script src='http://elmubarok.googlecode.com/files/floating1.js' type='text/javascript'/>

http://ikkibondenkkesmas.blogspot.com/2010/03/about-me.html

Kata Rasullullah ada tiga amalan yang jika dikerjakan maka Amalnya akan mengalir meskipun yang mengamalkannya telah meninggalal dunia diantaranya adalah ILMU BERMANFAAT YANG DIAJARKAN.

Monday 2 February 2009

PENYAKIT CACING TAMBANG

Postingan kali ini bersumber dari E-Book dengan Judul Manual Pemberantasan Penyakit Menular, by James Chin, MD, MPH Editor dan Dr, I Nyoman Kandun, MPH Edisi Ke 17 tahun 2000

PENYAKIT CACING TAMBANG (HOOKWORM DISEASE) ICD-9 126; ICD-10 B76 (Ancylostomiasis, Uncinariasis, Necatoriasis) 1. Identifikasi Suatu infeksi parasit kronis yang sering terjadi dan muncul dengan berbagai gejala, biasanya proporsi terbesar dengan berbagai tingkat anemia. Pada infeksi berat, akibat darah diisap oleh cacing mengakibatkan terjadinya kekurangan zat besi dan menyebabkan 280 terjadinya anemia hipokromik, anemia mikrositik, sebagai penyebab utama disabilitas. Anak-anak dengan infeksi berat dalam jangka waktu lama dapat menderita hipoproteinemia dan mengalami keterbelakangan mental dan keterbelakangan perkembangan fisiknya. Kadang-kadang, reaksi paru akut yang berat dan gejala GI dapat terjadi mengikuti pemajanan infeksi larva. Kematian jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh infeksi yang lain. Infeksi cacing tambang ringan umumnya ditandai dengan beberapa atau tanpa gejala klinis. Diagnosa adanya Infeksi ditegakkan dengan ditemukannya telur cacing tambang dalam tinja; pemeriksaan tinja mungkin negatif pada awalnya perjalan penyakitnya sampai cacing menjadi dewasa. Untuk melakukan diferensiasi spesies memerlukan pemeriksaan mikroskopis kultur larva yang berasal dari tinja, atau pemeriksaan cacing dewasa yang dikeluarkan dengan obat pencahar setelah diberi obat cacing (Vermifuga). Membedakan spesies dapat juga dilakuakn dengan menggunakan teknik PCR-RFLP. 2. Penyebab Penyakit Necator americanus, Ancylostoma duodenale, A. ceylanicum dan A. caninum. 3. Distribusi Penyakit Endemis secara luas di negara tropis dan subtropis dimana pembuangan tinja manusia yang tidak saniter, dimana keadaan tanah, keadaan suhu dan kelembaban yang mendukung hidupnya larva infektif. Dapat juga ditemukan didaerah beriklim sedang dengan keadaan lingkungan yang serupa (contohnya didaerah pertambangan). Necator dan Ancylostoma ditemukan di banyak tempat di Asia (terutama di Asia Tenggara), Pasifik selatan dan Afrika timur. N. americanus merupakan spesies yang umum ditemukan di Asia terutama Asia Tenggara, sebagian besar di daerah tropis Afrika dan Amerika; A. duodenale banyak ditemukan di Afrika Utara, termasuk di lembah Nile, di bagian utara India, di agian utara Timur Jauh dan daerah Andean di Amerika selatan. A.ceylanicum terdapat di Asia Tenggara namun lebih jarang jika dibandingkan dengan N. americanus atau A. duodenale. A. caninum di Australia diketahui sebagai penyebab sindroma eosinophilic enteritis di Australia. 4. Reservoir Manusia adalah reservoir untuk N. americanus dan A. duodenale; sedangkan kucing dan anjing untuk A. ceylanicum dan A. caninum. 5. Cara Penularan Telur dalam tinja yang di deposit didalam tanah dan menetas ditanah; dalam kondisi yang sesuai yaitu udara yang lembab, suhu dan tipe tanah yang sesuai, larva berkembang menjadi stadium tiga, menjadi infektif dalam 7-10 hari. Infeksi pada manusia terjadi ketika larva infektif masuk melalui kulit, biasanya pada kaki; kemudian, mengakibatkan terjadinya dermatitis yang khas (ground itch). Larva A. caninum mati dalam kulit, menyebabkan terjadinya larva migrans pad kulit. Larva Necator dan Ancylostoma yang lain biasanya masuk ke kulit dan lewat saluran limfe dan aliran darah menuju paru-paru, masuk ke alveoli, pindah ke trachea kemudian ke faring, ditelan dan mencapai usus halus dimana mereka menyerang dinding usus halus, berkembang menjadi dewasa dalam 6-7 minggu (3-4 minggu pada kasus A. ceylanicum) dan sangat khas dapat menghasilkan ribuan telur per hari. Infeksi Ancylostoma bisa juga didapat karena menelan larva infektif; kemungkinan terjadinya penularan vertikal pernah dilaporkan. 281 6. Masa Inkubasi Gejala dapat muncul dalam beberapa minggu sampai dengan berbulan-bulan, tergantung kepada infeksi dan masukan zat besi pada pejamu. Infiltrasi paru, batuk dan tracheitis mungkin dapat terjadi selama fase migrasi di paru, khususnya infeksi Necator. Setelah memasuki tubuh manuasia, A. duodenale menjadi dormant selama sekitar 8 bulan, setelah itu cacing mulai tumbuh dan berkembang lagi, dengan infeksi patent (tinja yang berisi telur) terjadi satu bulan kemudian. 7. Masa Penularan Tidak ada penularan dari orang ke orang, tetapi seorang yang terinfeksi dapat mencemari tanah selama beberapa tahun bila tanpa pengobatan. Dalam keadaan yang baik, larva tetap infektif dalam tanah selama beberapa minggu. 8. Kerentanan dan Kekebalan Berlaku umum, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kekebalan terjadi akibat terinfeksi. 9. Cara-cara Penanggulangan A. Cara-cara Pencegahan 1) Berikan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya tanah yang tercemar oleh tinja manusia, kotoran kucing dan kotoran anjing, dan tentang upaya pencegahan yang harus dilakukan seperti memakai sepatu di daerah endemis. 2) Lakukan pencegahan pencemaran terhadap tanah dengan membangun sistem pembuangan tinja yang saniter, khususnya pembuangan jamban umum di daerah pedesaan. Pemupukan tanaman dengan tinja dan sistem pembuangan air limbah yang buruk sangat berbahaya. 3) Lakukan pemeriksaan dan Pengobatan terhadap penduduk yang pindah dari daerah endemis ke daerah reseptif non-endemis, khususnya mereka yang bekerja tanpa menggunakan sepatu pada pertambangan, konstruksi bendungan atau pada sektor pertanian. B Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar 1) Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan kasus tidak wajib dilakukan; Kelas 5 (lihat pelaporan tentang penyakit menular) 2) Isolasi: tidak ada. 3) Disinfeksi serentak: Pembuangan tinja yang saniter untuk mencegah pencemaran tanah. 4) Karantina: Tidak diperlukan. 5) Imunisasi kontak: Tidak ada. 6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Setiap kontak yang terinfeksi dan Carrier merupakan penyebar infeksi tidak langsung yang sangat potensial maupun nyata. 7) Pengobatan spesifik: Pengobatan dosis tunggal dapat diberikan dengan mebendazole (Vermox®), albendazole (Zentel®), levamisole (Ketrax®), atau pyrantel pamoat (Antiminth®). Pemeriksaan tinja lanjut dibekukan 2 minggu setelah pengobatan, dan Pengobatan harus diulang jika infestasi cacing cukup berat. Pemberian suplemen zat besi akan memperbaiki anemia dan harus diberikan bersamaan dengan pengobatan cacing. 282 Transfusi diperlukan untuk anemia berat. Sebagai peganggan umum, wanita hamil pada trimester pertama kehamilan jika tidak ada indikasi kuat untuk diberikan pengobatan, sebaiknya jangan diberi obat cacing. C. Upaya penanggulangan wabah: Lakukan survei prevalensi di daerah endemis tinggi dan berikan pengobatan massal secara periodik. Berikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan, dan sediakan sarana yang cukup untuk pembuangan tinja. D. Implikasi bencana: Tidak ada. E. Tindakan Internasional: Tidak ada.

INFLUENZA ICD-9 487; ICD-10 J10, 11 1. Identifikasi Influenza adalah penyakit virus akut yang menyerang saluran pernafasan ditandai dengan timbulnya demam, sakit kepala, mialgia, lesi, coryza, sakit tenggorokan dan batuk. Batuk biasanya keras dan panjang namun gejala-gejala lainnya bisanya hilang dengan sendirinya. Penyakit ini sembuh dalam waktu 2-7 hari. Penyakit ini dikenal karena karakteristik epidemiologisnya; kasus sporadis diketahui hanya dengan pemeriksaan laboratorium. Influenza pada seseorang dapat dibedakan dengan penyakit yang 285 disebabkan oleh virus pernafasan lainnya. Gambaran klinis dapat berkisar mulai dari Common cold, Croup, bronchiolitis, pneumonia akibat virus dan penyakit pernafasan akut lain yang tidak jelas. Gejala pada saluran pencernaan (mual, muntah, diare) jarang terjadi, tetapi bisa saja gejala tersebut terjadi menyertai fase pernafasan pada anak yang terserang influenza, dan dilaporkan lebih dari 25% anak-anak pada KLB yang terjadi di sekolah disebabkan influenza B dan A (H1N1) mengalami gejala gastrointestinal. Influenza menjadi penting karena dari kecepatannya menyebar dan menjadi wabah, luasnya penyebaran penyakit dan timbulnya komplikasi yang serius khususnya terjadi, pneumonia akibat virus dan bakteri. Selama terjadinya wabah yang meluas, dapat terjadi penyakit yang berat dengan angka kematian yang tinggi, terutama pada orang dengan usia lanjut dan orang-rang yang lemah akibat berbagai penyakit seperti penyakit jantung, paru, ginjal atau penyakit gangguan metabolisme kronis. Proporsi kematian yang diakibatkan pneumonia dan influenza jika dibandingkan dengan angka kematian yang normal terjadi pada tahun-tahun tersebut berbeda dari wabah ke wabah dan tergantung pada prevalensi tipe virus. Dari tahun 1972-1973 sampai dengan tahun 1994-1995, diperkirakan lebih dari 20.000 kematian karena influenza terjadi pada salah satu dari sebelas kali kejadian wabah yang berbeda di Amerika Serikat, dan lebih dari 40.000 kasus influenza meninggal selama 6 dari 11 kali kejadian wabah tersebut, 80%-90% kematian terjadi pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Namun demikian, pada pandemi yang terjadi pada tahun 1918, angka kematian tertinggi terjadi dikalangan dewasa muda. Sindroma Reye, yang menyerang SSP dan hati, merupakan komplikasi yang jarang dan terjadi pada anak-anak yang menelan obat salisilat; komplikasi ini terjadi terutama pada anak-anak dengan penyakit influenza B dan jarang terjadi pada anak dengan influenza A. Selama penyakit pada fase demam, konfirmasi laboratorium dibuat dengan melakukan isolasi virus influenza dari sekret faring atau secret hidung atau hasil cucian faring atau hidung yang ditanam pada kultur sel atau pada telur yang sudah berembrio. Dapat juga dengan identifikasi langsung antigen virus pada sel nasofaring dan cairan nasofaring dengan menggunakan tes FA atau ELISA, atau dengan amplifikasi RNA virus. Infeksi dapat juga ditegakkan dengan ditemukannya respons serologis spesifik antara serum akut dan konvalesen. 2. Penyebab Infeksi Tiga tipe virus influenza yang dikenal yaitu: A, B dan C. Tipe A terdiri dari 3 subtipe (H1N1, H2N2 dan H3N2) yang dikaitkan dengan terjadinya epidemi dan pandemi yang luas. Tipe B jarang sekali menyebabkan terjadinya KLB regional atau yang menyebar luas. Tipe C dikaitkan dengan timbulnya kasus sporadis dan KLB kecil yang terlokalisir. Tipe virus ditentukan oleh sifat antigen dari dua struktur protein internal yang relatif stabil ditentukan oleh nukeloprotein dan matrik protein. Subtipe influenza A dikelompokkan sesuai dengan sifat antigen dari glikoprotein permukaan, hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Seringnya terjadi mutasi dari gen yang membawa kode-kode genetik pada permukaan glycoprotein dari virus influenza A dan virus influenza B mengakibatkan timbulnya varian baru yang dibedakan dengan wilayah geografis darimana virus tersebut diisolasi, nomer kultur dan tahun isolasi. Beberapa contoh dari prototipe strain ini dengan cara penandaan tersebut adalah A/Beijing/262/95 (H1N1), A/Japan/305/57 (H2N2), A/Sydney/5/97 (H3N2) dan B/Yamanashi/166/98. 286 Munculnya subtipe yang benar-benar baru (perubahan antigen) terjadi dengan interval yang tidak beraturan dan hanya terjadi dengan virus tipe A; virus ini menyebabkan terjadinya pandemi dan diakibatkan karena terjadinya rekombinasi dari antigen manusia, babi dan unggas yang tidak dapat diramalkan terjadi. Perubahan relatif dari antigen minor (penyimpangan antigen) dari virus A dan B mengakibatkan sering terjadi wabah dan KLB regional dan setiap tahun harus dilakukan reformulasi tahunan untuk vaksin influenza. 3. Distribusi Penyakit Muncul sebagai terjadi Pandemi, Epidemi, KLB setempat atau sebagai kasus sporadis. Sejak lebih dari 100 tahun yang lalu, pandemi terjadi pada tahun 1889, 1918, 1957 dan 1968. Attack Rate selama terjadinya wabah berkisar antara 10% sampai dengan 20% dimasyarakat umum dan Attack rate sampai lebih dari 50% pada populasi tertentu seperti di asrama sekolah atau perumahan perawat. Wabah influenza di Amerika Serikat terjadi hampir setiap tahun; wabah ini diakibatkan terutama oleh virus Tipe A, kadang-kadang disebabkan oleh virus tipe B ataupun kedua-duanya. Di daerah beriklim sedang, wabah cenderung terjadi pada musim dingin, sedangkan di daerah tropis, wabah sering terjadi pada musim hujan, namun KLB atau kasus sporadis dapat terjadi setiap bulan. Infeksi oleh virus influenza dengan subtipe antigen yang berbeda juga dapat terjadi secara alami pada babi, kuda, cerpelai dan anjing laut, dan pada spesies unggas peliharaan dan unggas liar di berbagai tempat di dunia. Penularan antar spesies dan pembauran kembali (Reassortment) dari virus influenza A dilaporkan terjadi diantara babi, manusia dan unggas domestik dan unggas liar. Virus influenza pada manusia yang menyebabkan terjadinya pandemik pada tahun 1918, 1957 dan 1968 berisi dari segmen gen yang dekat kaitannya dengan virus influenza pada burung. 4. Reservoir Manusia merupakan reservoir utama untuk infeksi yang terjadi pada manusia, namun demikian, reservoir mamalia seperti babi dan burung nerupakan sumber subtipe baru pada manusia yang muncul karena pencampuran gen (gene reassortment). Subtipe baru dari suatu starin virus virulen dengan surface antigens baru mengakibatkan pandemik influenza yang menyebar terutama kepada masyarakat yang rentan. 5. Cara Penularan Penularan melalui udara terutama terjadi pada daerah yang padat penduduk pada ruangan tertutup, seperti pada bis sekolah; penularan dapat juga terjadi dengan kontak langsung, oleh karena virus influenza dapat hidup berjam-jam diluar tubuh manusia, khususnya di daerah dingin dan di daerah dengan kelembaban yang rendah. 6. Masa Inkubasi - Pendek, biasanya 1-3 hari. 7. Masa Penularan Masa penularan mungkin berlangsung selama 3-5 hari sejak timbulnya gejala klinis pada orang dewasa; sampai 7 hari pada anak-anak muda. 8. Kerentanan dan Kekebalan Apabila subtipe baru muncul, semua anak dan orang dewasa rentan, kecuali mereka telah 287 mengalami KLB yang terjadi sebelumnya yang disebabkan oleh subtipe yang sama atau subtipe yang antigennya mirip. Infeksi akan menimbulkan kekebalan terhadap virus spesifik, namun lamanya antibodi bertahan dan luasnya spektrum kekebalan tergantung pada tingkat perubahan antigen dan banyaknya infeksi sebelumnya. Vaksinasi menghasilkan respons serologis spesifik terhadap jenis virus yang ada didalam vaksin dan memberi respons booster untuk strain yang sama pada sesorang yang pernah mengalami infeksi oleh virus dengan strain yang sama sebelumnya. Age specific Attack rate selama epidemi menggambarkan bahwa kekebalan masih tetap ada terhadap strain virus yang sama dengan subtipe yang menimbulkan epidemi apabila KLB yang dialami sebelumnya juga dari subtipe yang sama, sehingga insidensi infeksi pada epidemi yang sedang terjadi sering tertinggi pada anak-anak usia sekolah. Oleh karena itu maka wabah H1N1 yang terjadi setelah tahun 1977, ditemukan insidensi penyakit tertinggi pada mereka yang lahir setelah tahun 1957; sebagian besar penduduk yang lahir sebelumnya mempunyai kekebalan parsial dari infeksi oleh antigen virus H1N1 sejenis yang berlangsung selama tahun 1918 sampai dengan 1957. 9. Cara-cara pemberantasan Petunjuk secara terperinci untuk pencegahan dan pengendalian influenza dikeluarkan setahun sekali oleh CDC dan WHO. A. Cara Pencegahan 1) Berikan penyuluhan kepada masyarakat dan tenaga pelayanan kesehatan tentang dasar-dasar kebersihan perorangan, khususnya mengenai bahayanya batuk dan bersin tanpa menutup mulut dan hidung, dan bahaya penularan melalui tangan ke selaput lendir. 2) Imunisasi dengan menggunakan vaksin virus yang tidak aktif dapat memberikan 70%-80% perlindungan terhadap infeksi pada orang dewasa muda yang sehat apabila antigen yang ada didalam vaksin sama atau dekat dengan strain virus yang orang bersirkulasi. Pada orang dengan usia lanjut, pemberian imunisasi mungkin kurang bermanfaat untuk pencegahan infeksi namun pemberian imunisasi mungkin dapat mengurangi beratnya penyakit dan terjadinya komplikasi sebesar 50%-60% dan terjadinya kematian rata-rata 80%. Mereka yang dirawat di rumah sakit yang berusia 65 tahun keatas yang menderita pneumonia dan influenza di Amerika Serikat selama kurun waktu lebih tahun 1989 – 1992 telah turun sekitar 30%-50% dengan pemberian imunisasi. Imunisasi influenza harus diberikan bersamaan dengan pemberian imunisasi terhadap pneumonia akibat peneumococci (q.v.) Satu dosis tunggal sudah cukup bagi mereka yang sebelumnya pernah terpajan dengan virus influenza A dan B; 2 dosis vaksin dengan interval 1 bulan diperlukan bagi mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi. Imunisasi rutin diarahkan terutama kepada mereka yang paling berisiko mendapatkan komplikasi serius atau kematian kalau terserang influenza (lihat Identifikasi yang diuraikan di atas) dan terhadap mereka yang dapat menularkan penyakit kepada mereka yang rentan (tenaga kesehatan atau kontak serumah yang brisiko tinggi). Imunisasi bagi anak-anak yang mendapatkan juga disarankan untuk mencegah terjadinya sindroma Reye karena infeksi influenza. Vaksin yang diberikan intra nasal, yaitu vaksin influenza trivalent cold pengobatan aspirin jangka panjang 288 adapted live attenuated masih dalam uji klinis tahap akhir untuk melihat efikasi pada anak-anak dan dewasa dan diharapkan sudah beredar pada awal millennium ini. Pemberian Imunisasi harus juga dipertimbangkan untuk diberikan kepada mereka yang bergerak pada bidang pelayanan masyarakat dan kepada personil militer. Namun sebetulnya jika diberikan maka, setiap orang akan memperoleh keuntungan dari imunisasi. Imunisasi harus diberikan setiap tahun sebelum penularan influenza terjadi di masyarakat (yaitu pada bulan November sampai dengan bulan Maret di Amerika Serikat). Bagi mereka yang tinggal dan bepergian ke luar Amerika Serikat, waktu pemberian imunisasi harus didasarkan pada pola musiman dari virus influenza dinegara tersebut (biasanya dari bulan April sampai dengan bulan September di wilayah Bumi bagian Selatan dan didaerah topis). Rekomendasi biannual untuk menentukan jenis komponen yang harus ada dalam vaksin yang akan dibuat didasarkan pada strain virus yang sedang beredar saat ini yang dapat diketahui dari kegiatan surveilans Internasional. Kontraindikasi: Mereka yang hipersensitif dan alergi terhadap protein telur atau terhadap komponen vaksin yang lain merupakan kontraindikasi pemberian imunisasi. Selama dilakukan program vaksinasi untuk babi pada tahun 1976, peningkatan risiko berkembangnya sindroma Guillain-Barre (GBS) 6 minggu setelah vaksinasi di Amerika Serikat. Vaksin yang dibuat pada periode belakangan ini yang dibuat dari strain virus yang berbeda belum jelas mempunyai kaitan dengan peningkatan risiko GBS. 3) Hydrochloride amantadine (Symmetrel®, Symadine®) atau rimantadine hydrochloride (Flumadine®) efektif sebagai obat kemoprofilaksis untuk influenza A, namun tidak efektif untuk influenza tipe B. Amantadine dapat menyebabkan terjadinya efek samping pada SSP pada 5%-10% dari mereka yang divaksinasi; mereka yang mendapat komplikasi lebih parah adalah kelompok usia lanjut atau mereka dengan fungsi ginjal yang tidak baik. Untuk alasan ini, seseorang dengan penurunan fungsi ginjal harus diberikan dosis vaksin yang dikurangi sesuai dengan tingkat kerusakan ginjal. Rimantadine dilaporkan mengakibatkan lebih banyak terjadinya efek pada SSP. Penggunaan obat-obatan tersebut harus dipertimbangkan benar bagi mereka yang belum pernah diimunisasi atau bagi mereka yang mempunyai risiko tinggi terjadinya komplikasi, seperti penghuni asrama atau penghuni rumah-rumah jompo, atau obat ini diberikan apabila vaksin yang tepat tidak tersedia atau sebagai suplemen terhadap vaksinasi yang sedang diberikan apabila perlindungan maksimal sangat mendesak diperlukan terhadap infeksi influenza A. Pemberian obat harus dilanjutkan selama terjadinya wabah; hal itu tidak akan mempengaruhi respons terhadap vaksin influenza. Inhibitor terhadap neuraminidase influenza cukup aman dan cukup efektif untuk pencegahan dan pengobatan terhadap influenza A dan B. Obat-obat baru tersebut pada awalnya digunakan di Australia dan Swedia, dan pada pertengahan tahun 1999 digunakan di Amerika Serikat. Neuraminidase Inhibitor diharapkan tersedia secara luas dipasaran pada awal millennium ini. 289 B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar 1) Laporan ke institusi kesehatan setempat; laporan terjadinya KLB dan konfirmasi laboratorium dapat membantu kegiatan surveilans penyakit. Laporan penyebab infeksi pada KLB bila mungkin harus ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium, Kelas 1 A (lihat pelaporan tentang penyakit menular). 2) Isolasi: Tidak dilakukan karena tidak praktis oleh karena keterlambatan diganosa, kecuali diagnosa dapat ditegakkan dalam waktu singkat, maka isolasi bermanfaat pemeriksaan langsung virus tersedia. Pada keadaan epidemi, dengan adanya peningkatan jumlah penderita, perlu dilakukan isolasi terhadap penderita (khususnya terhadap bayi dan anak-anak usia muda) yang diduga menderita influenza dengan cara menempatkan mereka di ruangan yang sama (secara cohort) selama 5-7 hari pertama sakit. 3) Disinfeksi serentak: Tidak diperlukan. 4) Karantina: Tidak ada. 5) Perlindungan Kontak: Pemberian obat kemofrofilaksis seperti amantadine atau rimantadine cukup bermanfaat terhadap strain tipe A (lihat 9A3, di atas). 6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Tidak praktis. 7) Pengobatan spesifik: Amantadine atau rimantadine diberikan dalam 48 jam setelah timbulnya gejala akibat influenza A dan diberikan selama 3-5 hari untuk mengurangi gejala dan titer virus di dalam sekret saluran pernafasan. Dosis pemberian adalah 5 mg/kg/hari yang dibagi dalam 2 dosis bagi mereka yang berusia antara 1-9 tahun dan 100 mg dua kali sehari bagi mereka yang berumur 9 tahun ke atas (jika berat badan kurang dari 45 kg, gunakan 5 mg/kg/hari dalam 2 dosis) selama 2-5 hari. Dosis harus dikurangi bagi mereka yang berusia 65 tahun keatas atau mereka dengan penurunan fungsi ginjal dan hati. Neuramididase inhibitor baru yang saat ini sedang berkembang dapat dipertimbangkan dipakai untuk pengobatan influenza A dan B, preparat ini beredar di Amerika Serikat pada musim influenza 1999/2000. Selama dilakukan pengobatan dengan obat tersebut, mungkin muncul virus yang resisten terhadap obat tersebut dan selama berlangsungnya pengobatan dapat ditularkan kepada orang lain; oleh karena itu perlu dilakukan Cohorting pada waktu melakukan pengobatan antiviral, khususnya pada populasi yang tertutup dengan banyak individu yang mempunyai risiko tinggi. Penderita harus diamati terus untuk melihat terjadinya komplikasi bakteri untuk dapat segera diberikan antibiotik. Karena ada kaitannya dengan munculnya sindroma Reye, maka salisilat tidak dibolehkan diberikan pada anak-anak. C. Upaya penanggulangan wabah 1) Akibat yang berat dan mengganggu yang disebabkan epidemi influenza disuatu masyarakat dapat dikurangi dengan melakukan penyuluhan kesehatan dan membuat perencanaan kesehatan yang efektif, khususnya perencanaan program imunisasi bagi penderita dengan risiko tinggi dan kepada orang-orang yang merawat penderita. Surveilans dan laporan penemuan kasus oleh petugas kesehatan pada saat merebaknya KLB dan sangat penting dilakukan. 290 2) Menutup kegiatan sekolah secara khusus tidak terbukti sebagai tindakan pengendalian yang efektif; oleh karena umumnya dilakukan cukup terlambat dan biasanya penutupan sekolah dilakukan karena tingginya absensi murid dan staff. 3) Manajemen rumah sakit harus mengantisipasi terjadinya peningkatan kebutuhan akan pelayanan kesehatan lainnya selama masa berlangsungnya wabah; mungkin juga terjadi peningkatan absensi tenaga pelayanan kesehatan karena influenza. Untuk mencegah hal ini, petugas kesehatan harus diberikan imunisasi setiap tahun atau diberikan obat antiviral selama terjadinya wabah influenza. A. 4) Penyediaan obat antiviral dalam jumlah yang cukup untuk mengobati penderita yang berisiko tinggi dan untuk melindungi mereka yang masuk kategori tenaga/staf penting pada saat terjadinya pandemi dengan strain baru dimana belum tersedia vaksin yang tepat pada waktu gelombang pertama kasus. D. Implikasi bencana : Apabila orang berada pada lingkungan hunian yang berdesakan maka begitu virus influenza masuk maka akan terjadi KLB. E. Tindakan Internasional : Termasuk Disease under Surveillance, WHO. Hal-hal berikut ini disarankan untuk dilakukan : 1) Laporkan apabila terjadi wabah (epidemic) disuatu negara kepada WHO. 2) Sebutkan jenis virus penyebab terjadinya KLB/wabah pada laporan, dan kumpulkan prototype strain kepada salah satu dari 4 Pusat Referensi dan Riset Influenza WHO (Atlanta, London, Tokyo dan Melbourne). Sampel dari sekret tenggorokan, aspirat nasofaring dan spesimen darah dapat dikirimkan ke Pusat Riset Influenza yang diakui oleh WHO. 3) Lakukan studi epidemiologi dan laporkan virus penyebab dengan segera kepada otoritas kesehatan. 4) Pastikan bahwa tersedia fsilitas pemerintah dan atau fasilitas swasta yang memadai untuk penyediaan vaksin dan obat antiviral dalam jumlah yang cukup, dan pertahankan kesinambungan program imunisasi dan pemberian obat antiviral kepada penduduk berisiko tinggi dan bagi orang-orang yang memerlukan. SINDROMA KAWASAKI ICD-9 446.1; ICD-10 M303 (Penyakit Kawasaki, Mucocutaneous lymphnode syndrome, Acute Febrile Mucocutaneous lymphnode syndrome) 1. Identifikasi Ditandai dengan demam, sembuh dengan sendirinya, vasculitis sistemik dan menyerang usia permulaan masa kanak-kanak, penyakit ini mungkin disebabkan oleh toxin atau oleh agen infeksious. Secara klinis ditandai dengan demam tinggi/Spiking fever (rata-rata berlangsung 12 hari), tidak responsif terhadap antibiotika, iritabilitas tinggi dan terjadi perubahan mood; sering terjadi adenopati soliter unilateral non supuratif pada leher; injeksi konjungtiva bulbaris non eksudatif bilateral; enanthem yang terdiri dari 291 ”Strawberry tongue”: injeksi orofaring, bibir kering dan pecah-pecah, tungkai oedema, erythema atau terjadi desquamasi umum atau desquamasi periungual; dan timbul exanthem merah polimorfus biasanya pada badan atau didaerah perineal dan dapat berbentuk mulai dari rash maculopapuler sampai dengan urticarial rash vasculitic exanthem vasculitik. Biasanya terdiri dari 3 fase: 1) fase demam akut berlangsung selama kira-kira 10 hari yang ditandai dengan demam tinggi spiking fever, rash, adenopathy, eritema atau oedema perifer, konjungtivitis dan enanthem 2) fase sub akut berlangsung kira-kira 2 minggu ditandai dengan demam, trombositosis, desquamasi, dan turunnya demam, dan 3) fase konvalesens yang panjang ditandai dengan menghilangnya gejala klinis. Case fatality rate berkisar antara 0,1% sampai 1,0%; separuh kematian dapat terjadi dalam 2 bulan sejak sakit. Tidak ada hasil pemeriksaan laboratorium yang pathognominis untuk sindroma Kawasaki (KS). Namun biasanya pada pemeriksaan laboratorium terjadi peningkatan LED, C-creative protein dan trombositosis diatas 450.000/mm3 (SI units 450 x 109/L). Diagnosis didasarkan pada munculnya demam yang berlangsung lebih dari 5 hari, dan demam ini tidak disebabkan oleh penyebab lain dan paling sedikit ada 4 gejala sebagai berikut berikut : 1) mata merah atau injeksi konjungtiva bilateral, 2) bibir merah atau pecah-pecah, injeksi faring atau timbul ”Strawberry tongue”, 3) eritema pada telapak tangan dan kaki, edema pada tangan dan kaki atau terjadi desquamasi periungual atau desquamasi umum 4) rash dan atau 5) limfadenopati kelenjar leher (paling sedikit satu kelenjar berukuran 1,5 cm atau lebih). Standar terjadinya demam lebih dari 5 hari dibaikan apabila telah pengobatan immunoglobuline intravena (IVIG) diberikan dalam 5 hari pada saat penderita dalam keadaan demam. Diagnosis KS yang tidak khas (atypical KS) ditegakkan cukup dengan kriteria kurang dari lima kriteria diagnosa yang disebutkan diatas apabila ada coronary artery aneurysm. 2. Penyebab Infeksi Penyebab KS tidak diketahui. Diperkirakan toksin super antigen bakteri yang dikeluarkan oleh Staphylococcus aureus atau oleh group A streptococci, namun hal ini belum dapat dipastikan dan belum dapat diterima secara umum. 3. Distribusi Penyakit Tersebar di seluruh dunia, walaupun kebanyakan kasus (>100.000) dilaporkan terjadi di Jepang pada saat terjadi wabah disana. Di Amerika Serikat, Perkiraan jumlah kasus baru setiap tahun rata-rata 2.000. Sekitar 80% kasus yang ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 5 tahun, dengan puncak insidens pada mereka yang berusia 1-2 tahun, lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Kasus muncul lebih banyak pada musim dingin dan musim semi. Beberapa KLB dilaporkan terjadi di beberapa kota dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Di Jepang, dimana penyakit ini muncul sejak tahun 1970, puncak insidens terjadi pada tahun 1984-1985. Sejak itu, kemudian incidence rate terus-menerus bertahan dengan insidens 108 per 100.000 anak dirawat pada tahun 1996. 292 4. Reservoir : Tidak diketahui, mungkin manusia. 5. Cara Penularan Tidak diketahui. Tidak ada bukti terjadi penularan dari orang ke orang, meskipun dalam lingkungan keluarga. Terjadinya variasi musiman, pada anak-anak dan KLB yang terjadi di masyarakat sesuai dengan etiologi penyakit. 6. Masa Inkubasi : tidak diketahui 7. Masa penularan : tidak diketahui 8. Kerentanan dan Kekebalan Anak-anak, khususnya anak-anak keturunan Asia, lebih mudah terserang KS, namun di AS angka insidensi anak-anak keturunan Asi yang terserang KS relatif kecil bahkan sebagian besar kasus dilaporkan terjadi diantara penduduk Amerika keturunan Afrika dan anak-anak Caucasian. Kambuhnya penyakit sangat sering dilaporkan. 9. Cara-cara Pemberantasan A. Upaya Pencegahan: Cara-cara pencegahan tidak diketahui B. Penanganan Penderita, Kontak dan Lingkungan sekitar 1) Laporan ke instansi kesehatan setempat: Di Amerika Serikat laporan adanya kasus KS dilakukan secara sukarela ditujukan kepada Sistem Surveilans Kawasaki, CDC, Atlanta (CDC 55.54 Rev. 1-91) melalui instansi kesehatan setempat maupun instansi kesehatan negara Bagian. Kalau ditemukan kasus dalam jumlah banyak atau muncul dalam bentuk KLB harus dilaporkan segera, kelas 5 (lihat pelaporan tentang penyakit menular. 2) Isolasi: tidak dilakukan 3) Disinfeksi serentak: Tidak diperlukan. 4) Karantina: tidak ada 5) Imunisasi kontak: tidak dilakukan 6) Investigasi kontak: Tidak praktis dan tidak bermanfaat kecuali jika terjadi KLB atau muncul kasus pada suatu kelompok orang. 7) Pengobatan spesifik: Berikan IVIG dalam dosis tinggi, sebaiknya dalam dosis tunggal diberikan selama 10 hari sejak muncul demam. Pemberian IVIG ini dapat mengurangi demam, gejala-gejala inflamasi dan mencegah terjadinya aneurisma sehingga harus dipertimbangkan untuk diberikan walaupun demam lebih dari 10 hari. Sekitar 10% dari penderita mungkin tidak memberikan respons sehingga mungkin memerlukan pengobatan ulang. Dosis tinggi aspirin disarankan untuk diberikan selama fase akut, diikuti dengan dosis rendah selama sedikitnya 2 bulan. Pemberian vaksin campak dan atau vaksin Varicella biasanya ditunda setelah pemberian IVIG. C. Upaya penanggulangan wabah: KLB dan kasus Clusters harus diinvestigasi untuk mengetahui etiologi dan faktor risiko. 293 D. Implikasi bencana: Tidak ada. E. Tindakan Internasional: Tidak ada.





 

No comments:

Post a Comment