Postingan kali ini bersumber dari E-Book dengan Judul Manual Pemberantasan Penyakit Menular, by James Chin, MD, MPH Editor dan Dr, I Nyoman Kandun, MPH Edisi Ke 17 tahun 2000
Acquired Immunodeficiency Syndrome = ICD-9042-044; ICD-10B20-B24
(Infeksi HIV, AIDS)
1. Identifikasi.
AIDS adalah sindroma penyakit yang pertama kali dikenal pada tahun 1981. Sindroma ini menggambarkan tahap klinis akhir dari infeksi HIV. Beberapa minggu hingga beberapa bulan sesudah terinfeksi, sebagian orang akan mengalami penyakit “self-limited mononucleosis-like” akut yang akan berlangsung selama 1 atau 2 minggu. Orang yang terinfeksi mungkin tidak menunjukkan tanda atau simptom selama beberapa bulan atau tahun sebelum manifestasi klinis lain muncul. Berat ringannya infeksi ”opportunistic” atau munculnya kanker setelah terinfeksi HIV, secara umum terkait langsung dengan derajat kerusakan sistem kekebalan yang diakibatkannya. Definisi AIDS yang dikembangkan oleh CDC Atlanta tahun 1982 memasukkan lebih dari selusin infeksi “opportunistics” dan beberapa jenis kanker sebagai indikator spesifik akibat dari menurunnya kekebalan tubuh.
Di tahun 1987, definisi ini diperbaharui dan diperluas dengan memasukkan penyakit -penyakit indikator tambahan dan menerima beberapa penyakit indikator tersebut sebagai satu diagnosa presumtif dari bila tes laboratorium menunjukkan bukti adanya infeksi HIV. Di tahun 1993, CDC merubah kembali definisi surveilans dari AIDS dengan memasukkan penyakit indikator tambahan. Sebagai tambahan, semua orang yang terinfeksi HIV dengan CD4 + (hitung sel) < 200/cu mm atau pasien dengan CD4 + dan prosentase T-lymphocyte dari total lymphocyte < 14%, tanpa memperhatikan status klinis dianggap sebagai kasus AIDS. Disamping kriteria rendahnya jumlah CD4, definisi CDC tahun 1993 secara umum sudah diterima untuk tujuan klinis di banyak negara maju, tetapi tetap terlalu kompleks bagi negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang terkadang kekurangan fasilitas laboratorium yang memadai untuk pemeriksaan histologis atau diagnosis kultur bagi penyakit-penyakit indikator spesifik. WHO merubah definisi kasus AIDS yang dirumuskan di Afrika untuk digunakan dinegara berkembang pada tahun 1994 : yaitu dengan menggabungkan tes serologi HIV, jika tersedia, dan termasuk beberapa penyakit indikator sebagai pelengkap diagnostik bagi mereka yang seropositip. Manifestasi klinis dari HIV pada bayi dan balita tumpang tindih dengan imunodefisiensi turunan dan masalah kesehatan anak lainnya. CDC dan WHO telah mempublikasikan definisi kasus AIDS pada anak.
Proporsi orang yang terinfeksi HIV, tetapi tidak mendapat pengobatan anti-HIV dan akhirnya akan berkembang menjadi AIDS diperkirakan mencapai lebih dari 90 %. Karena tidak adanya pengobatan anti-HIV yang efektif, “case fatality rate” dari AIDS menjadi sangat tinggi, kebanyakan penderita di negara berkembang (80 - 90%) mati dalam 3 – 5 tahun sesudah didiagnosa terkena AIDS. Bagaimanapun, penggunaan obat-obatan profilaktik secara rutin untuk mencegah Pneumonia Pneumocystis carinii dan kemungkinan infeksi-infeksi lain di AS dan sebagain besar negara maju terbukti dapat menunda perkembangan AIDS dan mencegah kematian secara bermakna, mendahului tersedianya secara rutin obat anti-HIV yang efektif secara luas.
Tes serologis antibodi untuk HIV tersedia secara komersial sejak tahun 1985. Tes yang biasa digunakan, (ELISA/EIA) sangat sensitif dan spesifik. Namum walaupun tes ini hasilnya efektif, diperlukan tes tambahan lagi seperti Western Blot atau tes “indirect fluorescent antibody” (IFA). Tes tambahan dengan hasil negatif meniadakan tes EIA
positif pertama; sedangkan jika hasilnya positif mendukung tes EIA positif pertama, dan hasil tes Western Blot yang meragukan membutuhkan evaluasi lanjutan. WHO merekomendasikan sebagai alternatif penggunaan rutin Western Blot dan IFA, yaitu penggunaan tes lain yang secara metodologis dan atau secara antigen tidak tergantung pada tes awal EIA. Oleh karena hasil dari sebuah tes antibodi HIV yang positif sangat berarti bagi seseorang, maka direkomendasikan bahwa tes awal yang positif harus di konfirmasikan lagi dengan spesimen kedua dari pasien untuk mencegah kemungkinan terjadinya kesalahan pada pemberian label atau kesalahan penulisan hasil tes.
Pada umumnya, orang yang terinfeksi HIV akan membentuk antibodi yang terdeteksi dalam 1-3 bulan sesudah terinfeksi, kadang kala masa ini menjadi lebih panjang hingga 6 bulan, dan sangat jarang yang membentuk antibodi setelah 6 bulan. Tes lain untuk mendeteksi infeksi HIV selama periode sesudah terinfeksi namun belum terjadi serokonversi sudah tersedia, antara lain termasuk tes untuk sirkulasi antigen HIV (p24) dan tes PCR untuk mendeteksi sequensi asam nukleik dari virus. Karena “window period” antara kemungkinan terdeteksinya virus yang paling cepat dan terjadinya serokonversi sangat pendek (< 2 minggu) maka diagnosa infeksi HIV dengan tes ini jarang dilakukan. Namun tes ini bermanfaat untuk mendiagnosa infeksi HIV pada bayi yang dilahirkan oleh wanita penderita AIDS, karena antibodi maternal anti-HIV yang diberikan secara pasif, kadang menyebabkan tes anti-HIV EIA pada bayi ini menunjukkan hasil “false-positive” bahkan hingga umur 15 bulan. Angka T-helper cell (CD4+) absolut atau persentasenya sering digunakan untuk mengevaluasi beratnya infeksi HIV dan membantu para klinisi untuk memutuskan, terapi apa yang akan dilakukan.
2. Penyebab penyakit
Virus Human Immunodefisiensi (HIV) adalah sejenis retrovirus. Ada 2 tipe : tipe 1 (HIV-1) dan tipe 2 (HIV-2). Virus-virus ini secara serologis dan geografis relatif berbeda tetapi mempunyai ciri epidemiologis yang sama. Patogenisitas dari HIV-2 lebih rendah dibanding HIV-1.
3. Distribusi penyakit
AIDS pertama dikenal sebagai gejala entitas klinis yang aneh pada tahun 1981; namun secara retrospektif dapat dilacak kembali bahwa kasus AIDS secara terbatas telah muncul selama tahun 1970-an di AS dan di beberapa bagian di dunia (Haiti, Afrika, Eropa). Akhir 1999, lebih dari 700.000 kasus AIDS dilaporan di AS. Walaupun AS tercatat mempunyai kasus AIDS terbesar, estimasi kumulatif dan angka tahunan AIDS di negara-negara sub-Sahara Afrika ternyata jauh lebih tinggi. Di seluruh dunia, WHO memperkirakan lebih dari 13 juta kasus (dan sekitar 2/3 nya di negara-negara sub-Sahara Afrika) terjadi pada tahun 1999.
Di AS, distribusi kasus AIDS disebabkan oleh faktor “risk behavior” yang berubah pada dekade yang lalu. Walaupun wabah AIDS di AS terutama terjadi pada pria yang berhubungan sex dengan pria, angka pertambahan terbesar di laporkan pada pertengahan tahun 1990-an terjadi diantara wanita dan populasi minoritas. Pada tahun 1993 AIDS muncul sebagai penyebab kematian terbesar pada penduduk berusia 25 - 44 tahun, tetapi turun ke urutan kedua sesudah kematian yang disebabkan oleh kecelakaan pada tahun 1996. Namun, infeksi HIV tetap merupakan kasus tertinggi penyebab kematian pada pria
dan wanita kulit hitam berusia 25 - 44 tahun. Penurunan insidens dan kematian karena AIDS di Amerika Utara sejak pertengahan tahun 1990 antara lain karena efektifnya pengobatan antiretroviral, disamping upaya pencegahan dan evolusi alamiah dari wabah juga berperan. HIV/AIDS yang dihubungkan dengan penggunaan jarum suntik terus berperan dalam wabah HIV terutama dikalangan kaum minoritas kulit berwarna di AS. Penularan heteroseksual dari HIV di AS meningkat secara bermakna dan menjadi pola predominan dalam penyebaran HIV di negara-negara berkembang. Kesenjangan besar dalam mendapatkan terapi antiretroviral antara negera berkembang dan negara maju di ilustrasikan dengan menurunnya kematian karena AIDS pertahun di semua negara maju sejak pertengahan tahun 1990-an dibandingkan dengan meningkatnya kematian karena AIDS pertahun di sebagian besar negara berkembang yang mempunyai prevalensi HIV yang tinggi.
Di AS dan negara-negara barat, insidens HIV pertahunnya menurun secara bermakna sebelum pertengahan tahun 1980-an dan tetap relatif rendah sejak itu. Namun, di beberapa negara sub-Sahara Afrika yang sangat berat terkena penyakit ini, insidens HIV tahunan yang tetap tinggi hampir tidak teratasi sepanjang tahun 1980 dan 1990-an. Negara-negara di luar Sub-Sahara Afrika, tingginya prevalensi HIV (lebih dari 1%) pada populasi usia 15 - 49 tahun, ditemukan di negara-negara Karibia, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Dari sekitar 33.4 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS pada tahun 1999 diseluruh dunia, 22.5 juta diantaranya ada di negara-negara sub-Sahara Afrika dan 6,7 juta ada di Asia Selatan dan Asia Tenggara, 1,4 juta ada di Amerika Latin dan 665.000 di AS. Diseluruh dunia AIDS menyebabkan 14 juta kematian, termasuk 2,5 juta di tahun 1998. HIV-1 adalah yang paling tinggi; HIV-2 hanya ditemukan paling banyak di Afrika Barat dan di negara lain yang secara epidemiologis berhubungan dengan Afrika Barat.
4. Reservoir - manusia.
5. Cara penularan
HIV dapat ditularkan dari orang ke orang melalui kontak seksual, penggunaan jarum dan syringes yang terkontaminasi, transfusi darah atau komponen-komponennya yang terinfeksi; transplantasi dari organ dan jaringan yang terinfeksi HIV. Sementara virus kadang-kadang ditemukan di air liur, air mata, urin dan sekret bronkial, penularan sesudah kontak dengan sekret ini belum pernah dilaporan. Risiko dari penularan HIV melalui hubungan seks lebih rendah dibandingkan dengan Penyakit Menular Seksual lainnya. Namun adanya penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual terutama penyakit seksual dengan luka seperti chancroid, besar kemungkinan dapat menjadi pencetus penularan HIV. Determinan utama dari penularan melalui hubungan seksual adalah pola dan prevalensi dari orang orang dengan “sexual risk behavior” seperti melakukan hubungan seks yang tidak terlindung dengan banyak pasangan seks. Tidak ada bukti epidemiologis atau laboratorium yang menyatakan bahwa gigitan serangga bisa menularkan infeksi HIV, risiko penularan melalui seks oral tidak mudah diteliti, tapi diasumsikan sangat rendah.
Dari 15 – 30 % bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV (+) terinfeksi sebelum, selama atau segera sesudah dilahirkan : pengobatan wanita hamil dengan antivirus seperti zidovudine mengurangi kejadian penularan kepada bayi secara bermakna. Hampir 50 %
dari bayi yang disusui oleh ibu dengan HIV (+) dapat tertular infeksi HIV. Petugas kesehatan yang terluka oleh jarum suntik atau benda tajam lainnya yang mengandung darah yang terinfeksi virus HIV, angka serokonversi mereka < 0,5 %, lebih rendah dari risiko terkena virus hepatitis B (25%) sesudah terpajan dengan cara yang sama.
6. Masa inkubasi
Bervariasi. Walaupun waktu dari penularan hingga berkembang atau terdeteksinya antibodi, biasanya 1 – 3 bulan, namun waktu dari tertular HIV hingga terdiagnosa sebagai AIDS sekitar < 1 tahun hingga 15 tahun atau lebih. Tanpa pengobatan anti-HIV yang efektif, sekitar 50 % dari orang dewasa yang terinfeksi akan terkena AIDS dalam 10 tahun sesudah terinfeksi. Median masa inkubasi pada anak-anak yang terinfeksi lebih pendek dari orang dewasa. Bertambahnya ketersediaan terapi anti-HIV sejak pertengahan tahun 90 an mengurangi perkembangan AIDS di AS dan di banyak negara berkembang secara bermakna.
7. Masa penularan
Tidak diketahui, diperkirakan mulai berlangsung segera sesudah infeksi HIV dan berlangsung seumur hidup. Bukti-bukti epidemiologis menyatakan bahwa infektivitas meningkat dengan bertambahnya defisiensi imunologis, tanda-tanda klinis dan adanya Penyakit Menular Seksual (PMS) lainnya. Studi epidemiologis menyatakan bahwa infektivitas menjadi tinggi selama periode awal sesudah infeksi.
8. Kerentanan dan kekebalan
Tidak diketahui, tetapi suseptibilitas diasumsikan bersifat umum : ras, jenis kelamin dan kehamilan tidak mempengaruhi suseptibilitas terhatap infeksi HIV atau AIDS. Adanya STD lain, terutama luka, menambah suseptibilitas, begitu juga pada pria yang tidak dikhitan. Faktor terakhir ini terkait dengan masalah kebersihan penis. Mengapa penduduk Afrika yang terkena infeksi HIV lebih cepat berkembangnya menjadi AIDS dibandingkan dengan populasi lain, masih terus dalam penelitian. Satu - satunya faktor yang dapat diterima, yang mempengaruhi perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS adalah usia pada saat infeksi. Dewasa muda dan pria serta wanita dewasa yang terinfeksi HIV pada usia muda, biasanya lambat menderita AIDS, dibandingkan jika terinfeksi pada usia lebih tua.
Adanya potensi interaksi antara infeksi HIV dengan infeksi penyakit lainnya menjadi masalah kesehatan masyarakat yang memprihatinkan. Interkasi utama yang sampai saat ini diketahui adalah interaksi HIV dengan Mycobacterium Tuberculosis (Mtbc).
Mereka yang didalam tubuhnya mengidap infeksi Mtbc laten, jika terinfeksi HIV akan berkembang menjadi penderita TB klinis dengan cepat. Dikatakan risiko seorang dewasa terkena TB adalah 10%, namun jika mereka terinfeksi HIV maka risikonya menjadi 60 – 80% terkena TB. Interaksi antara HIV dengan Mtbc mengakibatkan terjadinya penderita TB paralel dengan HIV/AIDS. Di negara-negara Sub Sahara didaerah perkotaan 10–15 % orang dewasa mengalami infeksi HIV dan Mtbc secara bersamaan (“Dual Infection”), didaerah ini angka prevalensi TB meningkat 5–10 kali lipat pada pertengahan tahun 1990 an.
Tidak ada bukti konklusif yang menunjukkan bahwa infeksi lain termasuk TB mempercepat perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS.
9. Cara – cara Pencegahan
A. Upaya Pencegahan
Program pencegahan HIV/AIDS hanya dapat efektif bila dilakukan dengan komitmen masyarakat dan komitmen politik yang tinggi untuk mencegah dan atau mengurangi perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV. Upaya pencegahan meliputi :
1) Pemberian penyuluhan kesehatan di sekolah dan di masyarakat harus menekankan bahwa mempunyai pasangan seks yang berganti-ganti serta penggunaan obat suntik bergantian dapat meningkatkan risiko terkena infeksi HIV. Pelajar juga harus dibekali pengetahuan bagaimana untuk menghindari atau mengurangi kebiasaan yang mendatangkan risiko terkena infeksi HIV. Program untuk anak sekolah harus dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan mental serta kebutuhan mereka, begitu juga bagi mereka yang tidak sekolah. Kebutuhan kelompok minoritas, orang-orang dengan bahasa yang berbeda dan bagi penderita tuna netra serta tuna rungu juga harus dipikirkan.
2) Satu-satunya jalan agar tidak terinfeksi adalah dengan tidak melakukan hubungan seks atau hanya berhubungan seks dengan satu orang yang diketahui tidak mengidap infeksi. Pada situasi lain, kondom lateks harus digunakan dengan benar setiap kali seseorang melakukan hubungan seks secara vaginal, anal atau oral. Kondom lateks dengan pelumas berbahan dasar air dapat menurunkan risiko penularan melalui hubungan seks.
3) Memperbanyak fasilitas pengobatan bagi pecandu obat terlarang akan mengurangi penularan HIV. Begitu pula Program “Harm reduction”yang menganjurkan para pengguna jarum suntik untuk menggunakan metode dekontaminasi dan menghentikan penggunaan jarum bersama telah terbukti efektif.
4) Menyediakan fasilitas Konseling HIV dimana identitas penderita dirahasiakan atau dilakukan secara anonimus serta menyediakan tempat-tempat untuk melakukan pemeriksaan darah. Faslitas tersebut saat ini telah tersedia di seluruh negara bagian di AS. Konseling, tes HIV secara sukarela dan rujukan medis dianjurkan dilakukan secara rutin pada klinik keluarga berencana dan klinik bersalin, klinik bagi kaum homo dan terhadap komunitas dimana seroprevalens HIV tinggi. Orang yang aktivitas seksualnya tinggi disarankan untuk mencari pengobatan yang tepat bila menderita Penyakit Menular Seksual (PMS).
5) Setiap wanita hamil sebaiknya sejak awal kehamilan disarankan untuk dilakukan tes HIV sebagai kegiatan rutin dari standar perawatan kehamilan. Ibu dengan HIV positif harus dievaluasi untuk memperkirakan kebutuhan mereka terhadap terapi zidovudine (ZDV) untuk mencegah penularan HIV melalui uterus dan perinatal.
6) Berbagai peraturan dan kebijakan telah dibuat oleh USFDA, untuk mencegah kontaminasi HIV pada plasma dan darah. Semua darah donor harus diuji antibodi HIV nya. Hanya darah dengan hasil tes negatif yang digunakan. Orang yang mempunyai kebiasaan risiko tinggi terkena HIV sebaiknya tidak mendonorkan plasma, darah, organ-organ untuk transplantasi, sel atau jaringan (termasuk cairan semen untuk inseminasi buatan). Institusi (termasuk bank sperma, bank susu atau bank tulang) yang mengumpulkan plasma, darah atau organ harus menginformasikan tentang peraturan dan kebijakan ini kepada donor potensial dan tes HIV harus dilakukan terhadap semua donor. Apabila mungkin, donasi sperma, susu atau tulang harus dibekukan dan disimpan selama 3 – 6 bulan. Donor yang
tetap negatif setelah masa itu dapat di asumsikan tidak terinfeksi pada waktu menjadi donor.
7) Jika hendak melakukan transfusi Dokter harus melihat kondisi pasien dengan teliti apakah ada indikasi medis untuk transfusi. Transfusi otologus sangat dianjurkan.
8) Hanya produk faktor pembekuan darah yang sudah di seleksi dan yang telah diperlakukan dengan semestinya untuk menonaktifkan HIV yang bisa digunakan.
9) Sikap hati-hati harus dilakukan pada waktu penanganan, pemakaian dan pembuangan jarum suntik atau semua jenis alat-alat yang berujung tajam lainnya agar tidak tertusuk. Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan lateks, pelindung mata dan alat pelindung lainnya untuk menghindari kontak dengan darah atau cairan yang mengandung darah. Setiap tetes darah pasien yang mengenai tubuh petugas kesehatan harus dicuci dengan air dan sabun sesegera mungkin. Kehati-hatian ini harus di lakukan pada semua pasien dan semua prosedur laboratorium (tindakan kewaspadaan universal).
10) WHO merekomendasikan pemberian imunisasi bagi anak-anak dengan infeksi HIV tanpa gejala dengan vaksin-vaksin EPI (EXPANDED PROGRAMME ON IMMUNIZATION); anak-anak yang menunjukkan gejala sebaiknya tidak mendapat vaksin BCG. Di AS, BCG dan vaksin oral polio tidak direkomendasikan untuk diberikan kepada anak-anak yang terinfeksi HIV tidak perduli terhadap ada tidaknya gejala, sedangkan vaksin MMR (measles-mumps-rubella) dapat diberikan kepada anak dengan infeksi HIV.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya :
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat; mengirimkan laporan resmi kasus AIDS adalah wajib di semua jajaran kesehatan di AS dan hampir di semua negara di dunia. Sebagian besar negara bagian di AS menerapkan sistem pelaporan infeksi HIV ini. Laporan resmi mungkin dibutuhkan di berbagai negara atau provinsi, Kelas 2B (lihat tentang pelaporan penyakit menular)
2). Isolasi; mengisolasi orang dengan HIV positif secara terpisah tidak perlu, tidak efektif dan tidak dibenarkan. “Universal Precaution”(kewaspadaan universal) (q.v) diterapkan untuk semua penderita yang dirawat. Tindakan kewaspadaan tambahan tertentu perlu dilakukan pada infeksi spesifik yang terjadi pada penderita AIDS.
3). Disinfeksi serentak; dilakukan terhadap alat alat yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh dengan menggunakan larutan pemutih (chlorine) atau germisida tuberkulosidal.
4). Karantina; tidak diperlukan. Penderita HIV/AIDS dan pasangan seks mereka sebaiknya tidak mendonasikan darah, plasma, organ untuk transplantasi, jaringan, sel, semen untuk inseminasi buatan atau susu untuk bank susu manusia.
5). Imunisasi dari orang orang yang kontak; tidak ada.
6). Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi; Di AS pasangan seks dari para penderita HIV/AIDS atau pasangan pengguna jarum suntik bersama, bila memungkinkan, di laporkan sendiri oleh si penderita. Rujukan oleh petugas di benarkan bila pasien, sesudah dilakukan konseling, tetap menolak untuk memberitahukan pasangan seks mereka, dan untuk itu petugas harus betul-betul yakin bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang membahayakan indeks kasus bila
pasangannya diberitahu. Tindakan yang sangat hati-hati harus dilakukan untuk melindungi kerahasiaan penderita.
7). Pengobatan spesifik : di sarankan untuk melakukan diagnosa dini dan melakukan rujukan untuk evaluasi medis. Rujuklah sumber informasi mutakhir tentang obat yang tepat, jadwal dan dosisnya. Pedoman pengobatan HIV/AIDS yang selalu diperbaharui setiap saat tersedia pada “CDC National Clearing house” (1-800-458-5231) dan dapat diakses melalui Clearing house World Wide Website (http:www.cdcnpin.org).
a. Sebelum ditemukan pengobatan antiretrovirus yang relatif efektif, dan tersedia secara rutin di AS sekitar tahun 90-an, pengobatan yang ada pada waktu itu hanya ditujukan kepada penyakit “opportunistic” yang diakibatkan oleh infeksi HIV. Penggunaan TMP-SMX oral untuk tujuan profilaktik, dengan pentamidin aerosol kurang efektif, obat ini di rekomendasikan untuk mencegah penumonia P. carinii. Semua orang yang terinfeksi HIV terhadap mereka harus dilakukan tes tuberkulin dan dievaluasi apakah mereka penderita TBC aktif. Jika diketahui menderita TB aktif, pasien harus diberi terapi anti tuberkulosa. Jika bukan TB aktif, pasien dengan tes tuberkulin positif atau yang anergik tetapi baru saja terpajan dengan TB harus diberikan terapi dengan isoniazid untuk 12 bulan.
b. Keputusan untuk memulai atau merubah terapi antiretrovirus harus di pandu dengan memonitor hasil pemeriksaan parameter laboratorium baik Plasma HIV RNA (viral load) maupun jumlah sel CD4+T dan dengan melihat kondisi klinis dari pasien. Hasil dari dua parameter ini memberikan informasi penting tentang status virologi dan imunologi dari pasien dan risiko dari perkembangan penyakit menjadi AIDS. Sekali keputusan untuk memberi terapi antiretrovirus diambil, pengobatan harus di lakukan dengan agresif dengan tujuan menekan virus semaksimal mungkin. Pada umumnya, harus diawali dengan penggunaan inhibitor protease dan dua inhibitor “non nucleoside reverse transcriptase”. Regimen lain mungkin digunakan tetapi dianggap kurang optimal. Pertimbangan spesifik di berikan kepada orang dewasa dan wanita hamil, dan bagi pasien pasien ini sebaiknya digunakan regimen pengobatan spesifik.
c. Hingga pertengahan tahun 1999, satu-satunya obat yang dapat mengurangi risiko penularan HIV perinatal hanya AZT dan di berikan sesuai dengan regimen berikut: diberikan secara oral sebelum kelahiran, mulai 14 minggu usia kehamilan dan diteruskan sepanjang kehamilan, diberikan intravena selama periode intra-partum; diberikan oral bagi bayi baru lahir hingga berusia 6 minggu. Regimen “chemoprophylactic” ini menurunkan risiko penularan HIV hingga 66 %. Terapi AZT yang lebih singkat mengurangi risiko penularan hingga 40%. Dari studi di Uganda, dilaporkan bahwa pada bulan Juli 1999 dosis tunggal nevirapine yang diberikan kepada ibu yang terinfeksi HIV diikuti dengan dosis tunggal kepada bayi hingga berusia 3 hari, memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kedua terapi diatas. Hanya 13.1 % dari bayi yang mendapat terapi nevirapine yang terinfeksi HIV, dibandingkan dengan 25.1 % dari kelompok yang mendapat terapi AZT. Harga Nevirapine kurang dari 4 dollar satu dosisnya, sehingga prospek untuk melindungi penularan ibu ke anak di negara berkembang lebih memungkinkan di era milinium ini.
Namun, kurang tersedianya fasilitas tes HIV dan jasa konsultasi bagi wanita hamil di negara-negara berkembang yang termiskin di Afrika tetap merupakan sebuah tantangan yang berat. Disamping itu kurang tersedianya pengobatan anti HIV bagi orang dewasa membuat angka anak-anak yang menjadi yatim-piatu bertambah di negara-negara ini.
d. Penanganan tenaga kesehatan yang sehari-harinya terpajan darah dan cairan tubuh yang mungkin mengandung virus HIV sangat kompleks. Sifat pajanan dan faktor-faktor seperti kemungkinan hamil dan strain HIV yang resisten terhadap obat harus dipertimbangkan sebelum Profilaksis HIV pasca pemajanan (Postexposure prophylaxis = PEP) di berikan. Akhir tahun 1999, pemberian PEP yang dianjurkan termasuk pemberian regimen dasar selama 4 minggu yang terdiri dari 2 jenis obat (zidovudine dan lamivudine) untuk semua jenis pemajanan HIV, termasuk juga regimen yang telah dikembangkan, dengan tambahan protease inhibitor (indinavir atau nelfinavir) yang ditujukan bagi orang yang terpajan kuman HIV yang keberadaannya membuat mereka mempunyai risiko tinggi tertular atau utnuk mereka yang diketahui atau dicurigai resisten terhadap satu atau lebih obat antiretroviral yang direkomendasikan untuk PEP. Institusi pelayanan kesehatan seharusnya mempunyai pedoman yang mempermudah dan memberikan akses yang tepat untuk perawatan pasca pemajanan bagi petugas kesehatan dan pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan peristiwa pemajanan.
C. Penanggulangan wabah - HIV saat ini sudah pandemik, dengan jumlah penderita yang sangat besar di laporkan di Amerika, Eropa, Afrika dan Asia Tenggara. Lihat 9A, diatas untuk rekomendasi.
D. Implikasi bencana - Petugas emergensi harus mengikuti prosedur kewaspadaan universal, jika sarung tangan lateks tidak tersedia dan permukaan kulit kontak dengan darah, harus dicuci sesegera mungkin. Masker, kacamata pelindung dan pakaian pelindung di sarankan untuk dipakai ketika melakukan tindakan yang bisa menyebabkan semburan atau percikan darah atau cairan tubuh. Transfusi untuk keadaan darurat sebaiknya menggunakan darah donor yang telah diskrining terhadap antibodi HIV, jika uji saring tidak mungkin dilakukan maka donasi sebaiknya di terima hanya dari donor yang tidak mempunyai perilaku yang memungkinkan terinfeksi oleh HIV, dan lebih disukai donor yang sebelumnya terbukti negatif untuk antibodi HIV.
E. Tindakan Internasional - Program pencegahan dan pengobatan global dikoordinasi oleh WHO yang dimulai pada tahun 1987. Sejak tahun 1995, program AIDS global dikoordinasikan oleh UNAIDS. Sebenarnya semua negara di seluruh dunia telah mengembangkan program perawatan dan pencegahan AIDS. Beberapa negara telah melembagakan keharusan pemeriksaan AIDS atau HIV untuk masuknya pendatang asing (terutama bagi mereka yang meminta visa tinggal atau visa yang lebih panjang, seperti visa belajar atau visa kerja) WHO dan UNAIDS belum mendukung tindakan ini.
No comments:
Post a Comment