyakan remaja, oleh karena itu perlu diberikan dosis tambahan.
Untuk mempertahankan tingkat perlindungan maka perlu dilakukan pemberian dosis Td setiap 10 tahun kemudian.
4) Upaya khusus perlu dilakukan terhadap mereka yang terpajan dengan penderita seperti kepada para petugas kesehatan dengan cara memberikan imunisasi dasar lengkap dan setiap sepuluh tahun sekali diberikan dosis booster Td kepada mereka.
175

5) Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan sistem kekebalan mereka (immunocompromised) atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin diphtheria dengan jadwal yang sama bagi orang normal walaupun ada risiko pada orang-orang ini tidak memberikan respon kekebalan yang optimal.

B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
1) Laporan kepada petugas kesehatan setempat: Laporan wajib dilakukan di hampir semua negara bagian di Amerika Serikat dan negara-negara lain di dunia, Kelas 2 A (lihat pelaporan tentang penyakit menular).
2) Isolasi: Isolasi ketat dilakukan terhadap penderita difteria faringeal, isolasi untuk difteria kulit dilakukan terhadap kontak hingga 2 kultur dari sampel tenggorokan dan hidung (dan sampel dari lesi kulit pada difteria kulit hasilnya negatif tidak ditemukan baksil. Jarak 2 kultur ini harus dibuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak kurang dari 24 jam setelah penghentian pemberian antibiotika. Jika kultur tidak mungkin dilakukan maka tindakan isolasi dapat diakhiri 14 hari setelah pemberian antibiotika yang tepat (lihat 9B7 di bawah).
3) Desinfeksi serentak: Dilakukan terhadap semua barang yang dipakai oleh/untuk penderita dan terhadap barang yang tercemar dengan discharge penderita. Dilakukan pencucihamaan menyeluruh.
4) Karantina: Karantina dilakukan terhadap dewasa yang pekerjaannya berhubungan dengan pengolahan makanan (khususnya susu) atau terhadap mereka yang dekat dengan anak-anak yang belum diimunisasi. Mareka harus diistirahatkan sementara dari pekerjaannya sampai mereka telah diobati dengan cara seperti yang diuraikan di bawah dan pemeriksaan bakteriologis menyatakan bahwa mereka bukan carrier.
5) Manajemen Kontak: Semua kontak dengan penderita harus dilakukan kultur dari sample hidung dan tenggorokan, diawasi selama 7 hari. Dosis tunggal Benzathine Penicillin (IM: lihat uraian dibawah untuk dosis pemberian) atau dengan Erythromycin selama 7-10 hari direkomendasikan untuk diberikan kepada semua orang yang tinggal serumah dengan penderita difteria tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak yang menangani makanan atau menangani anak-anak sekolah harus dibebaskan untuk sementara dari pekerjaan tersebut hingga hasil pemeriksaan bakteriologis menyatakan mereka bukan carrier. Kontak yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap perlu diberikan dosis booster apabila dosis imunisasi terakhir yang mereka terima sudah lebih dari lima tahun. Sedangkan bagi kontak yang sebelumnya belum pernah diimunisasi, berikan mereka imunisasi dasar dengan vaksinasi: Td, DT, DTP, DtaP atau DTP-Hib tergantung dari usia mereka.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Pencarian carrier dengan menggunakan kultur dari sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan tidak bermanfaat jika tindakan yang diuraikan pada 9B5 diatas sudah dilakukan dengan benar. Pencarian carrier dengan kultur hanya bermanfaat jika dilakukan terhadap kontak yang sangat dekat.
7) Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan
176

bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari kuda).

Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational product”. Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada waktu jam kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at dengan menghubungi nomor telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu hari libur menghubungi petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun karantina yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan lakukan terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap serum kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000 – 100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat menggantikan pemberian antitoksin.
Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis. Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik erythromycin.
Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6 tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang dewasa.
C. Penanggulangan Wabah
1) Imunisasi sebaiknya dilakukan seluas mungkin terhadap kelompok yang mempunyai risiko terkena difteria akan memberikan perlindungan bagi bayi dan anak-anak prasekolah. Jika wabah terjadi pada orang dewasa, imunisasi dilakukan terhadap orang yang paling berisiko terkena difteria. Ulangi imunisasi sebulan kemudian untuk memperoleh sukurang-kurangnya 2 dosis.
2) Lakukan identifikasi terhadap mereka yang kontak dengan penderita dan mencari orang-orang yang berisiko. Di lokasi yang terkena wabah dan fasilitasnya memadai, lakukan penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dilaporkan untuk menetapkan diagnosis dari kasus-kasus tersebut dan untuk mengetahui biotipe dan toksisitas dari C. diphtheriae.

D. Implikasi Bencana
Kejadian luar biasa dapat terjadi ditempat dimana kelompok rentan berkumpul, khususnya bayi dan anak-anak. Kejadian wabah difteria seringkali terjadi oleh karena adanya perpindahan penduduk yang rentan terhadap penyakit tersebut dalam jumlah banyak. 177
E. Penanganan Internasional
Orang yang mengadakan kunjungan atau singgah di negara-negara yang terjangkit difteria faucial atau difteria kulit dianjurkan mendapatkan imunisasi dasar. Dosis booster Td diberikan kepada orang yang sebelumnya telah mendapatkan imunisasi.
 

No comments:

Post a Comment