1. Pemberantasan Penyakit Menular a. Pengertian penyakit menular
Menurut Dep.kes RI ( 1995 , a.1) pemberatasan penyakit menular adalah “suatu upaya dibidang kesehatan untuk menghilangkan atau merubah cara perpindahan penyakit infeksi yang dapat berpindah dari orang yang satu ke orang yang lainya atau binatang kepada manusia”.
b. Tujuan pemberatasan penyakit menular
1). Penyakit karantina atau penyakit wabah atau penyakit menular tertentu yaitu seperti poliomylitis, pes, difteri dan lain-lain
2). Penyakit potensil wabah yang menular dalam waktu cepat dan memerlukan tindakan segera yaitu campak, rabies, diare dan pertusis.
3). Penyakit potensial wabah atau KLB lainya yaitu : malaria, hepatitis, encephalitis, trombosis, influenza, tetanus, meningitis dan antraks.
4). Penyakit menular yang tidak dapat berpotensial wabah tetapi di programkan yaitu cacing, leprae, sipilis, Gonorrhea, filariasis.
2. Penyakit Malaria
a. Pengertian
Menurut Dep. Kes. RI (1995) malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles yang telah terinfeksi. Penyakit ini bersifat musiman dan lokal (bila ada genangan air) serta dapat menyerang setiap orang dari semua golongan umur baik bayi, anak-anak maupun orang dewasa.
b. Epidemiologi
Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin lebih berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan gigitan nyamuk. Beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dapat terinfeksi malaria adalah :
1) Ras atau suku bangsa
Prevalensi Hemoglobin S (HbS) pada penduduk Afrika cukup tinggi sehingga lebih tahan terhadap infeksi P.falciparum karena HbS menghambat perkembangbiakan P.falciparum.
2) Kurangnya enzim tertentu
Kurangnya enzim Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase (G6PD) memberikan perlindungan terhadap infeksi P.falciparum yang berat. Defisiensi enzim G6PD ini merupakan penyakit genetik dengan manifestasi utama pada wanita. Kekebalan pada malaria terjadi apabila tubuh mampu menghancurkan Plasmodium yang masuk atau menghalangi perkembangbiakannya (Yayan Akhyar Israr, Agusnarizal. 2008).
c. Etiologi
Malaria disebabkan parasit malaria, suatu protozoa darah yang termasuk dalam phyllum Apicomplexa, kelas Sporozoa, subkelas Coccidiida, ordo Eucoccidides, subordo Haemosporidiidea, famili Plasmodiidae, genus Plasmodium. Plasmodium merupakan protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat empat spesies yaitu Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale. Penularan manusia dapat dilakukan oleh nyamuk betina dari tribus anopheles. Selain itu juga dapat ditularkan secara langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta ibu hamil kepada bayinya.
Jenis penyakit malaria dapat dibedakan menjadi empat yaitu :
1). Malaria tertiana yang disebabkan oleh plasmodium vivax
2). Malaria Quartana yang disebabkan oleh plasmodium malariae
3). Malaria Tropika yang disebabkan oleh plasmodium falcifarum
4). Malaria Ovale yang disebabkan oleh plasmodium ovale.
d. Gejala Klinis
Secara klinis, gejala penyakit malaria terdiri dari beberapa serangan demam dengan interval tertentu dengan diselingi suatu periode (periode laten) dimana si penderita bebas sama sekali dari demam. Sebelum demam penderita biasanya merasa lemas, sakit kepala, tidak ada nafsu makan, mual-mual dan muntah Gejala serangan malaria biasanya terjadi pada 3 stadium atau masa yang saling berurutan yaitu : stadium dingin (cool stage), stadium demam (hot stage), stadium berkeringat (sweating stage).
1). Stadium dingin (Cool stage)
Stadium ini biasanya ditandai dengan menggigil dan perasaan sangat dingin, gigi gemeretak dan penderita biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat dan lemah, bibir dan jari-jarinya pucat. Penderita mungkin muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini biasanya terjadi dalam rentang waktu 15 menit sampai 1 jam.
2). Stadium demam
Penderita mulai merasa kepanasan, muka merah, kulit kering dan merasa panas seperti terbakar, sakit kepala yang semakin menjadijadi serta muntah yang menjadi lebih sering, nadi menjadi lebih kuat. Penderita sangat haus dan suhu badan meningkat sampai 41o C atau lebih. Stadium ini berlangung antara 2-4 jam.
3). Stadium berkeringat
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali. Suhu badan menurun dengan cepat, kadang di bawah normal. Penderita biasanya dapat tidur dengan nyenyak dan bila bangun akan merasa sangat lemah. Stadium ini berlanjut antara 2 jam sampai 4 jam.
e. Patogenesis
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan lingkungan. Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan menyebabkan anemia. Beratnya anemia tidak sebanding dengan parasitemia, hal ini menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang menyebabkan anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme transpor membran sel, penurunan deformabilitas, pembentukan knob, ekspresi varian non antigen di permukaan sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan rosetting, peranan sitokin dan NO (Nitrik Oksida).
Menurut pendapat ahli lain patogenesis malaria berat atau malaria falciparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu (host). Yang termasuk ke dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam
pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring Erytrocite Suirgace Antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich Protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu Glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF dan Interleukin 1 (IL-1) dari makrofag.
Sitoadherensi adalah peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.falsiparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit juga dapat melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset. Sitoadherensi menyebabkan eritrosit matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskuler disebut eritrosit matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falsiparum yang mengalami sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalm tubuh. Sekustrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru, jantung dan usus. Sekuestrasi ini memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.
Rosseting adalah suatu fenomena perlekatan antara satu buah eritrosit yang mengandung merozoit matang yang di selubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit sehingga berbentuk seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya rosseting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi parasit. Rosseting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal atau dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoadherensi. Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari toksin malaria. Sitokin ini antara lain TNF alfa (TNF ), interleukin 1 (IL-1), IL-6, IL3, lymphotoxin (LT) dan interferon gamma (INF ). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNF , IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena juga dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal atau rendah atau pada malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Olehkarenanya diduga adanya peran dari neurotransmiter yang lain sebagai
free radical dalam kaskade ini seperti NO sebagai faktor yang penting dalam patogenesa malaria berat.
Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah mulitifaktorial dan berhubungan dengan hal-hal berikut:
1) Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tapi juga terhadap eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan anoksia jaringan. Pada hemolisis intravaskuler yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (black water fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal.
2) Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin berasal dari saluran pencernaan dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin yang ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin lainnya menimbulkan demam, hipoglikemia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa.
3) Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi
Eritrosit yang terinfeksi dengan stadium lanjut P.falciparum dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung P.falciparum terhadap endotelium kapiler darah alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endotelium dan membentuk gumpalan yang membendung kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan (Yayan Akhyar Israr, Agusnarizal. 2008).
f. Agent (penyebab malaria)
Malaria disebabkan oleh protozoa yaitu plasmodium yang terdiri dari 4 spesies yakni Plasmodium Vivax penyebab malaria Tertiana, Plasmodium Malariae penyebab malaria Quartana, Plasmodium Falcifarum penyebab malaria Tropika dan Plasmodium Ovale penyebab malaria Ovale.
Seorang penderita dapat saja dihinggapi oleh satu atau lebih dari plasmodium yang sering disebut sebagai infeksi campuran atau mixed infection yang biasanya terdiri dari 2 infeksi yaitu antara plasmodium falciparum dan plasmodium vivax atau dengan plasmodium malariae. Infeksi seperti ini biasanya terjadi pada daerah dengan angka penularan yang tinggi.
g. Host (Manusia dan Nyamuk)
Penyakit malaria dapat menyerang manusia dari semua golongan umur. Perbedaaan angka kesakitan antara laki-laki dan wanita berbeda dan dari golongan umur dapat disebabkan oleh faktor pekerjaan, pendidikan, perumahan, migrasi dan perpindahan penduduk. Nyamuk anopheles sebagai host defenitif adalah vektor penyakit malaria. Jenis anopheles di Indonesia yang mempunyai potensi sebagai vektor penyakit malaria sejauh ini yang kita ketahui adalah A. aconitus, A Punculatus, A .Balabancis, A. Sundaicus, A. Makulatus, A. Subpictus, A. Barbirostis.
h. Lingkungan (Environment)
1). Lingkungan fisik
(a). Suhu udara
Suhu udara sangat mempengaruhi siklus gonotropik atau masa inkubasi ekstrinsik. Makin tinggi suhu (batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik sebaliknya makin rendah suhu maka makin panjang masa inkubasi ekstrinsiknya.
(b). Kelembaban Udara (Humiditi)
Kelembaban akan mempengaruhi kecepatan berkembang biaknya, menggigit dan kebiasaan waktu istirahat. Kelembaban yang rendah dapat memperpendek umur nyamuk. Karena bila kelembaban yang rendah maka suhu dalam tubuh nyamuk akan lebih rendah lagi.
(c). Hujan
Hujan mempengaruhi perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa. Hujan juga dapat menciptakan breading pleace baru bagi perkembangbiakan nyamuk. Besar kecilnya pengaruh hujan terhadap perkembangbiakan nyamuk tergantung pada derasnya hujan, kuantitas hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang disertai panas yang berseling akan memperbesar kemungkinan perkembangbiakan nyamuk
(d). Angin
Kecepatan angin berpengaruh terhadap jarak terbang dari nyamuk. Jarak terbang nyamuk (Flight Range) dapat diperpanjang atau diperpendek tergantung dari arah angin.
(e). Sinar matahari
A. Sundaicus suka pada tempat yang teduh, sedangkan A. hykronus lebih suka pada tempat yang terbuka dan terkena langsung sinar matahari sedangkan A. Barbirostis dapat berkembang biak pada tempat yang teduh atau tempat yang langsung terkena sinar matahari .
2). Lingkungan kimia
Lingkungan kimia seperti kadar garam dari tempat perindukan dapat pula mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk. Pada umumnya nyamuk dapat berkembangbiak pada kisaran kadar garam sekitar 13 % sampai 22 %. Jika kadar garam kurang dari kadar garam optimal maka nyamuk akan terpengaruh perkembangbiakannya.
3). Lingkungan biologi
Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan liar lainya dapat mempengaruhi larva nyamuk karena dapat menghalangi sinar matahari yang akan masuk dan juga melindungi dari serangan makhluk hidup yang lain. Adanya predator seperti ikan kepala timah, grambusia, nila, mujair akan mempengaruhi populasi dari larva nyamuk.
4). Lingkungan sosial budaya
Faktor ini kadang sangat besar pengaruhnya dibandingkan dengan faktor lingkungan yang lainya. Kebiasaan masyarakat akan sangat mempengaruhi tingkat gigitan nyamuk dan tingkat penularan.
i. Penularan Malaria
Penularan penyakit malaria dapat di pengaruhi dua cara yaitu:
1). Penularan secara alamiah
Penularan secara alamiah adalah penularan yang terjadi karena gigitan nyamuk anopheles sebagai host definitive yang telah terinfeksi oleh plasmodium melalui manusia penderita sebagai host intermediate
2). Penularan secara tidak alamiah
Penularan secara tidak alamiah dapat melalui:
(a). Malaria bawaan (Congenital) Yaitu penularan yang terjadi dari ibu yang terinfeksi kepada bayi yang ada dalam kandungan. Penularan ini terjadi melalui placenta dari ibu ke janin.
(b). Penularan secara mekanis Penularan yang terjadi melalui tranfusi darah atau melalui jarum suntik dan dapat terjadi bila jarum yang digunakan tidak steril lagi.
(c). Penularan secara oral (melalui mulut). Penularan secara oral telah dibuktikan pada burung, ayam, burung merpati dan monyet.
j. Prognosis
1) Prognosis malaria berat tergantung pada kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan.
2) Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan pada anak-anak 15%, dewasa 20% dan pada kehamilan meningkat sampai 50%.
3) Prognosis malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ lebih baik daripada kegagalan 2 atau lebih fungsi organ.
(a). Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ adalah 50%
(b). Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ adalah 75%
(c). Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:
1. Kepadatan parasit <100.000/ul,
2. Kepadatan parasit >100.000/uL, maka mortalitas >1%
3. Kepadatan parasit >500.000/uL, maka mortalitas >50% (Yayan Akhyar Israr, Agusnarizal. 2008).
k. Pencegahan
1) Usahakan tidur dengan kelambu, memberi kawat kasa, memakai obat nyamuk bakar, menyemprot ruang tidur, dan tindakan lain untuk mencegah nyamuk berkembang di rumah.
2) Usaha pengobatan pencegahan secara berkala, terutama di daerah endemis malaria.
3) Menjaga kebersihan lingkungan dengan membersihkan ruang tidur, semak-semak sekitar rumah, genangan air, dan kandang-kandang ternak.
4) Memperbanyak jumlah ternak seperti sapi, kerbau, kambing, kelinci dengan menempatkan mereka di luar rumah di dekat tempat nyamuk bertelur.
5) Memelihara ikan pada air yang tergenang, seperti kolam, sawah dan parit. Atau dengan memberi sedikit minyak pada air yang tergenang.
6) Menanam padi secara serempak atau diselingi dengan tanaman kering atau pengeringan sawah secara berkala
7) Menyemprot rumah dengan DDT.(Anna Ahira. 2009)
l. Pemberantasan Penyakit Malaria
Pemberatasan penyakit malaria ditujukan untuk memutuskan mata rantai transmisi atau penularan penyakit pada satu atau lebih mata rantai agent, host, environment yang pada dasarnya ditujukan untuk pemberatasan vektor, penemuan penderita dan pengobatan malaria. Keadaan penyakit malaria di suatu daerah dapat ditentukan melalui pengamatan epidemiologi yaitu pengamatan secara terus menerus terhadap distribusi dan kecenderungan suatu penyakit melalui pengumpulan data yang sistimatis dan relevan atau ada hubungannya.
Dalam menilai beberapa situasi malaria dapat digunakan beberapa ukuran:
1). Annual Paracite Incidence (API)
API adalah jumlah penderita baru di suatu daerah per 1000 jumlah penduduk dalam jangka waktu satu tahun yang menggunakan satuan permil (0/00).
2). Annual Blood Eximination Rate (ABER)
ABER adalah jumlah persediaan darah yang diperiksa dari jumlah penduduk dalam satu tahun yang satuannya dinyatakan dalam prosen (%).
3). Slide Positive Rate (SPR)
SPR adalah prosentase dari persediaan darah yang positive dari sediaan darah yang diperiksa.
4). Parasite Formula (PF)
PF adalah porporsi dari setiap spesies parasit suatu daerah. Species yang mempunyai PF tertinggi disebut species yang dominan.
5). Penderita demam klinis malaria
Unit-unit kesehatan yang belum mempunyai fasilitas laboratorium yang memadai dapat melakukan pemantauan terhadap penderita demam atau penderita yang menunjukan gejala klinis malaria. Hasil pengamatan biasanya dapat dinyatakan dalam porporsi penunjang unit kesehatan yang menderita demam atau menunjukan gejala klinis malaria.
Situasi malaria tingkat kecamatan dapat dinyatakan dalam beberapa strata yaitu :
(a). High Case Incidence (HCI) yaitu tingkat kasus lebih besar atau sama dengan lima per seribu penduduk (b). Midle Case Incident yaitu tingkat kasus antara satu per seribu penduduk sampai kurang dari lima per seribu penduduk.
(c). Low Case Incident (LCI) yaitu tingkat kasus yang kurang dari satu per seribu penduduk Kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan dalam pemberantasan penyakit malaria antara lain:
1. Penyuluhan kesehatan
a). Penyuluhan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pemberantasan penyakit malaria.
b). Memelihara kebersihan lingkungan secara teratur.
c). Kebersihan dalam rumah seperti pencahayaan dan penghawaan yang cukup.
d). Pemanfaatan air tergenang untuk kolam ikan.
e). Lubang-lubang angin sebaiknya menggunakan kawat kasa dan sebaiknya tidur menggunakan kelambu.
f). Pemisahan kandang ternak dari rumah.
g). Bila ada anggota keluarga yang sakit atau panas dingin segera dibawa ke puskesmas atau tempat pelayanan kesehatan yang terdekat atau segera menghubungi juru malaria desa.
h). Bila diadakan penyemprotan masyarakat harus menerima dan membantu petugas.
2 Penemuan Penderita
a). Tujuan
Tujuan pencarian penderita malaria adalah untuk menemukan penderita secara dini dan secepatnya memberikan pengobatan radikal terhadap penderita dengan darah positip.
b). Jenis kegiatan
(1). Active Case Detection
ACD adalah kegiatan pencarian penderita malaria secara aktif yang ada dimasyarakat di wilayah kerja puskesmas. Sasaran kegiatan ini adalah penduduk yang menderita atau penduduk yang pernah ada dalam bulan yang lalu, kemudian diambil sediaan darah dan diperiksa tenaga laboratorium. Untuk tenaga pelaksana ACD adalah JMD dan koordinator JMD.
(2). Pasive Case Dectection (PCD)
PCD adalah pencarian penyakit secara positip. Sediaan darah yang diambil dari penderita panas yang berkunjung ke unit kesehatan yang ada (Puskesmas,. Pustu, Pos kesehatan dan lain-lain). Sasaran malaria klinis baik yang akut maupun kronis, sedangkan penderita gagal berobat dan datang ke unit pelayanan kesehatan (UPK). Kegiatan ini dilaksanakan oleh petugas kesehatan diluar petugas malaria.
(3). Surveilens Migrasi
Sasaran kegiatan adalah semua penduduk yang baru pulang dari daerah endemik malaria. Waktu untuk kegiatan ini adalah sesuai dengan jadwal kunjungan JMD atau setiap hari kerja dengan memperhatikan setiap musim migrasi penduduk.
c). Pemeriksaan Loboratorium
Sediaan darah yang yang telah dicatat dan diberi giemsa strain dan kemudian diperiksa apabila ditemukan sediaan darah positip harus dilaporkan segera untuk diadakan penyelidikan epidemologi. Data pemeriksaan mikroskopis tersebut dapat digunakan untuk pelaksanaan pemberantasan malaria sejak dini bahkan sampai pada penanganannya. Fungsi dan tujuan laboratorium malaria adalah :
(1). Pemeriksaan darah dalam jangka waktu yang pendek agar penderita dapat segera diobati dan penularan dapat dicegah.
(2). Mengirim sediaan darah yang sudah diperiksa oleh unit laboratorium.
(3). Menyiapkan data parasitologi untuk diperiksa.
(4). Memberitahukan pelaksanaan dilapangan untuk tindakan followupnya.
d). Peyelidikan Epidemologi
Dalam penyelidikan epidemologi dapat ditentukan bahwa apakah penderita tersebut termasuk :
(1). Indigenus (baru) sebagai indikasi baru untuk diadakan penyemprotan.
(2). Relapse (kambuh) yang menunjukan kelemahan dalam sistim pengobatan radikal.
(3). Import (datang dari luar) yang menunjukan adanya mobilitas penderita sehingga perlu pengawasan penderita dari luar daerah terutama dari daerah yang endemis malaria.
e). Pengobatan
Tujuan pengobatan malaria adalah untuk mengurangi kesakitan, mencegah kematian bila mungkin penyembuhan penderita dan mengurangi kerugian akibat penyakit malaria.
Jenis- jenis pengobatan dalam pemberatasan Malaria:
(1). Pengobatan Presumtif adalah Pengobatan yang diberikan pada seseorang yang mengaku penderita malaria sebelum ada komfirmasi dari pihak laboratorium. Sudah pasti pengobatan malaria diubah menjadi pengobatan radikal bila ada penegasan hasil laboratorium. Obat yang digunakan adalah kloroquin dan primaquin dosis tunggal. Penggunan primaquin tergantung ada tidaknya plasmodium falcifarum yang pengobatanya diberikan di unit pelayanan kesehatan atau di lapangan atau obat diterima secara langsung di depan petugas.
(2). Pengobatan Radikal adalah pengobatan yang diberikan pada seseorang yang jelas positip malaria menurut pemeriksaan laboratorium. Jenis pengobatan ini untuk mencegah kekambuhan atau relapse. Cara pengobatan dengan dosis dan jenis obat tergantung jenis dan sensifitas parasit terhadap obat. Setelah selesai pengobatan penderita harus diperiksa ulang sediaan darahnya secara berkala.
f). Pemberantasan vektor
Pemberantasan vektor nyamuk anopheles dapat diberantas melalui cara antara lain:
(1). Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa Sampai saat ini di Indonesia cara utama yang dipakai untuk memberantas nyamuk anopheles dewasa adalah dengan penyemprotan rumah. Kaitannya yaitu dengan menyemprotkan racun serangga secara merata pada permukaan yang disemprot. Alasan disemprot secara merata di permukaan adalah: untuk per umbuhan telur nyamuk anopheles akan mengisap darah paling sedikit dua kali. Nyamuk anopheles akan hinggap di dinding rumah sebelum menghisap atau sesudah menghisap darah, dengan demikian nyamuk akan mati bila ia menempel pada dinding rumah. Dosis yang digunakan adalah dihitung dalam berat bahan aktif yang disemprotkan dalam tiap meter persegi permukaan. Saat ini racun serangga yang digunakan dalam pemberatasan penyakit malaria adalah : fenitrotion 40 wp dengan dosis 2 gr/m2, malathion 50 wp dosis 1-2gr/m2, primiposmetil dengan dosis 0,4 gr/ m2, bendiocrap dengan dosis pertama 0,4 gr/m2 dan dosis selanjutnya 0,2 gr/m2, landasihaloterin dengan dosis 25 mg/m2
(2). Pemberatasan jentik nyamuk anopheles
a. Pemberantasan secara kimia Pemberantasan cara ini menggunakan cara kimia yang dapat membunuh larva nyamuk. Jenis zat kimia atau larvasida yang sering digunakan dalam pemberantasan jentik nyamuk ini adalah :
1). Solar atau minyak tanah Pada umumnya dosis yang digunakan adalah 40-50 l/ha dan tidak banyak tumbuh-tumbuhan air pada tempat perindukan tersebut. Bila ditemukan banyak tumbuhan air maka dosis yang diperlukan dapat mencapai 180 l/ha.
2). Temofos dan fention Dosis yang digunakan pada umumnya adalah 55-110 kg/ha.
3). Pasir green Pada umumnya dosis yang digunakan adalah 1 kg/ha.
b. Pemberantasan secara biologis
Pemberantasan jentik nyamuk anopheles secara biologic dengan pengaturan populasi ikan pemakan jentik atau predator alami nyamuk. Kemampuan makan larva nyamuk antara 80-100 ekor larva setiap ekor ikan perhari. Tempat yang baik untuk berkembangbiak adalah pada air yang mengalir, air tergenang, air tawar atau air payau dan air yang jernih atau air yang berlumpur.
c. Pengelolaan lingkungan
1). Perubahan lingkungan Upaya ini meliputi seluruh kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan fisik seperti penimbunan daerah genangan air, pembuatan DAM dan tanggul. Tindakan ini bertujuan untuk mencegah, mengurangi dan menghilangkan tempat perindukan nyamuk anopheles tanpa menimbulkan pengaruh yang kurang baik terhadap lingkungan hidup manusia.
2). Manipulasi lingkungan Kegiatan ini dilakukan dengan membersihkan tanaman atau lumut pada tempat perindukan dan pengubahan kadar garam sehingga tidak menguntungkan untuk nyamuk berkembangbiak dengan baik di tempat perindukan tersebut.
m. Resistensi Obat
Resistensi obat adalah kemampuan sejenis parasit untuk terus hidup dalam tubuh manusia berkembangbiak dan menimbulkan gejala penyakit meskipun telah diberikan pengobatan yang teratur dengan dosis yang standar maupun dosis yang lebih tinggi yang masih bisa ditolerir oleh pemakai obat (Dep. Kes. 1993).
Resistensi obat pada peggunaan obat malaria dengan dosis standar adalah kloroquin dan parasit yang resisten terhadap obat adalah plasmodium faciparum. Laporan pertama tentang plasmodium yang resisten terhadap 4 Aminoquinolin berasal dari Venesuela (1959) dan Kolombia (1960) menyusul negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Di Indonesia untuk pertama kalinya dilaporkan pada tahun 1973 di Yogyakarta pada seorang penderita import dari Kaltim (Dep Kes 1993). Pengamatan lebih lanjut menunjukan bahwa penyebaran malaria falcifarum yang resisten lebih banyak ditemukan di kawasan timur Indonesia. Perlu diketahui bahwa resistensi dapat terjadi karena importasi atau secara spontan dari parasit lokal di mana mutasi dan seleksi genetik diduga sebagai penyebabnya. Kemudahan transportasi antar daerah atau pulau telah menimbulkan kemungkinan penyebaran penderita resisten ke daerah lain. Penentuan resisten atau tidaknya plasmodium falcifarum dilakukan dengan test in-vivo dan cara in-vitro (mikro/makro). Cara invivo dapat menunjukan derajat atau tingkat resistensi parasit. Cara Invitro tidak dapat menunjukan hal ini, tetapi cara ini mempunyai keuntungan lain oleh karena beberapa jenis obat dapat ditest pada saat yang bersamaan.
No comments:
Post a Comment