Postingan kali ini bersumber dari E-Book dengan Judul Manual Pemberantasan Penyakit Menular, by James Chin, MD, MPH Editor dan Dr, I Nyoman Kandun, MPH Edisi Ke 17 tahun 2000
DEMAM KUNING (YELLOW FEVER) ICD-9 060; ICD-10 A95
1. Identifikasi Penyakit infeksi virus akut dengan durasi pendek dan dengan tingkat mortalitas yang bervariasi. Kasus teringan mungkin tidak mudah dapat ditemukan secara klinis, serangan khas dengan ciri tiba-tiba demam, menggigil, sakit kepala, nyeri punggung, nyeri otot diseluruh badan, lelah, mual dan muntah. Denyut nadi biasanya menjadi lemah dan pelan walaupun terjadi peningkatan suhu (tanda Faget). Icterus sedang kadang-kadang ditemukan pada awal penyakit dan kemudian menjadi lebih jelas. Kadang-kadang juga ditemukan albuminuri yang jelas dan dapat terjadi anuria. Lekopenia dapat timbul lebih awal dan terlihat jelas sekitar hari ke lima. Kebanyakan infeksi membaik pada stadium ini. Setelah remisi singkat selama beberapa jam hingga satu hari, beberapa kasus berkembang menjadi stadium intoksikasi yang lebih berat ditandai dengan gejala hemoragik pendarahan seperti epistaksis (mimisan), perdarahan gingiva, hematemesis (seperti warna air kopi atau hitam), melena, gagal ginjal dan hati, 20% - 50% kasus, icterus berakibat fatal. Secara keseluruhan mortalitas kasus dikalangan penduduk asli didaerah endemis sekitar 5% tapi dapat mencapai 20% - 40% pada wabah tertentu. Diagnosa laboratorium antara lain dibuat dengan cara mengisolasi virus dari darah hasil inokulasi pada tikus, nyamuk atau kultur sel (terutama dengan sel-sel nyamuk); dengan ditemukannya antigen virus didalam darah dengan ELISA atau virus ditemukan dalam darah dan jaringan hati dengan antibodi spesifik yang sudah diberi label; dan dengan ditemukannya genome virus dalam darah jaringan hati dengan metode PCR atau “hybridization probes”. Pemeriksaan serologis dibuat dengan mendemonstrasikan adanya antibodi IgM spesifik pada awal sera atau peningkatan titer antibodi spesifik pada sera yang akut dan konvalesen. Reaksi silang serologis timbul dengan flavi virus lainnya. Infeksi baru oleh virus dapat dibedakan dengan kekebalan yang diakibatkan oleh vaksin melalui uji fiksasi komplementer. Penegakan diagnosa juga dapat ditunjang dengan adanya lesi khas pada hepar. 2. Penyebab Penyakit: Virus demam kuning dari genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. 576 3. Distribusi penyakit Di alam demam kuning ditemukan dalam bentuk dua siklus penularan, siklus sylvatic atau siklus penularan di hutan yang melibatkan nyamuk dan primata dan siklus urban yang di dalamnya melibatkan nyamuk Aedes aegypti dan manusia. Penularan dengan siklus sylvatic hanya ditemukan didaerah Afrika dan Amerika Latin, dimana ada beberapa ratus kasus ditemukan setiap tahun, dan paling sering menyerang usia dewasa muda yaitu mereka yang bekerja di hutan atau daerah perbatasan di Bolivia, Brasil, Columbia, Ekuador dan Peru (70% - 90% kasus dilaporkan dari Peru dan Bolivia). Secara historis, demam kuning urban muncul dikota-kota dibenua Amerika dengan pengecualian hanya ditemukan beberapa kasus di Trinidad pada tahun 1954 dan tidak ada wabah demam kuning yang disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti di Amerika sejak tahun 1942. Namun reinfestasi di beberapa kota besar dengan Aedes aegypti menempatkan kota-kota tersebut pada risiko timbulnya penularan demam kuning. Di Afrika daerah endemis meliputi daerah yang terletak di antara 15o lintang utara dan 10o lintang selatan, memanjang dari sebelah selatan gurun sahara hingga daerah utara Anggola, Zaire dan Tanzania. Pada beberapa dekade sebelumnya demam kuning yang disebabkan oleh Aedes aegypti hanya dilaporkan terjadi di Nigeria dengan ditemukan sekitar 20.000 penderita dan 4.000 kematian pada tahun 1986 hingga 1991. Tidak ada bukti bahwa demam kuning pernah terjadi di Asia atau didaerah pantai timur Afrika, namun demam kuning sylvatic pernah dilaporkan terjadi di daerah Kenya bagian barat pada tahun 1992 – 1993 4. Reservoir Di daerah perkotaan, manusia & Aedes aegypti berperan sebagai reservoir : di hutan, reservoir adalah vertebrata selain manusia terutama monyet dan mungkin juga marsupialia serta nyamuk hutan. Penularan transovarian pada nyamuk menyebabkan berlanjutnya infeksi demam kuning. Manusia tidak mempunyai peran yang berarti dalam siklus penularan demam kuning Sylvatic tapi merupakan hospes utama pada siklus penularan didaerah perkotaan. 5. Cara penularan Di daerah perkotaan & di beberapa daerah pedesaan penularan terjadi karena gigitan nyamuk Aedes aegypti. Di hutan-hutan di Amerika Selatan penularan terjadi akibat gigitan beberapa spesies nyamuk hutan dari genus Haemagogus. Di Afrika Timur Aedes africanus merupakan vector pada populasi kera dimana Ae. Bromeliae dan Ae. Simpsoni (semidomestik) dan mungkin spesies aedes lainnya berperan menularkan virus dari kera ke manusia. Di daerah yang pernah mengalami wabah yang luas seperti di Ethiopia, studi epidemiologis membuktikan Ae. Simpsoni berperan sebagai vector yang menularkan virus dari orang ke orang. Di Afrika Barat Ae. furcifer taylori, Ae. luteocephalus dan spesies lain berperan sebagai vector penularan viru dari monyet ke manusia. Ae. Albopictus dibawa ke Brazil dan Amerika Serikat dari Asia dan diduga sangat potensial berperan sebagai jembatan perantara antara siklus demam kuning tipe sylvatic dengan siklus tipe perkotaan di belahan bumi bagian barat. Walaupun demikian hingga saat ini keterlibatan spesies ini dalam penularan demam kuning belum pernah dilaporkan. 6. Masa inkubasi: 3 hingga 6 hari 577 7. Masa penularan: Darah penderita sudah infektif terhadap nyamuk sebelum timbul demam dan sampai pada hari ke 3 –5 sakit, penyakit ini sangat menular jika anggota masyarakat yang rentan dalam jumlah banyak hidup bersama-sama dengan vektor nyamuk dengan densitas yang tinggi; tidak menular melalui kontak atau benda yang tersentuh penderita. Masa (periode) inkubasi ekstrintik pada Ae. aegypti umumnya berkisar antara 9 – 12 hari pada temperatur daerah tropis, dan pada umumnya jika sudah terinfeksi maka seumur hidup virus akan terus berada di tubuh nyamuk. 8. Kerentanan dan kekebalan: Penyembuhan dari demam kuning diikuti dengan terjadinya kekebalan seumur hidup, adanya serangan kedua dan selanjutnya tidak diketahui. Infeksi ringan sangat umum terjadi di daerah endemis. Kekebalan pasif pada bayi yang baru lahir yang didapat dari ibunya dapat bertahan hingga 6 bulan. Jika terjadi infeksi alamiah antibodi terbentuk di dalam darah pada permulaan minggu pertama. 9. Cara-cara pemberantasan A. Cara-cara pencegahan 1) Buat program imunisasi aktif bagi semua bayi berusia 9 bulan ke atas yang oleh karena tempat tinggal, pekerjaanya, atau karena melakukan perjalanan yang menyebabkan mereka mempunyai risiko terpajan dengan infeksi. Satu dosis injeksi subkutan vaksin yang mengandung biakan virus strain 17D dari demam kuning pada embrio ayam, efektif memberi perlindungan hingga 99%. Antibodi terbentuk 7 – 10 hari setelah imunisasi dan bertahan sedikitnya hingga 30 – 35 tahun, mungkjin lebih lama. Walaupun demikian imunisasi ulang diharuskan bagi orang yang bepergian ke daerah endemis dalam jangka waktu 10 tahun sesuai dengan International Health Regulation. Sejak tahun 1989 WHO menyarankan bagi negara-negara Afrika yang termasuk didalam apa yang disebut dengan endemic – epidemic belt agar memasukkan vaksin demam kuning kedalam imunisasi rutin mereka yang diberikan pada usia bayi. Sejak bulan Maret 1998 ada 17 negara Afrika yang telah melaksanakan anjuran tersebut, namun hanya dua negara saja yang mencapai cakupan 50%. Vaksin demam kuning tidak boleh diberikan kepada bayi kurang dari usia 4 bulan. Vaksinasi terhadap bayi usia 4 – 9 bulan hanya diberikan dengan pertimbangan yang sangat kuat bahwa bayi tersebut benar-benar berisiko tertular oleh demam kuning oleh karena kemungkinan mereka terpajan sangat besar. Pemberian vaksinasi pada usia ini dengan memperhitungkan kemungkinan terjadinya ensefalitis pasca vaksinasi. Oleh karena vaksin demam kuning mengandung virus hidup, maka tidak boleh diberikan kepada orang dimana pemberian vaksin yang mengandung virus hidup merupakan kontra indikasi. Begitu pula tidak boleh diberikan kepada ibu hamil pada trimester pertama kecuali bahwa risiko tertulari demam kuning lebih besar daripada risiko vaksinasi terhadap kehamilan. Walaupun belum pernah dilaporkan adanya kematian janin pada wanita hamil yang diberikan vaksinasi demam kuning, serokonversi maternal sangat rendah oleh karena itu perlu diberikan vaksinasi ulang setelah melahirkan. Pemberian vaksinasi dianjurkan bagi penderita HIV yang asimptomatis. Tidak ada bukti yang cukup bahwa pemberian vaksinasi pada penderita HIV yan simptomatik membahayakan penderita tersebut untuk terkena demam kuning. 578 2) Untuk memberantas demam kuning diperkotaan yang paling penting dilakukan adalah membasmi nyamuk Ae. Aegypti. Jika diperlukan lakukan imunisasi. 3) Demam kuning sylvanic atau demam kuning tipe hutan ditularkan oleh Haemogogus dan species Aedes. Untuk demam kuning tipe ini tindakan yang paling baik untuk memberantasnya adalah dengan cara melakukan imunisasi yang diberikan kepada semua penduduk pedesaan yang oleh karena pekerjaannya mereka terpajan dengan hutan yang endemis demam kuning. Imunisasi juga diberikan kepada orang-orang yang berkunjung kedaerah hutan yang endemis demam kuning. Bagi mereka yang tidak diimunisasi, dianjurkan agar melindungi diri mereka dari gigitan nyamuk dengan menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang, memakai repelan (obat gosok anti nyamuk) serta memasang kelambu pada waktu tidur. B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat : Laporan adanya penderita demam kuning diwajibkan oleh International Health Regulation (1969), IHR beranotasi edisi ke 3 (1983), yang diperbaharui dan dicetak kembali pada tahun 1992, WHO, Geneva, kelas C (lihat tentang pelaporan penyakit menular). Catatan: IHR saat ini sedang direvisi dan diharapkan selesai pada tahun 2005 untuk mengantisipasi terjadinya perubahan-perubahan yang menyangkut segala peristiwa Public Health of International Concern. 2) Isolasi: Kewaspadaan universal terhadap darah dan cairan tubuh paling sedikit sampai dengan 5 hari setelah sakit, penderita yang sedang dirawat agar dihindari terhadap gigitan nyamuk. Ruang perawatan agar dipasangi kasa nyamuk, tempat tidur dipasangi kelambu, ruangan disemprot dengan insektisida dengan efek residual. 3) Disinfeksi serentak: tidak dilakukan disinfeksi. Rumah penderita dan rumah di sekitar penderita disemprot dengan insektisida yang efektif. 4) Karantina: tidak dilakukan 5) Imunisasi terhadap kontak: keluarga dan mereka yang kontak dengan penderita yang sebelumnya belum pernah diimunisasi agar diberikan imunisasi. 6) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Lakukan penyelidikan semua tempat, termasuk daerah berhutan yang dikunjungi oleh penderita 3 – 6 hari sebelum mereka sakit. Tempat-tempat tersebut dianggap sebagai fokus penularan, awasi semua orang yang berkunjung ke daerah tersebut. Cari tempa-tempat yan pernah dikunjungi oleh penderita dan tempat mereka bekerja beberapa hari sebelum mereka sakit. Lakukan penyemprotan terhadap tempat-tempat tersebut dengan insektisida yang efektif untuk mencegah penularan. Lakukan investigasi terhadap mereka yang menderita demam walaupun ringan dan orang-orang yang meninggal dengan sebab yang tidak jelas terhadap kemungkinan bahwa orang tersebut menderita demam kuning. 7) Pengobatan spesifik: Tidak ada 579 C. Penanggulangan wabah 1) Demam kuning perkotaan yang ditularkan oleh Aedes aegypti: a. Lakukan imunisasi massal, dimulai dengan terhadap orang yang terpajan dengan penderita kemudian terhadap orang-orang yang tinggal didaerah dimana densitas Ae. aegypti-nya tinggi. b. Penyemprotan seluruh rumah dengan insektisida yang efektif terbukti dapat mencegah terjadinya KLB didaerah perkotaan. c. Memusnahkan tempat-tempat perindukan nyamuk Ae. aegypti (Dengan gerakan 3M+), bila diperlukan lakukan pemberian larvasida untuk membunuh jentik nyamuk. 2) Demam kuning Sylvatic atau demam kuning tipe hutan a Lakukan pemberian imunisasi segera kepada orang-orang yang tinggal atau kepada orang-orang yang memasuki daerah berhutan. b Bagi mereka yang belum diimunisasi dilarang mengunjungi daerah berhutan. Dan bagi mereka yang baru saja diimunisasi dilarang mengunjungi daerah berhutan sampai degan seminggu setelah diimunisasi. 3) Di daerah dimana demam kuning mungkin timbul, sediakan fasilitas diagnostik antara lain fasilitas untuk melakukan laparotomi post mortem untuk dapat mengambil spesimen jaringan hati dari penderita yang meninggal dengan gejala demam dengan durasi 10 hari. Mengingat bahwa pemeriksaan histopatologis terhadap jaringan hati tidak patognomonis untuk demam kuning maka fasilitas pemeriksaan serologis untuk konfirmasi diagnosis harus disediakan. 4) Di Amerika Selatan dan Amerika baian tengah, adanya kematian monyet-monyet dihutan (howler and spider monkeys) harus dicurigai adanya demam kuning. Lakukan pemeriksaan histopatologis sel hati dan isolasi virus dari monyet-monyet yang mati untuk konfirmasi diagnosis. 5) Survei imunitas terhadap populasi dihutan dengan teknik netralisasi sangat bermanfaat dalam upaya pemetaan daerah enzootic. Survei serologis pada manusia tidak bermanfaat oleh karena imunisasi demam kuning telah dilakukan secara luas dimasyarakat. D. Implikasi bencana: Tidak ada E. Tindakan Internasional 1) Segera laporkan kepada WHO dan kepada negara tetangga jika ditemukan kasus pertama demam kuning baik itu kasus import, kasus yang ditransfer atau penderita indigenous, didaerah yang tadinya tidak pernah ada penderita demam kuning. Agar segera dilaporkan juga kepada WHO jika ditemukan focus baru atau reaktivasi fokus lama demam kuning pada vertebrata selain manusia. 2) Lakukan tindakan-tindakan yang diatur dalam International Health Regulation (IHR), 1969, Edisi beranotasi ke 3 (1983) dan yang diperbaharui dan dicetak kembali pada tahun 1992 (Revisi sedang dilakukan dan akan selesai pada tahun 2005). 3) Karantina terhadap hewan: Lakukan karantina terhadap monyet dan primata yang datang dari daerah endemis demam kuning. Karantina dilakukan sampai dengan lewat 7 hari setelah meningggalkan daerah endemis tersebut. 580 4) Perjalanan internasional: Sebagian besar negara-negara didunia mewajibkan semua pengunjung yang datang dari daerah endemis demam kuning untuk menunjukkan sertifikat vaksinasi yang masih berlaku (ICV) sebagai bukti bahwa mereka telah memperoleh imunisasi demam kuning. Yang diwajibkan untuk memiliki sertifikat vaksinasi yang masih berlalu adalah mereka yang datang dari daerah endemis Afrika dan Amerika Selatan. Apabila mereka yang datang dari daerah endemis demam kuning belum diimunisasi, maka terhadap mereka harus dilakukan karantina selama 6 hari sebelum diijinkan melanjutkan perjalanan mereka. WHO menganjurkan pemberian imunisasi kepada mereka yang akan bearkunjung kedaerah endemis demam kuning terutama bagi mereka yang akan berkunjung ke daerah diluar kota-kota besar didaerah endemis dimana demam kuning pada manusia masih ditemukan dan diduga bahwa penularan demam kuning juga terjadi pada primata. International Certificate of Vaccination (ICV) terhadap demam kuning berlaku mulai dari 10 hari sampai dengan 10 tahun setelah vaksinasi. Jika dilakukan revaksinasi terhadap orang tersebut maka ICV tersebut berlalu sampai dengan 10 tahun setelah tanggal revaksinasi tersebut.
No comments:
Post a Comment