Postingan kali ini bersumber dari E-Book dengan Judul Manual Pemberantasan Penyakit Menular, by James Chin, MD, MPH Editor dan Dr, I Nyoman Kandun, MPH Edisi Ke 17 tahun 2000
DEMAM TIFUS
ICD-10A75 I. Demam Tifus Wabahi Yang ditularkan oleh kutu ICD-9 080; ICD-10 A75.0 (Louseborne typhus,Typhus exanthematicus, Demam tifus klasik)
1. Identifikasi Penyakit yang disebabkan oleh rickettsia dengan gejala klinis yang sangat bervariasi. Penyakit kadangkala muncul mendadak ditandai dengan sakit kepala, menggigil, lelah, demam dan sakit disekujur tubuh. Timbul bercak dikulit berbentuk makuler pada hari kelima dan keenam, mulai muncul pada badan bagian atas kemudian menyerbu keseluruh tubuh, namun penyebaran bercak ini tidak mengenai muka, telapak tangan dan telapak kaki. Muncul gejala toksemia yang jelas dan penyakit berakhir dengan perbaikan yang cepat setelah 2 minggu demam. CFR meningkat dengan meningkatnya umur berkisar antara 10 – 40% jika tidak diobati dengan pengobatan yang tepat. Gejala klinis ringan tanpa bercak dikullit dapat terjadi pada penderita anak-anak atau pada orang yang sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi. Penyakit ini dapat menyerang kembali setelah sebelumnya pernah terserang untuk pertama kalinya (Dikenal dengan penyakit Brill Zinsser, ICD-9 081.1; ICD-10 A75.1); gejala klinis penyakit ini lebih ringan, jarang terjadi komplikasi, CFRnya rendah. Pemeriksaan laboratorium yang biasanya digunakan untuk konfirmasi diagnosis adalah tes IF, namun prosedur pemeriksaan ini tidak dapat membedakan antara tifus yang ditularkan oleh kutu dengan tifus murine (ICD-9 081.0; ICD-10 A75.2), kecuali sera yang akan dipakai untuk tes IF ini sebelumnya diserap dulu dengan antigen rickettsia terkait. Metode diagnostik lain yang dipakai adalah EIA, PCR, pengecatan jaringan dengan metode immunohistochemical, pemeriksaan CF dengan group specific, atau washed type specific rickettsial antigen, atau dengan tes netralisasi toksin. Pemeriksaan antibodi biasanya memberi hasil positif pada minggu kedua. Pada penyakit akut antibodi yang ditemukan adalah IgM dan pada penyakit Brill-Zinsser adalah IgG. 2. Penyebab penyakit: – Rickettsia prowazekii. 3. Penyebaran penyakit Penyakit ini ditemukan terutama didaerah dingin dengan sanitasi yang jelek dan kepadatan kutu sebagai vektor sangat tinggi. Wabah yang besar dapat terjadi pada waktu terjadi peperangan dan pada saat terjadi kelaparan. Fokus-fokus endemis ditemukan tersebar didaerah pegunungan Mexico, Amerika tengah dan selatan, Afrika bagian tengah dan timur dan dibeberapa negara di Asia. Di AS KLB tifus yang ditularkan oleh kutu terakhir dilaporkan terjadi pada tahun 1921. Rickettsia ini ditemukan sebagai penyakit zoonosis pada tupai terbang (Glaucomys volans). Secara serologis terbukti bahwa manusia tertulari dari sumber ini kemungkinan melalui gigitan kutu tupai terbang. Kelompok kasus di AS dilaporkan dari Indiana, California, Illinois, Ohio, Tennesse dan West Virginia. 4. Reservoir: Manusia berperan sebagai reservoir dan berperan dalam mempertahankan siklus penularan pada periode antar wabah. Walaupun tupai terbang bukan sebagai sumber utama penularan namun beberapa kejadian sporadis dikaitkan dengan binatang ini. 564 5. Cara-cara penularan Kutu badan, Pediculus humanus corporis yang mengisap darah penderita akut akan terkena infeksi kemudian dapat menularkan kepada orang lain. Penderita penyakit Bill- Zinsser dapat menginfeksi kutu dan dapat berperan sebagai fokus terjadinya KLB didaerah dimana densitas kutu tinggi. Kutu yang terinfeksi akan mengeluarkan rickettsia melalui kotorannya, biasanya kutu ini mengeluarkan kotoran pada saat mereka menghisap darah. Orang terkena infeksi oleh karena secara tidak sengaja menggosok kulitnya yang terkena kotoran kutu atau terinfeksi karena membunuh kutu yang sedang menghisap darah. Rickettsia masuk melalui luka gigitan kutu atau melalui abrasi kulit. Inhalasi udara yang mengandung pertikel kotoran kutu yang terinfeksi dapat juga menyebabkan infeksi. Penularan oleh tupai terbang diduga karena gigitan kutu binatang tersebut, namun hal ini belum dibuktikan kebenarannya. 6. Masa inkubasi: - Antara 1 - 2 minggu rata-rata 12 hari. 7. Masa penularan: Penyakit ini tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Penderita dapat menularkan penyakit kepada kutu yang menghisap darah mereka pada saat penderita mengalami demam dan sekitar 2 – 3 hari setelah suhu badan kembali normal. Kutu yang terinfeksi akan mengeluarkan rickettsia dalam kotorannya 2 – 6 hari setelah menghisap darah. Kutu dapat segera menjadi infektif jika pada saat sedang menggigit orang lain kutu tersebut dibunuh. Kutu biasanya mati 2 minggu setelah terinfeksi dan rickettsia dapat bertahan dalam tubuh kutu yang mati sampai berminggu-minggu. 8. Kerentanan dan kekebalan: Semua orang rentan terhadap penyakit ini. Satu serangan dapat menimbulkan kekebalan yang dapat bertahan lama. 9. Cara-cara pemberantasan A. Upaya pencegahan 1). Di daerah yang penduduknya hidup dalam lingkungan dimana densitas kutunya tinggi, taburkan bubuk insektisida yang punya efek residual pada pakaian dan pada tubuh orang yang diduga mengandung kutu. Lakukan dengan interval yang tepat. Insektisida yang dipakai hendaknya jenis yang efektif untuk membunuh kutu setempat. 2). Perbaiki kondisi kesehatan lingkungan dengan fasilitas air yang mencukupi untuk mencuci pakaian dan mandi. 3). Lakukan tindakan profilaktik terhadap mereka yang tinggal didaerah risiko tinggi dengan menaburkan insektisida yang mempunyai efek residual pada pakaian atau dengan cara impregnasi. B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar 1). Laporan kepada institusi kesehatan setempat: Demam tifus yang ditularkan oleh kutu sesuai dengan anjuran WHO merupakan penyakit yang wajib dilaporkan, Kelas 1A (lihat tentang laporan penyakit menular) 2). Isolasi: Tindakan isolasi tidak perlu dilakukan kalau sudah dilakukan upaya pemberantasan kutu dengan benar yaitu terhadap pasien, pakaian, lingkungan tempat tinggal dan terhadap kontak. 565 3). Disinfeksi serentak: Taburkan bubuk insektisida pada pakaian dan tempat tidur penderita dan kontak. Cucilah pakaian dan sprei yang digunakan oleh penderita. Kutu cenderung menjauhi suhu tubuh yang tinggi dan suhu tubuh yang dingin, mereka cenderung mencari tubuh yang ditutupi pakaian dengan suhu normal (lihat bab 9A1, diatas). 4). Karantina: Mereka yang tubuhnya mengandung kutu dan terpajan dengan penderita tifus harus dikarantina selama 15 hari setelah badannya ditaburi dengan insektisida dengan efek residual. 5). Penanganan kontak: Semua kontak harus diamati terus menerus selama 2 minggu. 6). Investivigasi kontak dan sumber infeksi: segala upaya harus dilakukan untuk melacak sumber penularan. 7). Pengobatan spesifik: Pada saat KLB pemberian doksisiklin dosis tunggal 200mg biasanya sudah cukup untuk menyembuhkan penderita. Pemberian tetrasiklin atau kloramfenikol dengan dosis awal 2 – 3 gram diikuti dengan dosis 1 – 2 gram/hari dibagi dalam 4 dosis sampai penderita tidak demam lagi (biasanya 2 hari) ditambah 1 hari. Jika mendapatkan penderita yang diduga tifus dengan penyakit berat, segera lakukan pengobatan tanpa harus menunggu konfirmasi hasil laboratorium. C. Upaya penanggulangan wabah Upaya yang dilakukan secara cepat menanggulangi KLB tifus adalah dengan cara menaburkan insektisida dengan efek residual terhadap seluruh kontak. Jika disuatu daerah diketahui bahwa penyebaran kutu sangat luas maka lakukan tindakan penaburan insektisida dengan efek residual secara sistematik terhadap seluruh anggota masyarakat. Pemberian pengobatan yang tepat terhadap penderita membantu mencegah penyebaran penyakit. D. Implikasi bencana Ditempat penampungan pengungsi, ditempat dimana orang banyak berkumpul dapat terjadi KLB tifus jika didaerah tersebut adalah daerah endemis dengan densitas kutu yang tinggi. E. Pengukuran Internasional 1). Negara yang terjangkit demam tifus yang ditularkan kutu di daerah yang tadinya tidak ada kasus, wajib melaporkan kepada WHO secepat mungkin. 2). Wisatawan mancanegara: Tidak satupun negara didunia yang mewajibkan para wisatawan untuk mendapatkan imunisasi sebelum memasuki negara tersebut. 3). Tifus yang ditularkan oleh kutu termasuk didalam grafik penyakit dibawah Surveilans WHO. Manfaatkan pusat pusat kerjasama WHO. II. Demam Tifus Endemik yang ditularkan kutu ICD-9 081.0; ICD-10 A75.2 (Murine typhus, Shop typhus) 1. Identifikasi Adalah penyakit yang disebabkan oleh rickettsia yang perjalanan penyakitnya mirip dengan demam tifus wabahi yang ditularkan oleh kutu (louse), namun lebih ringan. CFR untuk semua umur lebih rendah dari 1%. 566 CFR meningkat dengan meningkatnay usia penderita. Tidak ditemukannya kutu (louse) disuatu wilayah, distribusi penyakit yang secara geografis dan menurut musim muncul secara sporadis membantu membedakannya dengan demam tifus wabahi yang ditularkan oleh kutu (louse borne). Untuk konfirmasi diagnosis secara laboratoris (lihat seksi I, 1 diatas) 2. Penyebab Penyakit: – Rickettsia typhi (Rickettsia mooseri); Rickettsia felis. 3. Distribusi penyakit Penyakit ini tersebar diseluruh dunia. Ditemukan didaerah dimana orang tinggal bersama tikus. DI AS kurang dari 80 penderita dilaporkan setiap tahun. Puncak musiman jumlah penderita ditemukan pada musim panas dan musim gugur. Kasus tersebar secara sporadis, proporsi tertinggi ditemukan di Texas dan California bagian selatan. Kasus lebih dari satu orang dapat dijumpai dalam satu anggota keluarga. 4. Reservoir Tikus besar, tikus kecil dan mamalia lainnya berperan sebagai reservoir. Siklus penularan berlangsung melalui kutu pada tikus, biasanya jenis tikusnya adalah Rattus rattus, dan R. novergicus. Infeksi biasanya berlangsung tanpa gejala. Mikroorganisme lain, Rikettsia felis ditemukan dalam siklus penularan dari kucing ke kucing melalui kutu kucing, ditemukan di California bagian selatan dan mungkin juga ditemukan ditempat lain. Penularan dari kucing kepada opossums (binatang sejenis kucing). 5. Cara penularan Kutu tikus yang terinfeksi (biasanya jenis Xenopsylla cheopis) membuang kotoran pada waktu menghisap darah dan didalam kotorannya mengandung rickettsia. Kotoran yang mengandung rikcettsia ini mencemari luka gigita dan daerah kulit lainnya yang mengalami luka. Penularan kadang-kadang dapat terjadi melalui inhalasi kotoran kering yang infektif dari kutu tikus. Infeksi oleh rickettsia dapat terjadi pada opposums, kucing, anjing, binatang liar dan domestik lainnya. Penyakit pada binatang ini adalah sembuh dengan sendirinya, tapi dapat menular kepada manusia melaui kutu kucing Chenocephalides felis. 6. Masa inkubasi: 1 – 2 minggu, biasanya rata-rata 12 hari. 7. Masa penularan: Penularan tidak terjadi dari manusia ke manusia sekali kutu binatang terinfeksi, mereka dapat menularkan penyakit selama hidup kutu tersebut yaitu sampai satu tahun. 8. Kerentanan dan kekebalan: Semua orang rentan terhadap infeksi penyakit ini, infeksi menimbulkan kekebalan. 567 9. Cara–cara pemberantasan A. Cara-cara pencegahan : 1). Tebarkan bubuk pestisida dengan efek residual pada tempat-tempat yang dilewati tikus, lobang-lobang tikus, tempat kapal berlabuh, tempat penampungan pengungsi. 2). Untuk menghindari pemajanan terhadap manusia, lakukan tindakan untuk menurunkan populasi kutu terlebih dahulu dengan menggunakan insektisida sebelum menerapkan upaya pemberantasan tikus (lihat tentang Pes pada 9A2 – 9A3, 9B6) B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 1). Laporan kepada institusi kesehatan setempat: kasus wajib dilaporkan hampir diseluruh negara bagian di AS dan dihampir disemua negara didunia, kelas B (lihat tentang pelaporan penyakit menular) 2). Isolasi: Tidak ada 3). Disinfeksi serentak: tidak dilakukan 4). Karantina: Tidak dilakukan 5). Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan 6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: cari dan temukan tikus atau opossums (binatang sejenis kucing liar yang hidup dihutan) disekitar rumah penderita. 7). Pengobatan spesifik: sama dengan pengobatan untuk Rocky Mountain Spotted Fever (q.v). C. Penanggulangan wabah: Didaerah endemis dimana ditemukan banyak kasus pamakaian insektisida dengan efek residual yang efektif terhadap kutu tikus dan kutu kucing akan sangat membantu menurunkan index kutu dan insidensi penyakit pada manusia. D. Implikasi Bencana: Kasus dapat timbul apabila tikus, manusia dan kutu karena suatu keadaan berada dalam koeksistensi bersama seperti pada trempat-tempat pengungsi. Namun tifus murine tidak muncul sebagai KLB pada situasi seperti itu. E. Tindakan Internasional: Manfaatkan pusat-pusat kerjasama WHO yang ada. III. TIFUS SCRUB ICD-9 081.2; ICD-10 A75.3 (Penyakit tsutsugamushi, demam tifus yang ditularkan oleh ngengat) 1. Identifikasi Penyakit yang disebabkan oleh rickettsia yang ditandai dengan munculnya ulcus primer pada kulit dengan bentuk “punched out” pada bagian kulit yang digigit oleh larva ngengat yang terinfeksi. Beberapa hari kemudian muncul demam, sakit kepala, keringat berlebihan, injeksi konjungtiva, limfadenopati. Seminggu setelah demam berlangsung muncul erupsi pada kulit yang berbentuk makulopapuler berwarna merah gelap pada bagian tubuh, menyebar ke tungkai dan menghilang dalam beberapa hari. Sering disertai dengan batuk dan pada pemeriksaan radiologis pada paru ditemukan pneumonitis. Tanpa dilakukan pengobatan dengan antibiotika yang tepat demam hilang pada hari ke 14. 568 CFR penderita yang tidak mendapat pengobatan berkisar antara 1 – 60%, tergantung dimana orang itu terkena, jenis rickettsia yang menginfeksi dan tergantung pula pada riwayat orang tersebut terhadap infeksi sebelumnya. Namun CFR selalu lebih tinggi pada usia yang lebih tua. 2. Penyebab penyakit: Orientia tsutsugamushi yang secara serologis ditemukan ada banyak strain yang berbeda. 3. Distribusi penyakit Penyakit ini tersebar di Asia bagian Tengah, Timur dan Tenggara. Kemudian ditemukan tersebar mulai dari Siberia tenggara, Jepang bagian utara sampai pada kewilayah bagian utara Australia dan Vanuatu, palestina bagin barat, lereng Himalaya sampai ketinggian 10.000 kaki dan banyak ditemukan terutama di Thailand bagian utara. Biasanya manusia mendapatkan infeksi dari tempat yang ukurannya relatif sangat kecil bahkan dalam ukuran meter persegi dimana ditempat tersebut rickettsia, vektor dan rodentia hidup berkoeksistensi dengan baik. Tempat yang terbatas tersebut dinamakan “typhus islands”. Distribusi penyakit menurut jender sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan. Orang dewasa yang bekerja pada daerah endemis tifus scrub dan didaerah yang densitas populasi ngengatnya tinggi kemungkinan tertular sangat besar. Misalnya mereka yang bekerja pada pembukaan lahn dihutan, daerah padang pasir yang diirigasi. KLB tifus dapat terjadi apabila mereka yang rentan masuk kedaerah endemis, terutama pada waktu dilakukan operasi militer, 20 – 50% dari mereka akan terinfeksi dalam beberpa minggu atau dalam beberapa bulan. 4. Reservoir: Yang menjadi reservoir adalah stadium larva dari ngengat jenis Leptotrombidium abamushi, L. Deliensis dan species jenis lain tergantung wilayahnya. Species tersebut yang paling umum diketahui sebagai vektor trhadap manusia. Siklus penularan pada ngengat berlangsung melalui rute transovarian. 5. Cara penularan: Melalui gigitan larva dari ngengat yang terinfeksi stadium nimfe dan ngengat dewasa tidak hidup dari hospes vertebrata. 6. Masa Inkubasi: Masa inkubasi bisanya berlangsung 10 – 12 hari; bervariasi antara 6 – 21 hari. 7. Masa penularan: Tifus scrub tidak ditularkan dari orang ke orang 8. Kerentanan dan kekebalan: Semua orang rentan terhadap penyakit ini, seseorang yang terserang penyakit ini akan kebal dalam waktu yang cukup panjang terhadap strain homolog dari O. tsutsugamushi dan hanya menimbulkan kekebalan sementara terhadap strain heterolog. Infeksi oleh strain heterolog dalam beberapa bulan akan menimbulkan penyakit yang ringan, namun setahun kemudian akan muncul penyakit yang khas. Serangan kedua dan ketiga terhadap mereka yang tingal di daerah endemis dapat terjadi secara alamiah pada orang-orang yang tinggal di daerah endemis, biasanya penyakit yang ditimbulkan sangat ringan bahkan tanpa gejala. Atau serangan kedua dan ketiga dapat terjadi pada mereka yang pernag terinfeksi namun tidak mendapatkan pengobatan dengan sempurna. Pada berbagai percobaan yang dilakukan belum ditemukan jenis vaksin yang efektif. 569 9. Cara-cara pemberantasan A. Upaya pencegahan 1). Hindari kontak dengan ngengat yang terinfeksi dengan upaya profilaktis yaitu dengan mengenakan pakaian dan selimut yang telah diberi mitisida (permethrin dan benzyl benzoate), memakai repelan (diethyltoluamide, Deet®) pada kulit yang tidak tertutup pakaian. 2). Basmilah ngengat dari tempat-tempat tertentu dengan cara menaburkan bahan kimia dengan komposisi hidrokarbon klorida seperti lindane, dieldrin atau chlordane ditanah serta vegetasi disekitar tenda perkemahan, bangunan dipertambangan dan disekitar dearah yang dihuni banyak orang didaerah endemis. 3). Pemberian doxycycline selama 7 minggu dengan dosis tunggal sebanyak 200 mg/minggu yang diberikan kepada sekelompok sukarelawan di Malaysia terbukti cukup efektif untuk mencegah terjadinya infeksi tifus scrub. B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 1). Laporan kepada institusi kesehatan setempat; Didaerah endemis, tifus scrub dapat dibedakan dengan tifus murin dan tifus yang ditularkan oleh tuma (louseborne typhus). Dikebanyakan negara penyakit ini bukan sebagai penyakit yang wajib dilaporkan, kelas 3A (lihat tentang pelaporan penyakit menular). 2). Isolasi: Tidak dilakukan 3). Disinfeksi serentak: Tidak dilakukan 4). Karantina: Tidak dilakukan 5). Imunisasi tehadap kontak: Tidak dilakukan 6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Tidak dilakukan (lihat pada 9C dibawah) 7). Pengobatan spesifik: Tetrasiklin dosis tunggal (loading dose), diikuti dengan dosis terbagi setiap hari sampai dengan penderita tidak demam lagi (rata-rata selama 30 jam). Kloramfenikol juga cukup efektif dan hanya diberikan jika ada indikasi kontra pemberian tetrasiklin (lihat seksi I, 9B7 diatas). Jika pengobatan baru dimulai 3 hari setelah sakit maka kemungkinan kambuh kembali besar sekali kecuali jika diberikan segera dosis kedua dengan interval 6 hari. Di Malaysia pemberian doxycycline dosis tunggal (5 mg/kg/BB) cukup efektif jika diberikan pada hari ke tujuh, sedngkan di Pulau Pescadores (Taiwan) diberikan pada hari ke lima. Jika dosis kedua ini diberikn lebih awal dari lima hari diperkirakan dapat terjadi relaps. Azithromycin berhasil baik digunakan pada penderita yang sedang hamil. C. Upaya penanggulangan wabah Dalam upaya mengatasi wabah, terapkan secara ketat apa yang diuraikan pada seksi 9A1 – 9A2 diatas di daerah terjangkit. Lakukan pengamatan yang ketat terhadap setiap penduduk dengan risiko tinggi, cari mereka yang demam dan yang dengan lesi primer; lakukan pengobatan segera begitu ditemukan ada yang sakit. D. Implikasi bencana: Penularan dapat terjadi apabila para pengungsi ditempatkan didaerah endemis pada situs “typhus islands” atau didekatnya. E. Tindakan Internasional: Manfaatkan Pusat-pusat Kerja sama WHO
No comments:
Post a Comment