script src='http://elmubarok.googlecode.com/files/floating1.js' type='text/javascript'/>

http://ikkibondenkkesmas.blogspot.com/2010/03/about-me.html

Kata Rasullullah ada tiga amalan yang jika dikerjakan maka Amalnya akan mengalir meskipun yang mengamalkannya telah meninggalal dunia diantaranya adalah ILMU BERMANFAAT YANG DIAJARKAN.

Monday 2 February 2009

TUBERKULOSISTUBERKULOSIS

Postingan kali ini bersumber dari E-Book dengan Judul Manual Pemberantasan Penyakit Menular, by James Chin, MD, MPH Editor dan Dr, I Nyoman Kandun, MPH Edisi Ke 17 tahun 2000

TUBERKULOSIS                                   ICD-9 010-018; ICD-10 A15-A19 (TB, Penyakit TB) 

1. Identifikasi Penyakit yang disebabkan oleh mikrobakterium ini merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian hampir di sebagian besar negara diseluruh dunia. Infeksi awal biasanya berlangsung tanpa gejala; tes tuberkulin akan memberikan hasil yang positif 2 – 10 minggu kemudian. Lesi awal pada paru umumya akan sembuh dengan sendirinya tanpa meninggalkan gejala sisa walaupun sangat jarang terjadi kalsifikasi pada kelenjar limfe paru dan kelenjar limfe trakeobronkial. Hampir 90 – 95% mereka yang mengalami infeksi awal akan memasuki fase laten dengan risiko terjadi reaktivasi seumur hidup mereka. Pemberian kemoterapi preventif yang sempurna dapat mengurangi risiko terjadinya TB klinis seumur hidup sebesar 95% dan kemoterapi preventif ini sangat efektif pada penderita HIV/AIDS. Hanya 5% dari orang normal dam 50% penderita HIV/AIDS yang terinfeksi TB akan berkembang menjadi TB paru klinis atau menjadi TB ekstrapulmoner. Akibat serius infeksi TB awal lebih sering terjadi pada bayi, dewasa muda dan pada orang dengan kelainan imunitas. TB ekstrapulmoner lebih jarang terjadi dibandingkan dengan TB paru. Anak-anak dan orang-orang dengan imunodefisiensi seperti halnya pada penderita HIV/AIDS lebih mudah mendapatkan TB ekstrapulmoner, namun TB paru tetap merupakan bentuk klinis yang menonjol dari infeksi TB di seluruh dunia. Infeksi TB dapat juga menyerang organ-organ lain dalam tubuh manusia seperti kelenjar limfe, pleura, perikardium, ginjal, tulang dan sendi, laring, telinga bagian tengah, kulit, usus, peritonium dan mata. TB Paru progresif muncul dari reinfeksi eksogen atau muncul dari reaktivasi endogen dari fokus laten infeksi primer. Penderita TB progresif jika tidak diobati dengan benar akan meninggal dalam waktu lima tahun, rata-rata dalam waktu 18 bulan. Status klinis ditentukan dengan ditemukannya basil TB dalam sputum atau dari gambaran foto thorax. Gambaran densitas abnormal pada foto thorax sebagai tanda adanya infiltrat pada paru, kavitasi dan fibrosis. Gambaran ini bisa muncul sebelum timbul gejala klinis: lesu, demam, berkeringat dimalam hari, berat badan turun, dapat muncul lebih awal. Sedangkan gejala lokal seperti batuk, sakit dada, suara serak dan batuk darah menonjol pada stadium lanjut dari penyakit. Orang dengan imunokompeten jika terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, M. africanum atau M. bovis akan memberikan hasil tes tuberkulosis dengan reaksi intermedier. Tes tuberkulosis menggunakan 5 IU International Standard of Purified Protein Deriva Standard (PPD-S). Reaksi dikatakan positif jika muncul indurasi dengan ukuran 5, 10 atau 15 mm tergantung pada tingkat pemajanan penyakit. Sekitar 10 – 20% penderita TB aktif tidak memberikan reaksi positif terhadap PPD. Dengan demikian, tes tuberkulin yang hasilnya negatif tidak berarti bahwa seseorang tidak menderita TB aktif. Hasil tes tuberulin dengan indurasi lebih dari 5 mm dianggap positif untuk anggota rumah tangga atau mereka yang kontak dengan penderita TB aktif. Sedangkan orang dengan gambaran foto thorax yang abnormal menandakan penderita TB lama yang sudah sembuh atau mereka yang terinfeksi oleh HIV/AIDS, sedangkan tes tuberkulin dengan diameter 10mm dianggap positif untuk orang-orang dengan faktor risiko (diabetes mellitus, pecandu obat dan alkohol), orang-orang yang tinggal didaerah prevalensi TB tinggi, 544 orang-orang yang tinggal di daerah dengan status sosial ekonomi rendah, penghuni dan staf suatu institusi seperti penjara dan rumah tahanan serta untuk anak-anak usia dibawah 4 tahun. Sedangkan hasil tes tuberkulin dengan diameter 15 mm atau lebih dianggap positif pada oang dewasa dan anak-anak usia diatas 4 tahun yang tinggal didaerah dengan prevalensi TB rendah. Tes tuberkulin terhadap penderita energi tidak dianjurkan walaupun untuk penderita dengan risiko tinggi seperti penderita dengan infeksi HIV. Tes tuberkulin untuk semua akan tidak lagi dilakukan di AS. Tes tuberkulin dilakukan segera terhadap anak-anak yang diduga menderita TB aktif, terhadap mereka yang berkunjung kedaerah endemis dan kontak penderita, terhadap migran dari daerah endemis. Terhadap penderita penyakit kronis yang tidak bisa sembuh dan terhadap penderita HIV/AIDS dilakukan tes tekulin setiap tahun. Terhadap anak-anak yang terpajan dengan orang dengan risiko tinggi, tes tuberkulin dilakukan setiap 2 – 3 tahun. Tes tuberkulin untuk anak usia 4 – 6 tahun dan usia 11 – 12 tahun dilakukan bila orang tua mereka adalah imigran dari daerah endemis atau jika anak-anak tersebut tinggal didaerah risiko tinggi. Kadang kala pada penderita TB terjadi hipersensitivitas tertunda terhadap tes tuberkulin yang akan menghilang dengan berjalannya waktu. Pada orang ini jika dilakukan tes tuberkulin, akan memberikan hasil yang negatif. Namun dapat juga terjadi tes tuberkulin pertama yang dilakukan akan merangsang tubuh untuk memberikan reaksi positif pada tes tuberkulin berikutnya. Reaksi “boosted” ini sering disalah artikan sebagai infeksi baru. “Boosting” juga terjadi pada orang yang mendapatkan vaksinasi BCG. Untuk membedakan reaksi “boosted” ini dengan infeksi baru dilakukan tes tuberkulin dua tahap. Apabila tes pertama dinyatakan negatif maka dilakukan tes tuberkulin yang kedua 1 – 3 minggu kemudian. Hasil positif pada tes kedua kemungkinan karena reaksi “boosted”. Berdasarkan hasil tes kedua, orang ini dianggap sebelumnya telah terinfeksi dan harus ditangani sebagaimana mestinya dan tidak dianggap sebagai konversi hasil tes tuberkulin. Jika tes kedua hasilnya juga negatif maka orang ini dianggap belum pernah terinfeksi. Tes dua tahap dilakukan terhadap orang dewasa yang akan mendapat tes tuberkulin berkala, seperti halnya pada petugas kesehatan. Tes dua tahap ini dilakukan pada saat tes tuberkulin awal. Diagnosa presumptive penderita TB aktif dibuat jika ditemukan BTA positif dari sediaan sputum atau sediaan yang diambil dari cairan tubuh lainnya. Ditemukannya BTA positif indikasi untuk segera melakukan pengobatan dengan OAT. Diagnosa pasti ditegakkan jika ditemukan Mycobacterium tuberculosis, melalui kultur. Cara ini juga dapat dilakukan untuk uji sensitivitas organisme terhadap obat. Jika fasilitas laboratorium mikrobiologi tidak memadai maka diagnosa dapat dibuat berdasarkan gejala klinis yang ada dengan pemeriksaan histologis atau radiologis terhadap mereka yang memberikan hasil tes tuberkulin positif. 2. Penyebab Penyakit Penyebab infeksi adalah kompleks M. tuberculosis. Kompleks ini termasuk M. tuberculosis dan M. africanum terutama berasal dari manusia dan M. bovis yang berasal dari sapi. Mycobacteria lain biasanya menimbulkan gejala klinis yang sulit dibedakan dengan tuberkulosis. Etiologi penyakit dapat di identifikasi dengan kultur. Analisis genetic sequence dengan menggunakan teknik PCR sangat membantu identifikasi non kultur. 545 3. Distribusi Penyakit Tersebar diseluruh dunia. Pada awalnya di Negara industri penyakit tuberkulosis menunjukkan kecenderungan yang menurun baik mortalitas maupun morbiditasnya selama beberapa tahun, namun diakhir tahun 1980 an jumlah kasus yang dilaporkan mencapai grafik mendatar (plateau) dan kemudian meningkat di daerah dengan populasi yang prevalensi HIV–nya tinggi dan di daerah yang dihuni oleh penduduk yang datang dari daerah dengan prevalensi TB tinggi. Mortalitas dan morbiditas meningkat sesuai dengan umur, pada orang dewasa lebih tinggi pada laki-laki. Morbiditas TBC lebih tinggi diantara penduduk miskin dan daerah perkotaan jika dibandingkan dengan pedesaan. Di AS insidensi TBC menurun sejak tahun 1994, penderita yang dilaporkan adalah 9,4/100.000 (lebih dari 24.000 kasus). Daerah dengan insidens rendah termasuk di berbagai wilayah di AS, kebanyakan kasus TBC berasal dari reaktivasi dari fokus laten yang berasal dari infeksi primer. Di sebagian daerah urban yang luas 1/3 kasus berasal dari infeksi baru. Walaupun TBC menempati rangking terendah diantara penyakit menular berdasarkan lama waktu pajanan. Namun pajanan dalam jangka waktu lama dalam lingkungan keluarga menyebabkan risiko terinfeksi sebesar 30%. Jika infeksi terjadi pada anak maka risiko menjadi sakit selama hidupnya sekitar 10%. Bila terjadi koinfeksi dengan HIV risiko pertahun menjadi 2-7% dan risiko kumulatif sebesar 60-80%. KLB dilaporkan terjadi pada kelompok orang yang tinggal pada ruangan yang tertutup seperti dipanti asuhan, penampungan tunawisma, rumah sakit, sekolah, penjara dan gedung perkantoran. Sejak tahun 1989 sampai dengan awal tahun 1990 telah dilaporkan terjadi KLB – MDR yang cukup ekstensif terutama terhadap rifampisin dan INH ditempat dimana banyak penderita HIV yang dirawat. KLB ini menimbulkan angka mortalitas tinggi dan terjadi penularan kepada petugas kesehatan. Dengan penerapan dan pelaksanaan yang ketat pedoman pemberantasan telah berhasil menanggulangi KLB ini. Prevalensi infeksi TB yang ditemukan dengan tes tuberkulin meningkat sesuai dengan umur. Insidensi infeksi di negara berkembang menurun secara bermakna dalam beberapa dekade ini. Angka infeksi pertahun di AS rata-rata kurang dari 10/100.000 penduduk walaupun di beberapa daerah di AS angka kejadian infeksi baru pertahun lebih tinggi. Di daerah dimana terjadi infeksi dengan mycobacterium lain selain tuberkulosis menyebabkan reaksi silang yang menyulitkan interpretasi hasil tes tuberkulin. Infeksi M. bovis pada manusia jarang terjadi di AS tetapi masih menjadi masalah dibeberapa daerah seperti didaerah perbatasan Meksiko dimana penyakit ini pada ternak tidak ditangani dengan baik dan masyarakat masih mengkonsumsi susu mentah. 4. Reservoir Umumnya manusia berperan sebagai reservoir, jarang sekali primata, dibeberapa daerah terjadi infeksi yang menyerang ternak seperti sapi, babi dan mamalia lain. 5. Cara Penyebaran Penularan terjadi melalui udara yang mengandung basil TB dalam percikan ludah yang dikeluarkan oleh penderita TB paru atau TB laring pada waktu mereka batuk, bersin atau pada waktu bernyanyi. Petugas kesehatan dapat tertulari pada waktu mereka melakukan otopsi, bronkoskopi atau pada waktu mereka melakukan intubasi. TB laring sangat menular. 546 Kontak jangka panjang dengan penderita TB menyebabkan risiko tertulari, infeksi melalui selaput lendir atau kulit yang lecet bisa terjadi namun sangat jarang. TB bovinum penularannya dapat tejadi jika orang terpajan dengan sapi yang menderita TB, bisanya karena minum susu yang tidak dipasteurisasi atau karena mengkonsumsi produk susu yang tidak diolah dengan sempurna. Penularan lewat udara juga terjadi kepada petani dan perternak TB ekstra pulmoner (selain TB laring) biasanya tidak menular, kecuali dari sinus keluar discharge. 6. Masa inkubasi Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi tes tubrkulosis positif kira-kira memakan waktu 2 – 10 minggu. Risiko menjadi TB paru dan TB ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada tahun pertama dan kedua. Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV meningkatkan risiko terhadap infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi. 7. Masa Penularan Secara teoritis seorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB didalam sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna dahaknya akan tetap mengandung basil TB selama bertahun tahun. Tingkat penularan sangat tergantung pada hal-hal sebagai berikut : - Jumlah basil TB yang dikeluarkan - Virulensi dari basil TB - Terpajannya basil TB dengan sinar ultra violet - Terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat bernyanyi. - Tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi atau pada waktu melakukan bronkoskopi. Pemberian OAT yang efektif mencegah terjadinya penularan dalam beberapa minggu paling tidak dalam lingkungan rumah tangga. Anak-anak dengan TB primer biasanya tidak menular. 8. Kerentanan dan Kekebalan Risiko terinfeksi dengan basil TB berhubungan langsung dengan tingkat pajanan dan tidak ada hubungan dengan faktor keturunan atau faktor lainnya pada pejamu. Periode yang paling kritis timbulnya gejala klinis adalah 6–12 bulan setelah infeksi. Risiko untuk menjadi sakit paling tinggi pada usia dibawah 3 tahun dan paling rendah pada usia akhir masa kanak-kanak dan risiko meningkat lagi pada usia adolesen dan dewasa muda, usia tua dan pada penderita dengan kelainan sistem imunitas. Reaktivasi dari infeksi laten yang berlangsung lama sebagian besar terjadi pada penderita TB usia lebih tua. Untuk mereka yang terinfeksi oleh basil TB kemungkinan berkembang menjadi TB klinis meningkat pada penderita HIV/AIDS, mereka dengan kelainan sistem imunitas, mereka dengan berat badan rendah dan kekurangan gizi, penderita dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal kronis, penderita kanker, silikosis, diabetes, postgastrektomi, pemakai NAPZA. Orang dewasa dengan TB laten yang juga disertai dengan infeksi HIV kemungkinan untuk menderita TB klinis selama hidupnya berkisar antara 10% sampai dengan 60–80%. Interaksi kedua penyakit ini mengakibatkan terjadinya pandemi paralel dari penyakit TB: misalnya dinegara negara Sub Sahara di Afrika 10–15% orang dewasa menderita infeksi HIV dan TB. Angka kesakitan TB meningkat 5–10 kali lipat pada akhir pertengahan tahun 1990-an. 547 9. Cara-cara Pemberantasan A. Cara-cara pencegahan 1). Temukan semua penderita TB dan berikan segera pengobatan yang tepat. Sediakan fasilitas untuk penemuan dan pengobatan penderita. 2). Sediakan fasilitas medis yang memadai seperti laboratorium dan alat rontgen agar dapat melakukan diagnosa dini terhadap penderita, kontak dan tersangka. Sediakan juga fasilitas pengobatan terhadap penderita dan mereka dengan risiko tinggi terinfeksi; sediakan fasilitas tempat tidur untuk mereka yang perlu mendapatkan perawatan. Di daerah dengan indensi penyakit yang tinggi pemeriksaan spuntum baik langsung secara mikroskopis maupun dengan kultur jika memungkinkan segera dilakukan terhadap penderita yang datang memeriksakan diri di fasilitas kesehatan karena adanya keluhan sakit didada. Biasanya hasil pemeriksaannya mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. 3). Beri penyuluhan kepada masyarakat tentang car-cara penularan dan cara-cara pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini. 4). Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi risiko terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian. 5). Program pemberantasa TB harus ada di seluruh fasilitas kesehatan dan difasilitas dimana penderita HIV/penderita imunosupresi lainnya ditangani (seperti di Rumah Sakit, tempat rehabilitasi, pemakai Napza, panti asuhan anak terlantar). 6). Pemberian INH sebagai pengobatan preventif memberikan hasil yang cukup efektif untuk mencegah progresivitas infeksi TB laten menjadi TB klinis. Berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap orang dewasa yang menderita infeksi HIV terbukti bahwa pemberian rejimen alternatif seperti pemberian rifampin dan pyrazinamide jangka pendek ternyata cukup efektif. Pemberian terapi preventif merupakan prosedur rutin yang harus dilakukan terhadap penderita HIV/AIDS usia dibawah 35 tahun. Apabila mau melakukan terapi preventif, pertama kali harus diketahui terlebih dahulu bahwa yang bersangkutan tidak menderita TB aktif, terutama pada orang-orang dengan imunokompromais seperti pada penderita HIV/AIDS. Oleh karena ada risiko terjadinya hepatitis dengan bertambahnya usia pada pemberian isoniasid, maka isoniasid tidak diberikan secara rutin pada penderita TB usia diatas 35 tahun kecuali ada hal-hal sebagai berikut: infeksi baru terjadi (dibuktikan dengan baru terjadinya konversi tes tuberkulin); adanya penularan dalam lingkungan rumah tangga atau dalam satu institusi; abnormalitas foto thorax konsisten dengan proses penyembuhan Tb lama, diabetes, silikosis, pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid atau pengobatan lain yang menekan kekebalan tubuh, menderita penyakit yang menekan sistem kekebalan tubuh seperti HIV/AIDS. Mereka yang akan diberi pengobatan preventif harus diberitahu kemungkinan terjadi reaksi samping yang berat seperti terjadinya hepatitis, demam dan ruam yang luas, jika hal ini terjadi dianjurkan untuk menghentikan pengobatan dan hubungi dokter yang merawat. Sebagian besar fasilitas kesehatan yang akan memberikan pengobatan TB akan melakukan tes fungsi hati terlebih dahulu terhadap semua penderita; terutama terhadap yang berusia 35 tahun atau lebih dan terhadap pecandu alkohol sebelum memulai pengobatan. 548 Prosedur DOPT (Directly Observed, Supervised Preventive Therapy), hendaknya diterapkan bila memungkinkan, misalnya ditempat tempat fasilitas perawatan/rehabilitasi pemakai Napza, sekolah dsb. Obat yang disediakan tidak boleh lebih dari untuk pemakaian satu bulan. Setiap bulan penderita diingatkan akan kemungkinan terjadiya efek samping. Pemerikasaan laboratorium untuk memantau apakah terjadi hepatitis tidak dilakukan secara rutin terkecuali timbul gejala-gejala hepatitis. Pengobatan preventif dengan isoniasid tidak boleh diberikan pada penderita yang alergi terhadap obat ini atau pada penderita dengan riwayat hepatitis atau penyakit hati akut lainnya. Pada saat hamil pengobatan preventif ditunda pemberiannya sampai saat melahirkan, terkecuali pada penderita dengan risiko tinggi. Jika karena pertimbangan tertentu pengobatan preventif harus diberikan kepada ibu hamil maka harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Isoniasid harus diberikan dengan hati-hati kepada pecandu alkohol dan kepada penderita penyakit hati kronis. Penderita hepatitis C mempunyai risiko tinggi keracunan isoniasid. Kebijakan untuk pemberian pengobatan preventif secara massal sangatlah tidak realistis, kecuali ada sistem supervisi yang terorganisir secara rapi untuk mengawasi bahwa pengobatan dilakukan dengan benar. Dan didaerah tersebut dijamin juga bahwa program pengobatan terhadap penderita TB aktif menjamin angka kesembuhan yang tinggi. Semua penderita infeksi HIV dan mereka yang tes tuberkulinnya positif dan tidak menderita TB aktif harus diberikan pengobatan preventif. 7). Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan diluar institusi untuk penderita yang mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS) dan sediakan juga fasilitas pemeriksaan dan pengobatan preventif untuk kontak. 8). Terhadap mereka yang diketahui terkena infeksi HIV segara dilakukan tes Mantoux menggunakan PPD kekuatan sedang. Jika tes Mantouxnya positif (indurasi ± 5mm) maka segera diberikan pengobatan profilaktik, dengan catatan bahwa yang bersangkutan tidak menderita TB aktif. Sebaliknya terhadap semua penderita TB aktif harus dilakukan pemeriksaan dan dilakukan konseling jika fasilitas untuk itu tersedia. 9). Di AS dimana imunisasi BCG tidak dilakukan secara rutin terhadap mereka yang mempunyai risiko tinggi tertulari TB dan HIV dilakukan tes tuberkulin secara selektif dengan tujuan untuk menemukan penderita. Mereka yang diangap mempunyai risiko tinggi ini seperti petugas kesehatan, bayi yang lahir dari daerah risiko tinggi, kelompok risiko tinggi terinfeksi HIV sepeti pada pemakai Napza Suntik. Pada kelompok masyarakat dimana TB masih ada, perlu dilakukan tes tuberkulin secara sistematis untuk mengetahui kecenderungan insidensi penyakit. Pemeriksaan radiologis diperlukan apabila ditemukan gejala klinis TB namun hasil pemeriksaan bakteriologisnya negatif. Imunisasi BCG dapat mengacaukan interpretasi tes tuberkulin yang dilakukan kemudian pada anak-anak dan oran dewasa. Namun reaksi akibat imunisasi BCG terhadap tes tuberkulin bekurang dengan perjalanan waktu, sehingga jika hasil tes tuberkulin positif kuat maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang bersangkutan menderita infeksi TB. 10). Pemberian imunisasi BCG terhadap mereka yang tidak terinfeksi TB (tes tuberkulin negatif), lebih dari 90% akan memberikan hasil tes tuberkulin positif. 549 Proteksi yang diberikan karena pemberian imunisasi BGC berbeda satu sama lain dari berbagai penelitian, hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh karakteristik penduduk , kualitas vaksin, strain dari vaksin BCG yang membrikan perlindungan dampai 20 tahun di wilayah dengan insidens TB tinggi, sedangkan hasil penelitian lain menunjukkan BCG sama sekali tidak memberikan perlindungan (Desain penelitian yang dipakai adalah “Controlled trials”). Sedangkan pada penelitian dengan menggunakan desain “Case-Control” imunisasi BCG secara konsisten memberikan perlindungan terhadap terjadinya meningitis TB dan TB miliair pada anak usia dibawah 5 tahun. Oleh karena risiko penularan di AS sangat rendah maka imunisasi BCG secara rutin tidak dilakukan. Imunisasi BCG harus dipertimbangkan untuk diberikan kepada anak-anak dengan tes tuberkulin segatif yang karena sesuatu hal tidak boleh diberikan terapi preventif namun mereka secara terus menerus terpajan dengan sumber infeksi. Sumber infeksi ini bisa berupa penderita TB yang tidak mendapat pengobatan atau yang mendapat pengobatan tidak adekuat, penderita yang terinfeksi oleh organisme yang resisten terhadap isoniasid dan rifampin. Imunisasi BCG tidak boleh diberikan kepada mereka yang menderita penyakit-penyakit imunodefisiensi seperti penderita HIV/AIDS. 11). Lakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang menderita TB bovinum dengan cara menyembelih sapi-sapi yang tes tuberkulinnya positif. Susu dipasteurisasi sebelum dikonsumsi. 12). Lakukan upaya pencegahan terjadinya silikosis pada pekerja pabrik dan tambang. B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 1). Laporkan segera kepada instansi kesehatan setempat jika ditemukan penderita TB atau yang diduga menderita TB. Penyakit TB wajib dilaporkan di AS dan hampir di semua negara di dunia kelas 2A (lihat tentang pelaporan penyakit menular). Penderita TB perlu dilaporkan jika hasil pemeriksaan bakteriologis hasilnya positif atau tes tuberkulinnya positif atau didasarkan pada gambaran klinis dan foto rontgen. Departemen Kesehatan mempertahankan sistem pencatatan dan pelaporan yang ada bagi penderita yang membutuhkan pengobatan dan aktif dalam kegiatan perencanaan dan monitoring pengobatan. 2). Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum biasanya terjadi dalam 4 – 8 minggu. Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit hanya dilakukan terhadap penderita berat dan bagi penderita yang secara medis dan secara sosial tidak bisa dirawat di rumah. Penderita TB paru dewasa dengan BTA positif pada sputumnya harus ditempatkan dalam ruangan khusus dengan ventilasi bertekanan negatif. Penderita diberitahu agar menutup mulut dan hidung setiap saat batuk dan bersin. Orang yang memasuki ruang perawatan penderita hendaknya mengenakan pelindung pernafasan yang dapat menyaring partikel yang berukuran submikron. Isolasi tidak perlu dilakukan bagi penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya negatif, bagi penderita yang tidak batuk dan bagi penderita yang mendapatkan pengobatan yang adekuat (didasarkan juga pada pemeriksaan sensitivitas/resistensi obat dan adanya respons yang baik terhadap pengobatan). 550 Penderita remaja harus diperlakukan seperti penderita dewasa. Penilaian terus menerus harus dilakukan terhadap rejimen pengobatan yang diberikan kepada penderita. Terapkan sistem DOPT apabila secara finansial dan logistik memungkinkan dan diterapkan pada penderita yang kemungkinan mengalami resistensi terhadap pengobatan, adanya riwayat compliance yang jelek, diberlakukan juga terhadap mereka yang hidup dalam lingkungan dimana kalau terjadi relaps dapat menularkan kepada banyak orang. 3). Pencegahan infeksi: Cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus dipertahankan sebagai kegiatan rutin. Tidak ada tindakan pencegahan khusus untuk barang-barang (piring, sprei, pakaian dan lainnya). Dekontaminasi udara dengan cara ventilasi yang baik dan bisa ditambahkan dengan sinar UV. 4). Karantina: Tidak diperlukan. 5). Penanganan kontak. Di AS terapi preventif selama 3 bulan bila skin tes negatif harus diulang lagi, imunisasi BCG diperlukan bila ada kontak dengan penderita. 6). Investigasi kontak, sumber penularan dan sumber infeksi: Tes PPD direkomendasikan untuk seluruh anggota keluarga bila ada kontak. Bila hasil negatif harus diulang 2-3 bulan kemudian. Lakukan X-ray bila ada gejala yang positif. Terapi preventif bila ada reaksi positif dan memiliki risiko tinggi terjadi TBC aktif (terutama untuk anak usia 5 tahun atau lebih) dan mereka yang kontak dengan penderita HIV (+), diberikan minimal sampai skin tes negatif. Sayang sekali di negara berkembang penelusuran kontak didasarkan hanya pada pemeriksaan sputum pada orang yang memiliki gejala-gejala TBC. 7). Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif dalam pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di AS. Pengawasan minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT, sedangkan Indonesia sebagai negara anggota WHO telah mengadopsi dan mengadaptasi sistem yang sama yang disebut DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Penderita TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi yang tepat dengan pemeriksaan sputum yang teratur. Untuk penderita yang belum resisten terhadap OAT diberikan regimen selama 6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH), Rifampin (RIF) dan pyrazinamide (PZA) selama 2 bulan kemudia diikuti dengan INH dan PZA selama 4 bulan. Pengobatan inisial dengan 4 macam obat termasuk etambutol (EMB) dan streptomisin diberikan jika infeksi TB terjadi didaerah dengan peningkatan prevalensi resistensi terhadap INH. Namun bila telah dilakukan tes sensititvitas maka harus diberikan obat yang sesuai. Jika tidak ada konversi sputum setelah 2-3 bulan pengobatan atau menjadi positif setelah beberapa kali negatif atau respons klinis terhadap pengobatan tidak baik, maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan minum obat dan tes resistensi. Kegagalan pengobatan umumnya karena tidak teraturnya minum obat dan tidak perlu merubah regimen pengobatan. Perubahan Supervisi dilakukan bila tidak ada perubahan respons klinis penderita. Minimal 2 macam obat dimana bekteri tidak resisten harus ada dalam regiemen pengobatan. Jangan sampai menambahkan satu jenis obat baru pada kasus yang gagal. Jika INH atau rifampisin tidak dapat dimasukkan kedalam regimen maka lamanya pengobatan minimal selama 18 bulan setelah biakan menjadi negatif. 551 Untuk penderita baru TBC paru dengan BTA (+) di negara berkembang, WHO merekomendasikan pemberian 4 macam obat setiap harinya selama 2 bulan yang teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA diikuti dengan pemberian INH dan RIF 3 kali seminggu selama 4 bulan. Semua pengobatan harus diawasi secara langsung, jika pada pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan pengawasan langsung maka diberikan pengobatan substitusi dengan INH dan EMB selama 6 bulan. Walaupun pengobatan jangka pendek dengan 4 macam obat lebih mahal daripada pengobatan dengan jumlah obat yang lebih sedikit dengan jangka waktu pengobatan 12- 18 bulan namun pengobatan jangka pendek lebih efektif dengan komplians yang lebih baik. Penderita TBC pada anak-anak diobati dengan regimen yang sama dengan dewasa dengan sedikit modifikasi. Kasus resistensi pada anak umumnya karena tertular dari penderita dewasa yang sudah resisten terlebih dahulu.Anak dengan limfadenopati hilus hanya diberikan INH dan RIF selama 6 bulan. Pengobatan anak-anak dengan TBC milier, meningitis, TBC tulang/sendi minimal selama 9-12 bulan, beberapa ahli menganjurkan pengobatan cukup selama 9 bulan. Etambutol tidak direkomendasikan untuk diberikan pada anak sampai anak cukup besar sehingga dapat dilakukan pemeriksaan buta warna (biasanya usia > 5 tahun). Penderita TBC pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus diberikan pengobatan inisial dengan regimen dengan 4 macam obat. Streptomisin tidak boleh diberikan selama hamil. Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi efek samping yang berat. Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada kasus MDR. C. Tindakan penanggulangan wabah Tingkatkan kewasapadaan dini untuk menemukan dan mengobati penderita TBC baru yang tertulari oleh penderita yang tidak jelas. Lakukan penyelidikan intensif untuk menemukan dan mengobatai sumber penularan. D. Implikasi Bencana: Tidak ada E. Tindakan Internasional Tindakan yang dianjurkan bagi imigran yang datang dari negara-negara dengan prevalensi TBC tinggi adalah melakukan skrining dengan foto thorax, tes PPD, pemeriksaan BTA dan kultur terhadap orang dengan tes PPD positif yang disertai gejala klinis. Manfaatkan pusat-pusat kerjasama WHO. Penyakit Yang disebabkan oleh Mikobakteria lain (Mikobakteriosis, Penyakit mikobakteria non tuberkulosis) ICD-9 031; ICD-10 A31 Mikobakteria selain Mycobacterium tuberculosis, M. africanum, M. bovis dan M. lepral, jenisnya banyak sekali yang ditemukan di alam sekitar kita dan dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Jenis bakteri tahan asam (BTA) ini dulu diklasifikasikan sebagai mikobakteria atipik, disebut juga dengan “Ășnclassified mycobacteria” atau disebut dengan nama MOTT (Mycobacteria Other than Tuberculosis). 552 Dari banyak jenis, hanya ada 15 jenis yang diketahui dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh spesies mikobakteria yang patogen dapat dikelompokkan secara umum sebagai berikut : 1. Timbulnya penyakit dengan gejala umum dan terjadinya diseminasi penyakit (biasanya pada penderita dengan sistem kekebalan yang menurun seperti pada penderita AIDS) 2. Kelainan pada paru-paru seperti tuberkulosis - ini terjadi pada infeksi M. kansasii, M. avium complex, M. absessus, M. xenopi, M. simiae 3. Timbulnya limfadenitis (terutama didaerah leher) – pada infeksi oleh M. avium complex, M. scrofulaceum, M. kansasii; 4. Timbulnya ulcus pada kulit – pada infeksi oleh M. ulcerans (Ulcus Buruli), M. marinum; 5. Infeksi pasca trauma – seperti pada infeksi oleh M. fortuitum, M. chelonae, M. absessus, M. marinum, M. avium complex. 6. Berupa infeksi nosokomial: Infeksi luka bedah (misalnya infeksi sternum pasca bedah jantung, infeksi pada mamoplasti), infeksi pada waktu dilakukan kateterisasi (bakteriemi, peritonitis, absces pasca injeksi) 7. Penyakit Crohn – diduga penyebabnya adalah M. paratuberculosis, yang menyebabkan terjadinya enteritis regional. Epidemilogi penyakit yang diduga disebabkan oleh kelompok mikobakteria ini tidak dapat diterangkan dengan jelas tetapi kuman ini dapat ditemukan ditanah, susu dan air; sedangkan faktor lain seperti kerusakan jaringan, keadaan imunosupresi mungkin dapat menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit ini. Pengecualian pada kuman yang menyebabkan lesi pada kulit tidak ada bukti terjadi penularan dari orang ke orang. Bakteri ini terkadang dapat ditemukan dalam sputum atau bilas lambung walaupun tidak ada gejala klinis. Biakan yang positif dari spesimen yang diambil dari luka atau jaringan dapat dianggap sebagai konfirmasi diagnosis. Secara umum sebagai pegangan, diagnosa penyakit yang memerlukan pengobatan didasarkan pada isolasi koloni kuman yang ditemukan secara berulang kali dari penderita yang penyakitnya berkembang progresif. Dapat terjadi reaksi silang hasil pembacaan Skintest antara penyakit paru yang disebabkan kuman TBC dengan penyakit yang disebabkan oleh kuman non TBC. Kemoterapi cukup efektif untuk M. kansasii dan M. marinum tetapi OAT tradisional terutama prirazinamid tidak efektif untuk mikobakteria lainnya. Tes sensitivitas mutlak perlu dilakukan untuk mengetahui kemoterapi yang tepat untuk dapat digunakan. Tindakan operatif dapat dipertimbangkan terutama bila penyakit terlokalisir seperti pada limfadenitis servikal atau abses subkutaneus ataupun lesi pada paru yang terlokalisir. Infeksi oleh M. Avium Complex (MAC) diseminata merupakan masalah utama pada penderita HIV dan upaya pengobatan yang dilakukan masih belum maksimal sampai saat ini. Untuk Kasus infeksi MAC maka regimen pengobatan yang berisi rifabutin dan Clarithromycin dianggap sebagai regimen terapi yang potensial. Rifabutin telah disetujui untuk dipakai sebagai pengobatan profilaksis terhadap infeksi MAC pada penderita HIV dengan CD4 < 100. TULAREMIA ICD-9 O21; ICD-10 A21 (Demam kelinci, Demam lalat-kijang, penyakit Ohara, penyakit Francis) 1. Identifikasi 553 Merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi tergantung kepada tempat masuknya bakteri dan virulensi dari bakteri yang menginfeksi. Gejala klinis lebih sering muncul sebagai ulcus yang indolen ditempat masuknya bakteri disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe disekitarnya (tipe ulseroglanduler). Manifestasi lain dapat berupa infeksi tanpa disertai timbulnya ulcus, hanya terjadi pembengkakan satu atau beberapa kelenjar limfe disertai dengan rasa sakit. Pembengkakan kelenjar limfe ini mengalami supurasi (tipe glanduler). Tertelannya mikroorganisme karena mengkonsumsi makanan dan minuman yang tercemar dapat menimbulkan faringitis dengan rasa sakit (dengan atau tanpa terjadi ulserasi), sakit perut, diare dan muntah (tipe orofaringeal). Jika mikroorganisme masuk kedalam tubuh melalui inhalasi dapat terjadi pneumonia atau sindroma septikemi primer, jika tidak segera diberi pengobatan yang tepat, dapat menimbulkan kematian dengan CFR sekitar 30 – 60% (tipe tifoidal). Mikroorganisme yang masuk melalui darah biasanya menimbulkan penyakit yang terlokalisir pada paru dan ruangan pleura (tipe pleuropulmoner). Walaupun sangat jarang sekali, mikroorganisme dapat masuk melalui Sacus conjunctivus dan menimbulkan konjungtivitis purulenta disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe disekitarnya (tipe okuloglanduler). Dari semua tipe infeksi diatas dapat terjadi komplikasi pneumonia yang memerlukan pengenalan dan pengobatan secara dini untuk mencegah kematian. Ada dua biovarians dengan patogenisitas yang berbeda yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Organisme yang disebut dengan nama Jellison type A adalah jenis yang lebih virulen, jika tidak diobati dengan benar dapat menimbulkan kematian dengan CFR berkisar antara 5 – 15% terutama disebabkan oleh penyakit dengan tipe tifoidal atau dengan tipe pleuropulmoner. Dengan pengobatan menggunakan antibiotika yang tepat CFR dapat diturunkan secara bermakna. Biovarian dengan nama Jellison type B, virulensinya lebih rendah walaupun tidak diobati, CFR-nya rendah. Secara klinis tularemia sulit dibedakan dengan pes dan dengan penyakit lain seperti infeksi oleh Stafilokokus dan Streptokokus, Cat Scratch fever, Sporotrichosis oleh karena semua penyakit yang disebutkan diatas dapat menimbulkan pembengkakan kelenjar limfe yang bubonik dan pneumonia berat. Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan diagnosa pasti dibuat karena adanya kenaikan titer antibodi spesifik yang muncul pada minggu kedua sakit. Terjadi reaksi silang dengan infeksi spesies Brucella. Diagnosa cepat dibuat melalui pemeriksaan spesimen yang diambil dari eksudat ulcus dan aspirat dari kelenjar limfe dengan tes FA. Biopsi yang dilakukan untuk tujuan diagnostik harus dilindungi dengan pemberian antibiotik yang tepat karena tindakan biopsi dapat menimbulkan septikemi. Bakteri penyebab infeksi dapat diisolasi melalui kultur pada media khusus seperti dengan media cysteine glucose blood agar atau dengan melakukan inokulasi binatang percobaan dengan bahan yang diambil dari lesi, darah dan sputum. Untuk menentukan biovarians dilakukan dengan pemeriksaan reaksi kimiawi. Tipe A memfermentasikan gliserol dan merubah citrulline menjadi ornithine. Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan dengan sangat hati-hati oleh karena dapat terjadi penularan bahan infeksius melalui udara. Oleh karena itu identifikasi dengan menggunakan media kultur hanya dilakukan dilaboratorium rujukan yang sudah sangat berpengalaman dengan fasilitas keamanan yang memadai. Umumnya diagnosis ditegakkan hanya dengan pemeriksaan serologis. 554 2. Penyebab penyakit Mikroorganisme penyebab penyakit adalah Francisella tularensis (dulu disebut Pasteurella tularensis), sejenis kokobasilus yang non motil, berbentuk kecil, gram negatif. Semua isolat secara serologis homogen dibedakan satu sama lain secara epidemiologis dan biokemis yaitu menjadi Jellison Type A (F. tularensis biovarian tularensis) dengan LD50 pada kelinci lebih kecil dari 10 bakteria atau Jellison type B (F. tularensis biovarian palaearctica) dengan LD50 pada kelinci lebih besar dari 107 bakteria. 3. Distribusi Penyakit Tularemia tersebar hampir di semua bagian Amerika Utara dan di sebagian besar benua Eropa, di bekas Uni Soviet, Cina dan Jepang. Di AS penyakit ini ditemukan sepanjang tahun; insidensi penyakit ini ditemukan lebih tinggi pada orang dewasa dimusim dingin pada saat musim perburuan kelinci dan pada anak-anak dimusim panas pada saat densitas vektor berupa kutu dan lalat pada menjangan/kijang meningkat. F. tularensis biovarian tularensis terbatas ditemukan hanya dibagian utara benua Amerika dan sering ditemukan pada kelinci (jenis Cottontail, Jack dan Snowshoe), dan biasanya penularan terjadi karena gigitan kutu binatang tersebut. Sedangkan F. tularensis biovarian palaearctica sering ditemukan pada mamalia selain kelinci di bagian utara benua Amerika; berbagai strain ditemukan di Elerasia pada binatang jenis voles, muskrat dan tikus air. Sedangkan di Jepang ditemukan pada kelinci. 4. Reservoir Berbagai jenis binatang liar seperti kelinci, hares, voles, muskrats, beavers dan beberapa jenis binatang domestik dapat berperan sebagai reservoir; begitu juga berbagai jenis kutu dapat berperan sebagai reservoir, sebagai tambahan telah ditemukan siklus penularan dari rodentia – nyamuk untuk F. tularensis biovarian palaearctica didaerah Skandinavia, Baltic dan Rusia. 5. Cara penularan Berbagai cara penularan telah diketahui antara lain melalui gigitan binatang berkaki beruas (artropoda) seperti kutu Dermacentor andersoni, kutu anjing D. variabilis, Anblyomma americanum (the lonestar stick); dan walaupun jarang terjadi, lalat Chrysops discalis pada kijang/menjangan dapat juga menularkan penyakit ini. Di Swedia nyamuk Aedes cinerius diketahui dapat menularkan penyakit ini melalui inokulasi kulit, melalui mukosa konjungtiva dan mukosa orofaring yang terpajan dengan air yang terkontaminasi. Penularan dapat juga terjadi karena terpajan dengan darah atau jaringan binatang yang terinfeksi (pada waktu menguliti binatang, memotong daging atau pada waktu melakukan nekropsi); mengkonsumsi daging atau jaringan binatang yang terinfeksi yang tidak dimasak dengan sempurna; minum air yang terkontaminasi; inhalasi debu yang terkontaminasi atau inhalasi partikel dari tumpukan rumput/jerami kering dan padi-padian yang terkontaminasi. Jarang sekali penularan terjadi melalui gigitan coyote (sejenis rubah), tupai, musang, babi hutan, kucing atau anjing yang mulutnya tercemar karena diduga memakan binatang yang terinfeksi. Penularan juga jarang terjadi karena bulu dan cacar binatang. Jika penularan terjadi karena kecelakaan dilaboratorium biasanya berupa pneumonia primer dn tularemia tifoidal. 555 6. Masa Inkubasi: Masa inkubasi sangat bergantung pada virulensi daripada mikroorganisme dan tergantung pada ukuran inokulum. Biasanya berkisar antara 1 – 14 hari, rata-rata 3 – 5 hari. 7. Masa Penularan: Tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Pada penderita yang tidak diobati mirkoorganisme penyebab penyakit ditemukan didalam darah selama 2 minggu pertama infeksi, dan ditemukan didalam lesi selama satu bulan bahkan terkadang lebih lama. Lalat mengandung bakteri selama 14 hari dan kutu selama hidup mereka (sekitar 2 tahun). Daging kelinci yang dibekukan pada suhu –150C (50F) tetap infektif selama 3 tahun. 8. Kerentanan dan kekebalan: Semua usia rentan terhadap infeksi, setelah sembuh dari penyakit timbul kekebalan jangka panjang. Namun pernah dilaporkan adanya reinfeksi pada petugas laboratorium. 9. Cara – cara pemberantasan A. Cara-cara Pencegahan 1). Berikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menghindari diri terhadap gigitan kutu, lalat dan nyamuk. Hindari minum air, mandi atau bekerja diperaiaran yang tidak ditangani dengan baik dimana didaerah tersebut angka infeksi pada binatang liar sangat tinggi. 2). Pakailah sarung tangan pada saat menguliti binatang terutama kelinci. Masaklah daging kelinci liar atau binatang rodensia sebelum dikonsumsi. 3). Berlakukan larangan pengapalan antar pulau terhadap hewan atau daging hewan yang terinfeksi. 4). Vaksinasi intradermal dengan skarifikasi menggunakan vaksin jenis “Live attenuated” digunakan secara luas dibekas Uni Soviet dan secara terbatas digunakan dikalangan pekerja dengan risiko penularan di AS. Vaksin “Live anttenuated” yang dulu pernah digunakan untuk tujuan penelitian pada petugas laboratorium di AS saat ini tidak lagi tersedia. 5). Pakailah masker, pelindung mata, sarung tangan dan jas laboratorium (Personal Protection Equipment) dan pergunakan kabinet dengan tekanan negatif pada saat bekerja dengan kultur F. tularensis. B. Penanganan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat: Didaerah endemis tertentu di AS dan di sebagian besar negara di dunia penyakit ini tidak wajib dilaporkan, kelas 3B (lihat tentang pelaporan penyakit menular) 2). Isolasi: Hati-hati dengan sekret dan discharge dari lesi terbuka, lakukan kewaspadaan universal 3). Disinfeksi serentak: Lakukan disinfeksi terhadap discharge yang keluar dari ulkus, kelenjar limfe atau konjungtiva. 4). Karantina: Tidak dilakukan 5). Imunisasi terhadap kontak: Tidak dilakukan 6). Investigasi kontak dan sumber infeksi: Investigasi perlu dilakukan terhadap setiap kasus untuk menemukan sumber infeksi. 556 7). Pengobatan spesifik: Obat pilihan adalah streptomisin atau gentamisin, diberikan selama 7 – 14 hari; sedangkan tetrasiklin dan kloramfenikol bersifat bakteriostatik jika diberikan kurang dari 14 hari, relaps lebih sering terjadi dibandingkan pengobatan dengan menggunakan streptomisin. Namun telah ditemukan mikroorganisme virulen yang resisten terhadap streptomisin. Tindakan insisi, biopsi, aspirasi yang dilakukan untuk mengambil sampel pada kelenjar limfe yang terinfeksi dapat menyebarkan infeksi. Tindakan ini harus dilindungi dengan antibiotika yang tepat. C. Cara-cara Penanggulangan Wabah Lakukan pelacakan untuk menemukan sumber infeksi yang ada kaitannya dengan artropoda, binatang lain yang berperan sebagai hospes, air, tanah dan tanaman yang tercemar. Cara-cara pemberantasan seperti yang disebutkan pada 9A diatas. D. Implikasi bencana: Tidak ada E. Tindakan Internasional: Tidak ada F. Upaya untuk mengatasi Bioterorisme Tularemia dianggap potensial digunakan untuk melakukan tindaan bioterorisme terutama jika dilakukan melalui udara (aerosol) seperti halnya pada pes, maka orang yang menghirup udara yang mengandung tularemia akan mengalami pneumonia primer. Kasus ini memerlukan diagnosis dini dan pengobatan dini untuk mencegah kematian. Setiap saat jika ditemukan adanya F. tularensis harus segera dilaporkan kepada petugas dan petugas keamanan (di AS dilaporkan ke FBI) lebih-lebih kalau kasus tersebut menggerombol. Laporan ini diperlukan agar bisa segera dilakukan investigasi.

No comments:

Post a Comment