script src='http://elmubarok.googlecode.com/files/floating1.js' type='text/javascript'/>

http://ikkibondenkkesmas.blogspot.com/2010/03/about-me.html

Kata Rasullullah ada tiga amalan yang jika dikerjakan maka Amalnya akan mengalir meskipun yang mengamalkannya telah meninggalal dunia diantaranya adalah ILMU BERMANFAAT YANG DIAJARKAN.

Tuesday 9 February 2010

KUSTA

1. Definisi Penyakit Kusta
Kusta (lepra atau Hansen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae, (Manjoer, 2000). Menurut Sri Wahyuni, penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta Mycobacterium leprae. Kuman ini menyerang kulit dan saraf tepi, seperti pada mata, tangan, dan kaki. Manusia satu-satunya yang diketahui merupakan sumber penularan. Penularan dapat melalui pernapasan dan kontak kulit dalam waktu lama. Kusta bukan penyakit keturunan, bukan penyakit kutukan, dan tidak menular setelah penderita berobat. Penyakit kusta juga tidak menular melalui luka-luka atau cacatnya. Sembilan puluh lima persen manusia kebal terhadap kuman kusta, (Depkes, 2005).
Mycobacterium leprae merupakan penyebab spesifik penyakit kusta yang pertama kali ditemukan oleh Gerhard Amaeur Hansen (1873), oleh karenanya penyakit ini disebut juga ” morbus hansen” (penyakit hansen). Sama halnya dengan Mycobacterium tuberculosis, M. Leprae termaksud dalam keluarga Mycobacterium. Dan keduanya merupakan kuman BTA (Basil tahan asam). Bentuk khas kuman kusta adalah bentuknya yang berupa batang yang lurus atau sedikit melengkung (Anonymous, 2005).
Kusta adalah penyakit kulit dengan perkembangan yang sangat lambat. Masa inkubasinya belum di ketahui dengan pasti, ada yang berpendapat 2-5 tahun (Depkes RI, 2004), ada pula yamg mengatakan antara 40 hari - 40 tahun (Wikipedia Kusta, 2009).
Penyakit kusta adalah penyakit yang menyerang syaraf kulit dan kemudian menyerang permukaan kulit, serta otot dibawah kulit. Penyakit ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae, dan jika tidak segera ditangani penderita akan kehilangan bagian tubuhnya hingga menuju
kematian atau mengalami cacat (Anonymous, 2004).
2. Sejarah
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India.. Pada 1995,
World Health Organizatio (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Vietnam.
Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat dibagi dalam tiga jaman, yaitu :
  a). Zaman Purbakala
Penyakit Kusta telah dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, di Tiongkok 600 SM, di Mesopotamia 400 tahun SM. Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu, disamping itu masyarakat menjauhi merasa jijik dan takut.
Dalam kitab-kitab agama dapat juga menjelaskan mengenai sejarah penyakit kusta, seperti :
    1. Agama Hindu
Dalam kitab Weda (1400 SM) penyakit kusta disebut Kustha, nama yang lazim juga disebut di Indonesia.
    2. Agama Kong Hu Cu
Dalam buku Cina penganut agama Kong Hu cu, penyakit kusta disebut “Ta Feng” dan menurut mereka penyakit ini disebabkan oleh
hubungan kelamin yang tidak teratur. Penyakit ini dibawah pengaruh setan “Feng Shui” yang pada umumnya dianggap tidak dapat disembuhkan.
    3. Agama Kristen
Kata Kusta dicantumkan beberapa kali didalam injil dan kata ini adalh terjemahan dari bahasa ibrani “Zaraath”.
    4. Menurut Herodous, kata Zaraath berarti kelainan kulit yang bersisik (Grambug, 1952) yang gambaran kliniknya tidak sesuai dengan penyakit kusta.
    5. Agama Islam
Dalam agama Islam ditemukan dua istilah untuk pengertian kusta, yaitu dalam Al-Quran disebut “Al-Abras” dan dalam hadist disebut “Al-Majrum.
  b). Zaman Pertengahan
Kira-kira setelah abad ke-13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dengan system feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat takut dan patuh terhadap penguasa dan hak asasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada penderita kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyakit dan obat-obatan belum ditemukan, maka penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta seumur hidup.
  c). Zaman Modern
Dengan ditemukannya kuman kusta oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya.
Demikian halnya di Indonesia, Dr. Sitanala telah mempolopori
perubahan system pengobatan yang tadinya secara isolasi, secara bertahap
dilakukan dengan pengobatan rawat jalan. (Depkes, 2005)
Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah :
   a. Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai pengobatan penderita kusta
   b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas.
   c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat kombinasi Multi Drug Thetapy (MDT) sesuai rekomendasi WHO untuk tipe MB 24 dosis dan PB 6 dosis.
   d. Tahun 1997, pengobatan MDT diberikan sesuai dengan rekomendasi WHO yaitu tipe MB 12 dosis dan PB 6 dosis.
3. Etiologi
Mycobacterium Leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri Mycobacterium Leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun (Manjoer, Arif, 2000).
4. Epidemiologi
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar ahli melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi (luka) pertama.
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi, dan iklim. Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat. Kira-kira 5-15% dari semua penderita kusta dapat menularkan M. Leprae. Sebagian Besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hanya sebagian
kecil yang dapat ditulari (5%). Dari sebagian kecil ini 70% dapat sembuh dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit. Insiden tinggi pada daerah tropis dan subtropis yang panas danlembab. Insiden penyakit kusta di Indonesia pada Maret 1999 sebesar 1.01 per 10.000 penduduk.
Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Frekwensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25 sampai dengan 35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10 sampai dengan 12 tahun.
   a. Patogenesis.
Setelah Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada keteraturan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkulaid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. Mycobacterium leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relative lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
   b. Manifestasi Klinis
Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda cardinal berikut :
      1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multiple, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa macula, makul atau nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan syaraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
      2. BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
   c. Pemeriksaan Klinis
      1. Inspeksi. Pasien diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut,bersiul, dan tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya macula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis).
      2. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).
      3. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada : n. auricularis magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan n. tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat saraf diraba.
      4. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji Gunawan).
   d. Gejala Klinis
Tanda-tanda penyakit kusta berupa :
      1. Bercak keputihan seperti panu yang kurang perasaannya atau mati rasa bila disentuh dengan kapas.
      2. Pembengkakan dan bintik-bintik kemerahan tersebar di kulit.
      3. Perubahan syaraf tepi (syaraf anggota badan dan muka) yaitu pembesaran urat syaraf kebanyakan di siku, dilipatan lutut, kadangkadan di leher dan di dahi.
   e. Masa Inkubasi
Kelainan penyakit kusta dapat timbul beberapa minggu, beberapa bulan, atau bertahun-tahun kemudian sesudah terjadi hubungan dengan penderita kusta yang efektif. Diperkirakan bahwa rata-rata masa inkubasi kusta adalah 3 tahun, meskipun dapat bervariasi antara beberapa minggu sampai 12 tahun lamanya. Diperkirakan masa tunas 2 sampai 5 tahun namun ada yang beranggapan masa tunas antara 40 hari sampai 40 tahun.
   f. Reaksi Kusta
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan
(respons seluler) atau reaksi antigen-antibodi (respons humoral) dengan akibat merugikan pasien. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan, selama pengobatan, dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan.
Jenis reaksi dibedakan atas 2 tipe yaitu :
       1. Reaksi tipe 1 (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi borderline). Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebalan selular secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta kearah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), dan/atau gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi)
       2. Reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum). Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibody dan komplemen sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen, antibody, dan komplemen. Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul yang dikenal sebagai eritema nodosum leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi (arthritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh lainnya. Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta adalah stress fisik (kondisi lemah, menstruasi, hamil, setelah melahirkan, pembedahan, sesudah mendapat imunisasi, dan malaria) dan stress mental. Perjalanan reaksi dapat berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama.
   g. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
      1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik, kecuali tidak ditemukan lesi di tempat lain. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
      2. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksakan Mycobacterium leprae ialah:
         a. Cuping telinga kiri/kanan.
         b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif di tempat lain.
      3. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
         a. Tidak menyenangkan pasien.
         b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
         c. Tidak pernah ditemukan Mycobacterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sediaan apus kulit negatif.
         d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dahulu negative dari pada sediaan kulit di tempat lain.
      4. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
         a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
         b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta.
         c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat.
         d. Semua pasien MB setiap satu tahun sekali.
      5. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu Ziehl Neelsen atau Kinyoun-Gabett.
      6. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode, yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah/seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecahpecah (fragmented), granular (granulates), globus, dan clumps.
   h. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilain dilakukan menurut skala logaritma Ridley sebagai berikut:
1 Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang.
+1 Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang.
+2 Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang.
+3 Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang.
+4 Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang.
+5 Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang.
+6 Bila > 1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang.
     i. Indeks morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
Contoh menghitung IB dan IM sebagai berikut:
No Lokasi Pengambilan Kepadatan Solid Fragmentedi Granulated
        1 Daun telinga kiri 5+ 5 95
        2 Daun telinga kanan 4+ 6 94
        3 Paha kiri 4+ 3 97
        4 Bokong kanan 4+ 4 96 17+ 18 382 Sumber : Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid  IB = = 4.25+ IB = x 100% = 4.50%
     j. Penatalaksanaan.
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejiman pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995) sebagai berikut:
        a). Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
            1. Rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.
            2. DDS tabelt 100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan enam dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. Dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From
Treatment = berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis
17+
4
18
18+328
xxxvi
lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT
tetapi menggunakan istilah Completion Cure dan pasien tidak lagi
dalam pengawasan.
b). Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
1. Rifampisin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.
2. Klofazimin 300 mg/bulan diminum didepan petugas dilanjutkan
dengan klorazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
3. DDS 100 mg/hari diminum di rumah.
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36
bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun
meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri
positif. Menurur WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12
dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung
dinyatakan RFT.
c). Dosis untuk anak
Klofajimin : Umur di bawah 10 tahun: Bulanan 100 mg/ bulan
Harian 50 mg/2 kali
/minggu.
Umur 11-14 tahun : Bulanan 100 mg/bulan
Harian 50 mg/3 kali
/minggu
xxxvii
DDS : 1-2 mg/kg berat badan.
Fifampisin : 10-15 mg/kg berat badan.
d). Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO
(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup
diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg, dan
minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan
untuk tipe PB dengan -5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk
tipe MB diberikan sebagai obat alternative dan dianjurkan digunakan
sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.
e). Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB Yang tidak minum obat sebanyak
4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien
kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari
yang seharusnya.
k. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan menurut Buku Panduan Pemberantasa
Penyakit Kusta Depkes (1999) adalah sebagai berikut:
1. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu
6-9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan
laboratorium.
xxxviii
2. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis dalam
waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
3. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan
pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan
dimaksud dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat
dilakukan oleh petugas kusta.
4. Masa pengamatan
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif:
1. Tipe PB selama 2 tahun.
2. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan
laboratorium.
5. Hilang /Out of Control (OOC).
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun
tidak mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien.
6. Relaps (kambuh).
Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh atau
RFT.
l. Indikasi Rujukan
1. Memastikan diagnosis penyakit kusta.
2. Neuritis akut dan subakut.
3. Reaksi ENL berat.
xxxix
4. Komplokasi pada mata
5. Reaksi terhadap anti kusta.
6. Tersangka resisten terhadap antikusta.
7. Pasien cacat yang memerlukan rehabilitasi medik.
8. Pasien dengan keadaan umum buruk atau darurat.
9. Pasien kusta yang membutuhkan latihan fisioterapi.
10. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi.
11. Luka lebar dan dalam pada anggota gerak.
12. Pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah septic.
13. Pasien yang memerlukan protese.
xl
m. Komplikasi.
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta
baik akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu
terjadi kusta. Proses terjadinya cacat kusta dapat dilihat pada bagan
berikut :
Bagan : Proses Terjadinya cacat kusta.
Gangguan Fungsi Saraf Tepi
Sensorik Motorik Otonom
Anestesi Kelemahan Gangguan kelenjar
keringat, kelenjar
minyak, aliran darah
Tangan/kaki:
kurang rasa
Kornea mata
anestesi
Refleksi
kedipberkurang
Tangan/kaki:
lemah lumpuh
Mata
lagophthalmos
Kulit :
keringat/pecah
Luka infeksi
Mutilasi
Absorbsi
tulang
Buta
Jari
bengkok/kaku
Luka
Mutilasi
Absorbsi
tulang
Infeksi
Buta
Luka
Infeksi
xli
n. Rehabilitasi.
Usaha usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan
sosial. Usaha medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain
operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke
asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat diusahakan
untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh. Terapi kejiwaan
berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien,
keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan
semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan
dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis.
Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien
sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan
sosial dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien,
(Manjoer, Arif 2000).
B. Tinjauan Umum Tentang Umur
Umur adalah salah satu karakteristik individu yang berpengaruh terhadap
suatu penyakit. Orang yang mempunyai karakteristik yang mudah terpapar dan
peka terhadap penyakit akan mudah jatuh sakit. Katakanlah bayi yang baru lahir
secara umum mempunyai kepekaan yang tinggi untuk terpapar terhadap suatu
penyakit. Sehingga umur merupakan salah satu karakteristik manusia yang dalam
epidemiologi merupakan variabel yang cukup penting, (Noor, 2000).
xlii
Pada dasarnya umur adalah suatu keadaan fisiologis yang dialami oleh
setiap manusia. Umur ini berawal sejak lahir sampai mencapai umur tertentu di
mana mulai terjadi perubahan-perubahan hemodinamik, yakni terjadinya
pengurangan kontraktilitas miokard yang memberi akibat isi secuncup jantung
(cardiac out put) dan aliran darah ke ginjal mengalami penurunan. Ini
dikemukakan oleh Alkatiri J.(1992) dalam Ela Pasisang (2004), sebagai
konsekuensi dari terjadinya penurunan tekanan darah perifer. Semakin tua
seseorang, maka risiko untuk mengalami berbagai macam jenis penyakit juga
semakin tinggi. Masa inkubasi penyakit kusta yang cukup lama menyebabkan
pada masa tua orang lebih sering ditemukan mengalami kusta. Karena masa
inkubasi yang mencapai 20 tahun menyebabkan penyakit ini akan muncul di usiausia
tersebut atau usia 40 tahun.
Namun, jika berbicara tentang angka kejadian (Insidence Rate) penyakit
kusta meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun kemudian
menurun.(Depkes, 2005)
C. Tinjauan Umum Tentang Jenis kelamin
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan
dan tingkat kerentanan memang mempunyai peran tersendiri seperti halnya umur.
Rasio jenis kelamin harus selalu diperhitungkan pada peristiwa penyakit-penyakit
tertentu. Ada masalah kesehatan dimana tingkat penyebarannya banyak
ditemukan pada kelompok wanita saja dan ada pula masalah kesehatan yang lebih
banyak ditemukan pada kelompok pria saja.
xliii
Adanya perbedaan penyebaran yang seperti ini disebabkan karena
beberapa faktor sebagai berikut :
1. Karena terdapatnya perbedaan anatomi dan fisiologi antara wanita dengan
pria. Sebagai contoh masalah kesehatan yang penyebarannya dipengaruhi oleh
anatomi yaitu prostat hanya ditemukan pada kaum laki-laki saja.
2. Karena terdapatnya perbedaan kebiasaan hidup antara wanita dan pria.
Misalnya banyaknya ditemukan penderita kanker paru pada pria karena
memang kaum pria lebih banyak yang merokok dibanding kaum wanita.
3. Karena terdapat perbedaan tingkat kesadaran berobat antara wanita dan pria.
Pada umumnya wanita lebih banyak memiliki kesadaran yang lebih baik
untuk berobat dibanding kaum pria.
4. Karena terdapatnya perbedaan kemampuan diagnostik beberapa penyakit.
Ditemukannya lebih banyak penderita kencing nanah pada pria karena
penegakan diagnosanya lebih mudah (Asrul Azwar, 2002).
Seperti halnya pada penyakit kusta. Terdapat perbedaan terjadinya
suatu penyakit antara jenis kelamin pria dengan wanita, dan pada penyakit
kusta yang banyak menderita adalah pria yaitu 2:1, karena pria banyak
melakukan aktifitas di luar rumah.
D. Tinjauan umum tentang status imunisasi BCG
Imunisasi berasal dari kata imun, yang berarti kebal atau resistensi system
imunitas dalam tubuh ada dua yaitu : imunitas alamiah dan artificial. Bagi
keduanya dapat bersifat aktif dan pasif. Imunitas aktif adalah imunitas yang
xliv
didapat karena tubuh membuat antibody sendiri, sedangkan imunitas pasif berarti
tubuh mendapat antibody atau limfosit yang sensitized dari luar atau dari host lain
atau tidak membuat sendiri. Cepat lambatnya berbeda tergantung pada daya
antigenetik agen. Anak yang diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap
suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit, belum
tentu kebal terhadap penyakit lain (Noor, 2000).
Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit
tuberculosis(tbc). BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. Vaksin
disuntikan secara intrakutan pada lengan atas, untuk bayi berumur kurang dari 1
tahun diberikan sebanyak 0,05 ml dan untuk anak berumur lebih dari 1 tahun
diberikan sebanyak 0,1 ml.
Dari hasil penelitian di Malawi, tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian
vaksin BCG satu kali dapat memberikan perlindungan sebesar 50%, dengan
pemberian dua dosis dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit kusta
sampai mencapai 80 % (Depkes, 2005).

No comments:

Post a Comment