script src='http://elmubarok.googlecode.com/files/floating1.js' type='text/javascript'/>

http://ikkibondenkkesmas.blogspot.com/2010/03/about-me.html

Kata Rasullullah ada tiga amalan yang jika dikerjakan maka Amalnya akan mengalir meskipun yang mengamalkannya telah meninggalal dunia diantaranya adalah ILMU BERMANFAAT YANG DIAJARKAN.

Monday 2 February 2009

DEMAM TYPHOID

Postingan kali ini bersumber dari E-Book dengan Judul Manual Pemberantasan Penyakit Menular, by James Chin, MD, MPH Editor dan Dr, I Nyoman Kandun, MPH Edisi Ke 17 tahun 2000

DEMAM TYPHOID                              ICD-9 002.0; ICD-10 A01.0 (Demam enterik, Tifus Abdominalis) DEMAM PARATIFOID ICD-9 002.1-002.9; ICD-10 A01.1 – A01.4

1. Identifikasi Adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan demam insidius yang berlangsung lama, sakit kepala yang berat, badan lemah, anoreksia, bradikardi relatif, splenomegali, pada penderita kulit putih 25% diantaranya menunjukkan adanya “rose spot” pada tubuhnya, batuk tidak produktif pada awal penyakit, pada penderita dewasa lebih banyak terjadi konstipasi dibandingkan dengan diare. Gejala lebih sering berupa gejala yang ringan dan tidak khas. Pada demam tifoid dapat terjadi ulserasi pada plaques peyeri pada ileum yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan atau perforasi (sekitar 1% dari kasus), hal ini sering terjadi pada penderita yang terlambat diobati. 557 Dapat juga timbul demam tanpa disertai keringat, gangguan berfikir, pendengaran berkurang dan parotitis. CFR pada waktu belum ditemukannya antibiotika bisa mencapai 10 – 20%, saat ini CFR kurang dari 1% jika segera diberikan pengobatan dengan antibiotika yang tepat. Tergantung pada jenis antibiotika yang dipakai, penderita yang telah sembuh dapat mengalami relaps (kira-kira 15 – 20%), biasanya penyakit lebih ringan dibandingkan dengan penyakit yang dialami pertama kali. Nomenklatur baru berdasarkan hubungan DNA diusulkan untuk pemberian nama pada salmonella sesuai dengan nomenklatur baru tersebut hanya ada dua species salmonella yaitu – Salmonella bongori dan Salmonella enterica. Semua bakteri yang patogen terhadap manusia dikelompokkan kedalam serovarian dibawah sub species I dan S. enterica. Dengan nomenklatur baru yang diusulkan tersebut maka S. typhi akan berubah menjadi S. enterica serovarian Typhi dan disingkat dengan S. Typhi (penulisannya tidak dengan huruf italik dan ditulis dengan huruf besar). Beberapa badan resmi telah menggunakan nomenklatur yang diusulkan tersebut walapun sampai dengan pertengahan tahun 1999 nomenklatur baru tersebut belum disahkan pemakaiannya. Pada bab ini telah digunakan nomenklatur baru tersebut. Demam paratifoid memberikan gambaran klinis yang sama dengan demam tifoid, namun cenderung lebih ringan dengan CFR yang jauh lebih rendah. Ratio Distribusi Penyakit yang disebabkan oleh Salomnella enterica serovarian Typhi (S. Typhi) dibandingkan dengan S. enterica serovarian Paratyphi A dan B (S. Paratyphi A, S. Paratyphi B) kira-kira 10 : 1. Relaps dapat terjadi pada 3 – 4% dari kasus. Jika infeksi Salmonella tidak terjadi secara sistemik maka manifestasinya hanya berupa gastro enteritis. Organisme penyebab penyakit dapat diisolasi dari darah pada permulaan penyakit, sedangkan pada urine dan tinja organisme baru dapat ditemukan seminggu setelah sakit. Konfirmasi bakteriologis melalui pemeriksaan kultur sampel sumsum tulang adalah yang terbaik walaupun pada penderita yang telah mendapatkan pengobatan antibiotika (kultur sampel sumsum tulang ini dengan “recovery” mencapai 90 – 95%). Tes serologis seperti tes widal nilai diagnostiknya rendah karena sensitivitas dan spesifisitasnya rendah. 2. Penyebab penyakit Demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi, basil Tifoid. Untuk tujuan studi epidemiologis maka prosedur pemeriksaan laboratorium “phage typing” dan “pulsed field gel electrophoresis” dari S. Typhi mempunyai nilai yang tinggi untuk melakukan identifikasi terhadap isolat. Untuk demam paratifoid dikenal ada 3 serovarians S. enterica yaitu : S. Paratyphi A, S. Paratyphi B, S. Paratyphi C. Dikenal beberapa macam “phage types”. 3. Distribusi penyakit Penyakit ini tersebar merata diseluruh dunia. Insidensi penyakit demam tifoid diseluruh dunia mencapai 17 juta setahun dengan jumlah kematian sebanyak 600.000 orang. Di Amerika Serikat demam tifoid muncul sporadis dan relatif konstan berkisar antara 500 kasus setahun selama bertahun-tahun (bandingkan dengan demam tifoid yang dilaporkan sebanyak 2484 pada tahun 1950).Dengan memasyarakatnya perilaku hidup bersih dan sehat, memasyarakatnya pemakaian jamban yang saniter maka telah terjadi penurunan kasus demam Tifoid, dan yang terjadi di Amerika Serikat adalah kasus import dari daerah endemis. Sekarang sering ditemukan strain yang resisten terhadap kloramfenikol dan terhadap antibiotika lain yang umum digunakan untuk demam tifoid. 558 Kebanyakan isolat yang dikumpulkan pada tahun 90an dari Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika Timur Laut adalah strain yang membawa plasmid dengan faktor R yang membawa kode resistens terhadap berbagai jenis antibiotika yang dulu umum dipakai untuk mengobati demam tifoid seperti kloramfenikol, amoksisilin, trimetroprim/sulfametoksasol. Demam paratifoid muncul secara sporadis atau muncul sebagai KLB terbatas, mungkin juga kejadiannya lebih banyak daripada yang dilaporkan. DI AS dan Kanada demam paratifoid jarang teridentifikasi. Dari ketiga jenis demam paratifoid, paratifoid B adalah yang paling sering ditemukan, paratifoid A lebih jarang dan yang paling jarang adalah paratifoid C. 4. Reservoir Manusia merupakan reservoir bagi tifoid maupun paratifoid; walapun jarang binatang peliharaan dapat berperan sebagai reservoir bagi paratifoid. Kontak dalam lingkungan keluarga dapat berupa carrier yang permanen atau carrier sementara. Status carrier dapat terjadi setelah serangan akut atau pada penderita subklinis. Sedangkan carrier kronis sering terjadi pada mereka yang kena infeksi pada usia pertengahan terutama pada wanita; carrier biasanya mempunyai kelainan pada saluran empedu termasuk adanya batu empedu. Status carrier kronis pada saluran kemih terjadi pada penderita schitosomiasis. Pernah terjadi KLB demam paratifoid di Inggris, sapi perah yang mengeluarkan mikroorganisme Paratyphi B didalam susu dan kotoran mereka diketahui sebagai penyebab terjadinya KLB. 5. Cara-cara Penularan Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja dan urin dari penderita atau carrier. Dibeberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara penularan memindahkan mikroorganisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif, dimana dosisnya lebih rendah pada tifoid dibandingkan dengan paratifoid. 6. Masa Inkubasi Masa inkubasi tergantung pada besarnya jumlah bekteri yang menginfeksi; masa inkubasi berlangsung dari 3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata antara 8 – 14 hri. Untuk gastroenteris yang disebabkan oleh paratifoid masa inkubasi berkisar antara 1 – 10 hari. 7. Masa Penularan Selama basil ditemukan didalam tinja selama itu dapat terjadi penularan, biasanya terjadi penularan pada minggu pertama sakit dan selama periode konvalesens; waktu ini dapat bervariasi (untuk paratifoid biasanya masa penularan berlangsung antara 1 – 2 minggu) sekitar 10% dari penderita demam tifoid yang tidak diobati selama tiga bulan akan terus menerus mengeluarkan basil setelah munculnya gejala awal dan 2 – 5% penderita akan menjadi carrier kronis; sebagian kecil penderita yang terinfeksi oleh paratifoid dapat menjadi carrier permanen pada kandung empedu. 559 8. Kerentanan dan kekebalan Setiap orang rentan terhadap infeksi, kerentanan ini meningkat pada orang yang menderita akhlorhidria atau pada orang yang menderita infeksi HIV. Imunitas spesifik relatif dapat timbul setelah seseorang mengalami infeksi baik yang menunjukkan gejala klinis maupun pada mereka yang tapa gejala. Imunitas dapat juga muncul setelah pemberian imunisasi. Didaerah endemis demam tifoid sering ditemukan pada anak prasekolah dan anak-anak berusia 5 – 19 tahun. 9. Cara-cara pemberantasan A. Cara-cara Pencegahan 1). Berikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan setelah buang air besar dan sebelum memegang makanan dan minuman, sediakan fasilitas untuk mencuci tangan secukupnya. Hal ini terutama penting bagi mereka yang pekerjaannya sebagai penjamah makanan dan bagi mereka yang pekerjaannya merawat penderita dan mengasuh anak-anak. 2). Buanglah kotoran pada jamban yang saniter dan yang tidak terjangkau oleh lalat. Pemakaian kertas toilet yang cukup untuk mencegah kontaminasi jari. Ditempat yang tidak ada jamban, tinja ditanam jauh dari sumber air dihilir. 3). Lindungi sumber air masyarakat dari kemungkinan terkontaminasi. Lakukan pemurnian dan pemberian klorin terhadap air yang akan didistribusikan kepada masyarakat. Sediakan air yang aman bagi perorangan dan rumah tangga. Hindari kemungkinan terjadinya pencemaran (backflow) antara sistem pembuangan kotoran (sewer system) dengan sistem distribusi air. Jika bepergian untuk tujuan pikinik atau berkemah air yang akan diminum sebaiknya direbus atau diberi bahan kimia. 4). Berantas lalat dengan menghilangkan tempat berkembang biak mereka dengan sistem pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik. Lalat dapat juga diberantas dengan menggunakn insektisida, perangkap lalat dengan menggunakan umpan, pemasangan kasa. Jamban konstruksinya dibuat sedemikian rupa agar tidak dapat dimasuki lalat. 5). Terapkan standar kebersihan pada waktu menyiapkan dan menangani makanan; simpan makanan dalam lemari es pada suhu yang tepat. Perhatian khusus harus diberikan pada salad dan makanan lain yang dihidangkan dalam keadaan dingin. Standar kebersihan ini berlaku untuk makanan yang disiapkan dirumah tangga maupun yang akan disajikan untuk umum. Jika kita kurang yakin akan standar kebersihan ditempat kita makan, pilihlah makanan yang panas dan buah-buahan sebaiknya dikupas sendiri. 6). Lakukan pasteurisasi terhadap susu dan produk susu. Lakukan pengawasan yang ketat terhadap sanitasi dan aspek kesehatan lainnya terhadap produksi, penyimpanan dan distribusi produk susu. 7). Terapkan peraturan yang ketat tentang prosedur jaga mutu terhadap industri yang memproduksi makanan dan minuman. Gunakan air yang sudah diklorinasi untuk proses pendinginan pada waktu dilakukan pengalengan makanan. 8). Batasi pengumpulan dan penjualan kerang-kerangan dari sumber yang jelas yang tidak tercemar. Rebuslah kerang sebelum dihidangkan. 560 9). Beri penjelasan yang cukup kepada penderita, penderita yang sudah sembuh dan kepada carrier tentang cara-cara menjaga kebersihan perorangan. Budayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan. 10). Promosikan pemberian air susu ibu kepada bayi yang sedang menyusui. Rebuslah susu dan air yang akan dipakai untuk makanan bayi. 11). Carrier dilarang untuk menangani/menjamah makanan dan dilarang merawat penderita. Lakukan identifikasi terhadap carrier dan lakukan pengawasan terhadap mereka. Pembuatan kultur dari sampel limbah dapat membantu untuk menentukan lokasi carrier. Carrier kronis harus diawasi dengan ketat dan dilarang melakukan pekerjaan yang dapat menularkan penyakit kepada orang lain. Yang bersangkutan dapat dibebaskan dari larangan ini apabila sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu tiga kali berturut-turut sampel tinja yang diperiksa menunjukkan hasil negatif, khusus untuk daerah endemis schistosomiasis sampel yang diambil adalah sampel urin. Sampel diambil dengan interval satu bulan dan 48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir. Sampel yang baik adalah tinja segar. Dan dari tiga sampel yang berturut-turut diambil dengan hasil negatif minimal satu sampel harus diambil dengan cara melakukan lavemen/klisma. Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menemukan bahwa penggunaan derivat quinolone yang baru yang diberikan secara oral memberikan hasil yang baik untuk mengobati carrier walaupun ada kelainan empedu; untuk mengetahui apakah telah terjadi penyembuhan perlu dilakukan pemeriksaan kultur. 12). Untuk demam tifoid pemberian imunisasi tidak dianjurkan di AS. Saat ini imunisasi hanya diberikan kepada mereka dengan risiko tinggi seperti petugas laboratorium mikrobiologis, mereka yang bepergian kedaerah endemis, mereka yang tinggal didaerah endemis, anggota keluarga dengan carrier. Vaksin yang tersedia adalah vaksin oral hidup yang mengandung S. Typhi strain Ty21a (diperlukan 3 – 4 dosis dengan interval 2 hari), dan vaksin parenteral yang beredar adalah vaksin dosis tunggal yang berisi Vi antigen polisakarida. Vaksin oral yang berisi Ty21a jangan diberikan kepada penderita yang sedang mendapatkan pengobatan antibiotika atau pengobatan anti malaria, mefloquine. Oleh karena sering menimbulkan efek samping yang berat maka vaksin “whole cell” yang diinaktivasi dianjurkan untuk tidak digunakan. Vaksin dosis tunggal yang mengandung Vi antigen polisakarida adalah vaksin pilihan, karena kurang reaktogenik. Dosis booster perlu diberikan kepada mereka yang secara terus menerus mempunyai risiko tertular. Booster diberikan dengan interval antara 2 – 5 thun tergantung jenis vaksinnya. Demam paratifoid: ujicoba dilapangan dengan menggunakan vaksin oral tifoid (Ty21a) memberikan perlindungan parsial terhadap paratifoid, namun perlindungan yang diberikan tidak sebaik terhadap tifoid. 561 B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 1) Laporan kepada institusi kesehatan setempat; Tifoid wajib dilaporkan disebagian besar negara bagian dan negara didunia, kelas 2A (Lihat tentang pelaporan penyakit menular). 2) Isolasi: Pada waktu sakit, lakukan kewaspadaan enterik; sebaiknya perawatan dilakukan dirumah sakit pada fase akut. Supervisi terhadap penderita dihentikan apabila sampel yang diambil 3 kali berturut-turut dengan interval 24 jam dan 48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir memberikan hasil negatif. Pengambilan sampel tidak boleh kurang dari satu bulan setelah onset. Sampel yang diambil adalah tinja dan urin untuk penderita di daerah endemis schistosomiasis. Jika salah satu sampel memberi hasil positif maka ulangi pembuatan kultur dengan interval satu bulan selama 12 bulan setelah onset, sampai 3 kali beturu-turut sampel yang diambil hasilnya negatif. 3) Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap tinja, urin dan alat-alat yang tercemar. Di negara maju dengan fasilitas sistem pembuangan kotoran yang baik, tinja dapat dibuang langsung kedalam sistem tanpa perlu dilakukan disinfeksi terebih dulu. Dilakukan pembersihan menyeluruh. 4) Karantina: Tidak dilakukan 5) Imunisasi terhadap kontak: Pemberian imunisasi rutin terhadap anggota keluarga, petugas kesehatan dengan vaksin tifoid kurang begitu bermanfaat walaupun mereka terpajan dengan penderita tifoid. Namun vaksinasi masih bermanfaat diberikan kepada mereka yang terpajan dengan carrier. Tidak ada vaksin yang efektif untuk demam paratifoid A. 6) Lakukan investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Sumber infeksi yang sebenarnya dan sumber infeksi yang potensial harus diidentifikasi dengan cara melakukan pelacakan penderita yang tidak dilaporkan, carrier dan melacak makanan, susu, air, kerang-kerangan yang terkontaminsai. Seluruh anggota grup pelancong yang salah satu anggotanya adalah penderita tifoid harus diamati. Titer antibodi terhadap purified Vi polysaccharide mengidentifikasikan yang bersangkutan adalah carrier. Jika ditemukan tipe phage yang sama pada organisme yang diisolasi dari penderita dan carrier menunjukan telah terjadi penularan. 7) Pengobatan spesifik: Meningkatnya resistensi terhadap berbagai macam strain menentukan jenis obat yang dipakai untuk terapi secara umum, untuk orang dewasa ciprofloxacin oral dianggap sebagai obat pilihan terutama untuk penderita tifoid di Asia. Belakangan ini dilaporkan bahwa telah terjadi penurunan sensitivitas pada penelitian in vivo terhadap berbagai strain Asia. Untuk strain lokal yang masih sensitf terhadap pengobatan maka obat-obatan oral seperti kloramfenikol, amoksisilin atau TMP-SMX (untuk anak-anak) masih cukup efektif untuk mengobati penderita akut. Sedangkan ceftriaxone obat parenteral yang diberikan sekali sehari sangat bermanfaat diberikan kepada penderita obtunded atau kepada penderita dengan komplikasi dimana tidak bisa diberikan pengobatan antibiotika oral. Pemberian kartikosteroid dosis tinggi dalam jagka pendek dikombinasikan dengan pemberian antibiotika serta terapi suportif membantu menurunkan angka kematian pada penderita berat. Untuk pengobatan kepada carrier lihat uraian pada bagian 9A11 diatas. Penderita schistosomiasis yang menderita tifoid selain 562 pemberian terapi untuk tifoidnya maka diberikan juga praziquantel untuk menghilangkan kemungkinan cacing schistosoma membawa basil S. Typhi C. Penanggulangan wabah 1) Lakukan pelacakan secara intensif terhadap penderita dan carrier yang berperan sebagai smber peularan. Cari dan temukan media (air, makanan) yang tercemar yang menjadi sumber penularan. 2) Lakukan pemusnahan terhadap makanan yang diduga sebagai sumber penularan. 2). Lakukan pasteurisasi atau rebuslah susu yang akan dikonsumsi. Singkirkan seluruh suplai susu dan makanan yang diduga tercemar untuk tidak dikonsumsi pada saat sampai diketahui bahwa susu dan makanan tersebut aman untuk dikonsumsi. 3). Terhadap sumber air yang diduga tercemar dilakukan klorinasi sebelum digunakan dengan supervisi yang ketat. Apabila tindakan klorinasi tidak dapat dilakukan, air dari sumber yang diduga tercemar tersebut jangan digunakan, semua air minum harus diklorinasi, diberi iodine atau direbus sebelum diminum. 4). Pemberian imunisasi secara rutin tidak dianjurkan. D. Implikasi bencana Di daerah/tempat penampungan pengungsi dimana persediaan air sangat terbatas dan fasilitas pembuangan kotoran tidak memadai serta tidak ada pengawasan terhadap makanan dan air, kemungkinan terjadi penularan demam tifoid sangat besar, apabila diantara para pengungsi tersebut terdapat penderita aktif atau carrier. Untuk mencegah terjadinya penularan dikalangan para pengungsi maka lakukan upaya untuk memperbaiki fasilitas penyediaan air minum dan fasilitas pembuangan kotoran. Pemberian imunisasi bagi kelompok-kelompok tertentu dapat dilakukan seperti terhadap anak sekolah, penghuni penjara, penghuni fasilitas tertentu, personil/staf rumah sakit atau terhadap pegawai kantor pemerintahan kabupaten/kota. Pemberian imunisasi terhadap kelompok ini cukup bermanfaat karena mereka hidup dalam komunitas yang terorganisir. E. Tindakan internsional 1) Untuk demam tifoid: pemberian imunisasi dianjurkan untuk diberikan terhadap para wisatawan yang berkunjung kedaerah enemis, terutama apabila didaerah tersebut para wisatawan diduga akan terpajang dengan air dan makanan yang tercemar atau wisatawan diduga akan kontak dengan penduduk asli didaerah pedesaan. Imunisasi tidak diwajibkan bagi wisatawan yang akan berkunjung kesuatu negara. 2) Untuk demam tifoid dan paratifoid manfaatkan pusat-pusat kerjasam WHO.


 

No comments:

Post a Comment