script src='http://elmubarok.googlecode.com/files/floating1.js' type='text/javascript'/>

http://ikkibondenkkesmas.blogspot.com/2010/03/about-me.html

Kata Rasullullah ada tiga amalan yang jika dikerjakan maka Amalnya akan mengalir meskipun yang mengamalkannya telah meninggalal dunia diantaranya adalah ILMU BERMANFAAT YANG DIAJARKAN.

Monday, 2 February 2009

KUSTA/LEPRA

Postingan kali ini bersumber dari E-Book dengan Judul Manual Pemberantasan Penyakit Menular, by James Chin, MD, MPH Editor dan Dr, I Nyoman Kandun, MPH Edisi Ke 17 tahun 2000

KUSTA/LEPRA                 ICD – 9 030; ICD – 10 A 30 (Morbus Hansen) 

1. Identifikasi Adalah penyakit kronis yang sebabkan oleh bakteri yang menyerang kulit, syaraf tepi. Dan pada penderita dengan tipe lepromatosa menyerang saluran pernapasan bagian atas. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spectrum yang berada diantara dua bentuk klinis dari lepra yaitu bentuk lpromatosa dan tuberkuloid. Pada kusta bentuk lepromatosa kelainan kulit berbentuk nodula, papula, macula dan infiltrate yang difus tersebar simetris bilateral dan biasanya ekstensif dan dalam jumlah banyak. Terkenanya daerah hidung dapat membentuk krusta, tersumbatnya jalan napas dan dapat terjadi epistaksis. Terserangnya mata dapat menimbulkan iritis dan keratitis. Pada kusta tipe tuberkuloid, lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa atau hipoetesi asimitris bilateral. Terserangnya syaraf biasanya cenderung menjadi semakin berat. Kusta bentuk borderline mempunyai gambaran dari kedua tipe kusta dan lebih labil. Mereka cenderung menjadi tipe lepromatosa jika penderita tidak diobati dengan benar dan menjadi tipe tuberkuloid pada penderita yang diobati dengan benar. Bentuk awal dari kusta ditandai dengan munculnya macula hipopigmentasi dengan batas lesi yang tegas yang dapat berkembang menjadi bentuk tuberkuloid, borderline atau bentuk lepromatosa. Gejala klinis dari kusta dapat juga berupa “reaksi kusta” yaitu dengan episode akut dan berat. Reaksi kusta ini disebutkan dengan nama erythema nodosum leprosum pada penderita tipe lepromatosa dan disebut dengan reaksi terbalik pada kusta borderline. Diagnosa klinis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kulit secara lengkap dengan menemukan tanda-tanda terserangnya syaraf tepi berupa gejala hipestasia, anesthesia, paralysis pada otot dan ulkus tropikum. Untuk mengetahui apakah terjadi pembesaran dan pengerasan syaraf tepi, dilakukan palpasi bilateral, untuk n. ulnaris dilakukan pada bahu dan untuk n. peronealis pada caput bibulae. Begitu pula dilakukan pemeriksaan terhadap n. auricularis major. Dilakukan tes terhadap sensasi kulit dengan rabaan halus, ditusuk dengan jarum pentul, diskriminasi suhu. Untuk diagnosa banding harus dibedakan dengan penyakit lain yang menimbulkan penyakit kulit yang infiltratif seperti limfoma, lupus eritomatosa, psoriasis, skleroderma dan neurofibromatosis. Leishmaniasis difosa, infeksi jamur pada kulit, myxedema, kulit pachydernoperiostosis, gejala klinisnya dapat mirip dengan kusta tipe lepromatosa, namun tidak ditemukan bakteri tahan asam. Sedangkan karena kekurangan gizi, nevus dan jaringan parut pada kulit dapat mirip dengan kusta tipe tuberkuloid. Diagnossa kusta tipe lepromatosa (multibaciller) ditegakkan dengan ditemukannya bakteri tahan asam pada sediaan yang diambil dengan melakukan incisi pada kulit. Pada kusta tipe tuberkuloid (paucibaciller) jumlah basil kemungkinan sangat sedikit sehingga sulit ditemukan pada pemeriksaan. Dalam keadaan ini media kulit hendaknya dikirim kepada ahli patologi yang berpengalaman dalam penegakkan diagnosa kusta. Timbulnya gejala terserangnya saraf dan ditemukannya bakteri tahan asam merupakan gejala patognopmonis kusta. 305 2. Penyebab penyakit – Mycobakterium leprae. Organisme ini belum bisa dibiakkan pada media bakteri atau kultur sel. Bateri ini dapat dibiakkan pada jaringan telapak kaki tikus dengan jumlah mencapai 106 per gram jaringan; pada percobaan infeksi melalui binatang armadillo, bakteri ini bisa tumbuh hingga 109 sampai 110 per gram jaringan. 3. Distribusi Penyakit Pada tahun 1997 jumlah penderita kusta didunia diperkirakan oleh WHO mencapai 1,15 juta kasus. Angka prevalensi lebih dari 5/1000 biasanya ditemukan di pedesaan daerah tropis dan sub tropis; kondisi sosioekonomi masyarakat mungkin lebih penting dari pada iklim. Wilayah endemis utama penyakit ini adalah Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Filipina, Indonesia, Papua Nugini, beberapa Kepulauan Pasifik, Banglades dan Myanmar ( Birma); Afrika tropis, dan beberap daerah di Amerika Latin. Angka yang dilaporkan di Negara-negara Amerika bervariasi antara < 0,1 sampai 14 per 10.000. Kasus yterbaru yang ditemukan di AS utamanya berasal dari Caifornia, Florida, Hawaii, Lousiana, Texas, dan New York City, dan di Puerto Rico. Hampir seluruh kasus ini ditemukan pada para imigran dan pengungsi yang telah tertular di negara asal mereka; Meskipun demikian penyakit ini menjadi endemis di California, Hawai, Texas dan Puerto Rico. 4. Reservoir – Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang armadillo liar diketahui secara alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan yang dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi penularan dari armadilo kepada manusia. Penularan kusta secara alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione. 5. Cara penularan Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas penularan di dalam rumah tangga dan konta/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinann masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta. 6. Masa inkubasi – Berkisar antara 9 bulan sampai 20 tahun dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa. Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan. 7. Masa penularan – Fakta klinis dan laboratorium membuktikan bahwa infektivitas penyakit ini hilang dalam waktu 3 bulan melalui pengobatan berkelanjutan dan teratur dengan menggunakan Dapsone (DDS) atau clofasimine atau dalam waktu 3 hari dengan menggunakan rifampin. 306 8. Kerentanan dan kekebalan Kelangsungan dan tipe penyakit kusta sangat tergantung pada kemampuan tubuh untuk membentuk “cell mediated“ kekebalan secara efektif. Tes lepromin adalah prosedur penyuntikan M. Leprae yang telah mati kedalam kulit; ada tidaknya indurasi dalam 28 hari setelah penyuntikan disebut dengan reaksi Mitsuda. Reaksi Mitsuda negatif pada kusta jenis lepromatosa dan positif pada kusta tipe tuberkuloid, pada orang dewasa normal. Karena tes ini hanya mempunyai nilai diagnosis yang terbatas dan sebagai pertanda adanya imunitas. Komite Ahli Kusta di WHO menganjurkan agar penggunaan tes lepromin terbatas hanya untuk tujuan penelitian. Angka hasil tes yang positif akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sebagai tambahan tingginya prevalensi transformasi limfosit yang spesifik terhadap M. leprae dan terbentuknya antibodi spesifik terhadap M. leprae diantara orang yang kontak dengan penderita kusta menandakan bahwa penularan sudah sering terjadi walaupun hanya sebagian kecil saja dari mereka yang menunjukan gejala klinis penyakit kusta. 9. Cara-cara pemberantasan – tersedianya obat-obatan yang efektif untuk pengobatan dan mencegah penularan secara cepat, seperti rifampin, telah mengubah penatalaksanaan penderita penyakit kusta dan kehidupan penderita kusta dari pengucilan sosial kepada cara berobat jalan. Perawatan dirumah sakit hanya dilakukan untuk menangani reaksi obat. Operasi untuk mengoreksi kecacatan dan pengobatan luka yang disebabkan karena anestesia pada ekstremitas. A. Upaya Pencegahan : 1) Penyuluhan kesehatan harus menekankan pada pemberian informasi tentang telah tersedianya obat-obatan yang efektif, tidak terjadi penularan pada penderita yang berobat teratur serta upaya pencegahan cacat fisik dan sosial. 2) Lakukan pencarian penderita, khususnya penderita tipe multibasiler yang menular, dan berikan pengobatan kombinasi “multidrug therapy“ sedini mungkin secara teratur dengan berobat jalan jika memungkinkan. 3) Uji coba lapangan di Uganda, India, Malawi, Myanmar dan Papua Nugini, pemberian profilaktit Bacillus Calmette – Guérin (BCG) jelas dapat mengurangi timbulnya penyalit kusta tuberkuloid pada orang-orang yang kontak. Sebuah studi di India, pemberian BCG menunjukkan adanya perlindungan yang signifikan terhadap kusta tetapi tidak terhadap tuberkulosis; studi yang dilakukan di Myanmar dan India menunjukkan perlindungan yang kurang dibandingkan dengan studi di Uganda. Studi chemoprophylaxis menunjukkan bahwa ± 50% perlindungan dari penyakit ini diperoleh dengan pemberian dapsone atau acedapsone, tetapi cara ini tidak dianjurkan kecuali dengan pengawasan yang intensif. Penambahan M. leprae yang telah mati pada umumnya BCG tidak meningkatkan perlindungan. B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya; 1) Laporan ke instansi Kesehatan setempat: Pelaporan kasus diwajibkan di banyak negara bagian di AS dan hampir di semua negara, Kelas 2B (lihat tentang Laporan Penyakit Menular ). 307 2) Isolasi: tidak diperlukan untuk penderita kusta tipe tuberkuloid; isolasi terhadap kontak harus dilakukan untuk kasus kusta lepromatosa sampai saat pengobatan kombinasi diberikan. Perawatan dirumah sakit biasanya dilakukan selama penanganan reaksi obat. Tidak diperlukan prosedur khusus untuk kasus yang dirawat di RS. Di RS umum dilperlukan ruangan terpisah untuk alasan kesopanan atau sosial. Terhadap penderita yang sudah dianggap tidak menular lagi, tidak ada pembatasan bagi yang bersangkutan untuk bekerja dan bersekolah. 3) Disinfeksi serentak dilakukan terhadap lendir hidung penderita yang menular. Dilakukan pembersihan menyeluruh. 4) Karantina: tidak dilakukan 5) Imunisasi terhadap orang-orang yang kontak: tidak dilakukan secara rutin ( lihat 9A3 di atas ) 6) Investigasi orang-orang yang kontak dari sumber infeksi: pemeriksaan dini paling bermanfaat, tetapi pemeriksaan berkala di rumah tangga dan orang-orang yang kontak dekat sebaiknya dilakukan 12 bulan sekali selama 5 tahun setelah kontak terakhir dengan kasus yang menular. 7) Pengobatan spesifik: Mengingat sangat tingginya tingkat resistensi dari dapsone dan munculnya resistensi terhadap rifampin maka pemberian terapi kombinasi (multidrug theraphy) sangatlah penting. Rejimen minimal yang dianjurkan oleh WHO untuk kusta tipe multibasiler adalah rifampin, 600 mg sebulan sekali; dapsone (DDS), 100 mg per hari; dan clofasimine, 300 mg sebulan sekali dan 50 mg per hari Rifampin dan clofasimin yang diberikan setiap bulan harus diawasi dengan ketat. Komite Ahli Kusta WHO telah mentapkan waktu minimal yang diperlukan untuk pengobatan kusta tipe multibasiler dipersingkat menjadi 12 bulan dimana sebelumnya waktu pemberian pengobatan adalah 24 bulan. Pengobatan jika diperlukan dapat diperpanjang sampai pada pemeriksaan specimen kulit menunjukkan hasil negative. Untuk penderita kusta tipe pausibasiler (tuberkuloid) atau untuk penderita denga lesi kulit tunggal pemberian dosis tunggal obat kombinasi yang terdiri dari 600 mg rifampin, 400 mg ofloxaxin dan 100 mg mynocyclone sudah mencukupi. Bagi penderita tipoe pausibasiler dengan lesi kulit lebih dari satu, rejimen yang dianjurkan adalah (600 mg rifampin yang diberikan sebulan sekali dengan pengawasan yang ketat, 100 mg dapsone setiap hari), diberikan selama 6 bulan. Penderita yang sedang mendapat pengobatan harus dimonitor untuk melihat kemungkinan terjadinya efek samping, reaksi kusta, dan ulkus tropikum. Komplikasi yang tertentu yang terjadi selama pengobatan perlu rujuk pada pusat rujukan. C. Penanggulangan wabah: Tidak ada. D. Impilkasi bencana: Setiap penundaan pada jadwal pengobatan akan berakibat serius. Dalam keadaan perang, seringkali diagnosa dan pengobatan penderita kusta terabaikan. E. Tindakan Internasional: Pengawasan internasional dibatasi pada kasus menular yang belum mendapatkan pengobatan. Manfaatkan Pusat – pusat kerjasama WHO.




Postingan kali ini bersumber dari E-Book dengan Judul Manual Pemberantasan Penyakit Menular, by James Chin, MD, MPH Editor dan Dr, I Nyoman Kandun, MPH Edisi Ke 17 tahun 2000

KUSTA/LEPRA ICD – 9 030; ICD – 10 A 30 (Morbus Hansen) 1. Identifikasi Adalah penyakit kronis yang sebabkan oleh bakteri yang menyerang kulit, syaraf tepi. Dan pada penderita dengan tipe lepromatosa menyerang saluran pernapasan bagian atas. Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spectrum yang berada diantara dua bentuk klinis dari lepra yaitu bentuk lpromatosa dan tuberkuloid. Pada kusta bentuk lepromatosa kelainan kulit berbentuk nodula, papula, macula dan infiltrate yang difus tersebar simetris bilateral dan biasanya ekstensif dan dalam jumlah banyak. Terkenanya daerah hidung dapat membentuk krusta, tersumbatnya jalan napas dan dapat terjadi epistaksis. Terserangnya mata dapat menimbulkan iritis dan keratitis. Pada kusta tipe tuberkuloid, lesi kulit biasanya tunggal dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa atau hipoetesi asimitris bilateral. Terserangnya syaraf biasanya cenderung menjadi semakin berat. Kusta bentuk borderline mempunyai gambaran dari kedua tipe kusta dan lebih labil. Mereka cenderung menjadi tipe lepromatosa jika penderita tidak diobati dengan benar dan menjadi tipe tuberkuloid pada penderita yang diobati dengan benar. Bentuk awal dari kusta ditandai dengan munculnya macula hipopigmentasi dengan batas lesi yang tegas yang dapat berkembang menjadi bentuk tuberkuloid, borderline atau bentuk lepromatosa. Gejala klinis dari kusta dapat juga berupa “reaksi kusta” yaitu dengan episode akut dan berat. Reaksi kusta ini disebutkan dengan nama erythema nodosum leprosum pada penderita tipe lepromatosa dan disebut dengan reaksi terbalik pada kusta borderline. Diagnosa klinis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kulit secara lengkap dengan menemukan tanda-tanda terserangnya syaraf tepi berupa gejala hipestasia, anesthesia, paralysis pada otot dan ulkus tropikum. Untuk mengetahui apakah terjadi pembesaran dan pengerasan syaraf tepi, dilakukan palpasi bilateral, untuk n. ulnaris dilakukan pada bahu dan untuk n. peronealis pada caput bibulae. Begitu pula dilakukan pemeriksaan terhadap n. auricularis major. Dilakukan tes terhadap sensasi kulit dengan rabaan halus, ditusuk dengan jarum pentul, diskriminasi suhu. Untuk diagnosa banding harus dibedakan dengan penyakit lain yang menimbulkan penyakit kulit yang infiltratif seperti limfoma, lupus eritomatosa, psoriasis, skleroderma dan neurofibromatosis. Leishmaniasis difosa, infeksi jamur pada kulit, myxedema, kulit pachydernoperiostosis, gejala klinisnya dapat mirip dengan kusta tipe lepromatosa, namun tidak ditemukan bakteri tahan asam. Sedangkan karena kekurangan gizi, nevus dan jaringan parut pada kulit dapat mirip dengan kusta tipe tuberkuloid. Diagnossa kusta tipe lepromatosa (multibaciller) ditegakkan dengan ditemukannya bakteri tahan asam pada sediaan yang diambil dengan melakukan incisi pada kulit. Pada kusta tipe tuberkuloid (paucibaciller) jumlah basil kemungkinan sangat sedikit sehingga sulit ditemukan pada pemeriksaan. Dalam keadaan ini media kulit hendaknya dikirim kepada ahli patologi yang berpengalaman dalam penegakkan diagnosa kusta. Timbulnya gejala terserangnya saraf dan ditemukannya bakteri tahan asam merupakan gejala patognopmonis kusta. 305 2. Penyebab penyakit – Mycobakterium leprae. Organisme ini belum bisa dibiakkan pada media bakteri atau kultur sel. Bateri ini dapat dibiakkan pada jaringan telapak kaki tikus dengan jumlah mencapai 106 per gram jaringan; pada percobaan infeksi melalui binatang armadillo, bakteri ini bisa tumbuh hingga 109 sampai 110 per gram jaringan. 3. Distribusi Penyakit Pada tahun 1997 jumlah penderita kusta didunia diperkirakan oleh WHO mencapai 1,15 juta kasus. Angka prevalensi lebih dari 5/1000 biasanya ditemukan di pedesaan daerah tropis dan sub tropis; kondisi sosioekonomi masyarakat mungkin lebih penting dari pada iklim. Wilayah endemis utama penyakit ini adalah Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Filipina, Indonesia, Papua Nugini, beberapa Kepulauan Pasifik, Banglades dan Myanmar ( Birma); Afrika tropis, dan beberap daerah di Amerika Latin. Angka yang dilaporkan di Negara-negara Amerika bervariasi antara < 0,1 sampai 14 per 10.000. Kasus yterbaru yang ditemukan di AS utamanya berasal dari Caifornia, Florida, Hawaii, Lousiana, Texas, dan New York City, dan di Puerto Rico. Hampir seluruh kasus ini ditemukan pada para imigran dan pengungsi yang telah tertular di negara asal mereka; Meskipun demikian penyakit ini menjadi endemis di California, Hawai, Texas dan Puerto Rico. 4. Reservoir – Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan sebagai reservoir. Di Lusiana dan Texas binatang armadillo liar diketahui secara alamiah dapat menderita penyakit yang mempunyai kusta seperti pada percobaan yang dilakukan dengan binatang ini. Diduga secara alamiah dapat terjadi penularan dari armadilo kepada manusia. Penularan kusta secara alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione. 5. Cara penularan Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas penularan di dalam rumah tangga dan konta/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinann masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta. 6. Masa inkubasi – Berkisar antara 9 bulan sampai 20 tahun dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa. Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan. 7. Masa penularan – Fakta klinis dan laboratorium membuktikan bahwa infektivitas penyakit ini hilang dalam waktu 3 bulan melalui pengobatan berkelanjutan dan teratur dengan menggunakan Dapsone (DDS) atau clofasimine atau dalam waktu 3 hari dengan menggunakan rifampin. 306 8. Kerentanan dan kekebalan Kelangsungan dan tipe penyakit kusta sangat tergantung pada kemampuan tubuh untuk membentuk “cell mediated“ kekebalan secara efektif. Tes lepromin adalah prosedur penyuntikan M. Leprae yang telah mati kedalam kulit; ada tidaknya indurasi dalam 28 hari setelah penyuntikan disebut dengan reaksi Mitsuda. Reaksi Mitsuda negatif pada kusta jenis lepromatosa dan positif pada kusta tipe tuberkuloid, pada orang dewasa normal. Karena tes ini hanya mempunyai nilai diagnosis yang terbatas dan sebagai pertanda adanya imunitas. Komite Ahli Kusta di WHO menganjurkan agar penggunaan tes lepromin terbatas hanya untuk tujuan penelitian. Angka hasil tes yang positif akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sebagai tambahan tingginya prevalensi transformasi limfosit yang spesifik terhadap M. leprae dan terbentuknya antibodi spesifik terhadap M. leprae diantara orang yang kontak dengan penderita kusta menandakan bahwa penularan sudah sering terjadi walaupun hanya sebagian kecil saja dari mereka yang menunjukan gejala klinis penyakit kusta. 9. Cara-cara pemberantasan – tersedianya obat-obatan yang efektif untuk pengobatan dan mencegah penularan secara cepat, seperti rifampin, telah mengubah penatalaksanaan penderita penyakit kusta dan kehidupan penderita kusta dari pengucilan sosial kepada cara berobat jalan. Perawatan dirumah sakit hanya dilakukan untuk menangani reaksi obat. Operasi untuk mengoreksi kecacatan dan pengobatan luka yang disebabkan karena anestesia pada ekstremitas. A. Upaya Pencegahan : 1) Penyuluhan kesehatan harus menekankan pada pemberian informasi tentang telah tersedianya obat-obatan yang efektif, tidak terjadi penularan pada penderita yang berobat teratur serta upaya pencegahan cacat fisik dan sosial. 2) Lakukan pencarian penderita, khususnya penderita tipe multibasiler yang menular, dan berikan pengobatan kombinasi “multidrug therapy“ sedini mungkin secara teratur dengan berobat jalan jika memungkinkan. 3) Uji coba lapangan di Uganda, India, Malawi, Myanmar dan Papua Nugini, pemberian profilaktit Bacillus Calmette – Guérin (BCG) jelas dapat mengurangi timbulnya penyalit kusta tuberkuloid pada orang-orang yang kontak. Sebuah studi di India, pemberian BCG menunjukkan adanya perlindungan yang signifikan terhadap kusta tetapi tidak terhadap tuberkulosis; studi yang dilakukan di Myanmar dan India menunjukkan perlindungan yang kurang dibandingkan dengan studi di Uganda. Studi chemoprophylaxis menunjukkan bahwa ± 50% perlindungan dari penyakit ini diperoleh dengan pemberian dapsone atau acedapsone, tetapi cara ini tidak dianjurkan kecuali dengan pengawasan yang intensif. Penambahan M. leprae yang telah mati pada umumnya BCG tidak meningkatkan perlindungan. B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya; 1) Laporan ke instansi Kesehatan setempat: Pelaporan kasus diwajibkan di banyak negara bagian di AS dan hampir di semua negara, Kelas 2B (lihat tentang Laporan Penyakit Menular ). 307 2) Isolasi: tidak diperlukan untuk penderita kusta tipe tuberkuloid; isolasi terhadap kontak harus dilakukan untuk kasus kusta lepromatosa sampai saat pengobatan kombinasi diberikan. Perawatan dirumah sakit biasanya dilakukan selama penanganan reaksi obat. Tidak diperlukan prosedur khusus untuk kasus yang dirawat di RS. Di RS umum dilperlukan ruangan terpisah untuk alasan kesopanan atau sosial. Terhadap penderita yang sudah dianggap tidak menular lagi, tidak ada pembatasan bagi yang bersangkutan untuk bekerja dan bersekolah. 3) Disinfeksi serentak dilakukan terhadap lendir hidung penderita yang menular. Dilakukan pembersihan menyeluruh. 4) Karantina: tidak dilakukan 5) Imunisasi terhadap orang-orang yang kontak: tidak dilakukan secara rutin ( lihat 9A3 di atas ) 6) Investigasi orang-orang yang kontak dari sumber infeksi: pemeriksaan dini paling bermanfaat, tetapi pemeriksaan berkala di rumah tangga dan orang-orang yang kontak dekat sebaiknya dilakukan 12 bulan sekali selama 5 tahun setelah kontak terakhir dengan kasus yang menular. 7) Pengobatan spesifik: Mengingat sangat tingginya tingkat resistensi dari dapsone dan munculnya resistensi terhadap rifampin maka pemberian terapi kombinasi (multidrug theraphy) sangatlah penting. Rejimen minimal yang dianjurkan oleh WHO untuk kusta tipe multibasiler adalah rifampin, 600 mg sebulan sekali; dapsone (DDS), 100 mg per hari; dan clofasimine, 300 mg sebulan sekali dan 50 mg per hari Rifampin dan clofasimin yang diberikan setiap bulan harus diawasi dengan ketat. Komite Ahli Kusta WHO telah mentapkan waktu minimal yang diperlukan untuk pengobatan kusta tipe multibasiler dipersingkat menjadi 12 bulan dimana sebelumnya waktu pemberian pengobatan adalah 24 bulan. Pengobatan jika diperlukan dapat diperpanjang sampai pada pemeriksaan specimen kulit menunjukkan hasil negative. Untuk penderita kusta tipe pausibasiler (tuberkuloid) atau untuk penderita denga lesi kulit tunggal pemberian dosis tunggal obat kombinasi yang terdiri dari 600 mg rifampin, 400 mg ofloxaxin dan 100 mg mynocyclone sudah mencukupi. Bagi penderita tipoe pausibasiler dengan lesi kulit lebih dari satu, rejimen yang dianjurkan adalah (600 mg rifampin yang diberikan sebulan sekali dengan pengawasan yang ketat, 100 mg dapsone setiap hari), diberikan selama 6 bulan. Penderita yang sedang mendapat pengobatan harus dimonitor untuk melihat kemungkinan terjadinya efek samping, reaksi kusta, dan ulkus tropikum. Komplikasi yang tertentu yang terjadi selama pengobatan perlu rujuk pada pusat rujukan. C. Penanggulangan wabah: Tidak ada. D. Impilkasi bencana: Setiap penundaan pada jadwal pengobatan akan berakibat serius. Dalam keadaan perang, seringkali diagnosa dan pengobatan penderita kusta terabaikan. E. Tindakan Internasional: Pengawasan internasional dibatasi pada kasus menular yang belum mendapatkan pengobatan. Manfaatkan Pusat – pusat kerjasama WHO.




 

No comments:

Post a Comment