script src='http://elmubarok.googlecode.com/files/floating1.js' type='text/javascript'/>

http://ikkibondenkkesmas.blogspot.com/2010/03/about-me.html

Kata Rasullullah ada tiga amalan yang jika dikerjakan maka Amalnya akan mengalir meskipun yang mengamalkannya telah meninggalal dunia diantaranya adalah ILMU BERMANFAAT YANG DIAJARKAN.

Monday 2 February 2009

ANGIOSTRONGYLIASIS (Eosinophilic meningoenchepalitis, Eosinophilic meningitis)

Postingan kali ini bersumber dari E-Book dengan Judul Manual Pemberantasan Penyakit Menular, by James Chin, MD, MPH Editor dan Dr, I Nyoman Kandun, MPH Edisi Ke 17 tahun 2000

ANGIOSTRONGYLIASIS ICD-9 128.8; ICD-10 B83.2
(Eosinophilic meningoenchepalitis, Eosinophilic meningitis)
1. Identifikasi.
Penyakit nematoda dari Susunan Saraf Pusat (SSP) terutama menyerang selaput otak. Invasi parasit mungkin tidak memberikan gejala atau muncul gejala yang ringan, pada umumnya ditandai dengan sakit kepala berat, kaku pada leher dan punggung dengan paresthesia yang bervariasi. Kira kira 5 % penderita mengalami kelumpuhan pada muka dan terjadi secara temporer. Demam ringan mungkin muncul. Cacing ditemukan di Liquor Cerebrospinalis (LCS) dan mata. LCS biasanya menunjukkan gejala pleositosis dengan
lebih dari 20 % eosinofil; Eosinofilia tidak selalu ada tetapi mencapai sekitar 82 %. Penyakit berlangsung dari beberapa hari hingga beberapa bulan. Jarang terjadi kematian.
Diferensial diagnosis adalah dengan cysticercosis otak, paragonimiasis, echinococcosis, gnathomiasis, tuberculous meningitis, coccidiodal meningitis, aseptic meningitis dan neurosyphillis.
Diagnosa, terutama di daerah endemis, yaitu dengan ditemukannya sel eosinofil di dalam LCS dan adanya riwayat pernah mengkonsumsi kerang mentah. Tes imunodiagnostik bersifat presumtif; ditemukannya cacing di dalam LCS atau pada otopsi lebih menegaskan diagnosa.
2. Penyebab penyakit
Parastrongylus (Angiostrongylus) cantonensis, adalah nematoda (cacing paru dari tikus). Larva stadium 3 pada hospes intermediair (kerang darat atau kerang laut) infektif terhadap manusia.
3. Disribusi penyakit.
Penyakit ini endemis di Hawaii, Tahiti, banyak pulau di Kepulauan Pasifik, Vietman, Thailand, Malaysia, Cina, Indonesia, Taiwan, Filipina dan Kuba. Nematoda ditemukan di bagian utara Jepang, Selatan Brisbane, Australia dan di Afrika ditemukan di bagian barat Pantai Gading dan juga dilaporkan ditemukan di Madagaskar, Mesir, Puertorico dan New Orleans (AS).
4. Reservoir : tikus (Rattus and Bandicota spp)
5. Cara penularan :
Karena memakan siput mentah atau setengah matang, siput dan planarian darat yang merupakan hospes intermediair atau berperan sebagai alat transport yang mengandung larva infektif. Udang, ikan dan kepiting darat yang memakan kerang atau siput bisa membawa larva infektif. Salada dan sayuran lainnya yang terkontaminasi oleh kerang kecil bisa berperan sebagai sumber infeksi. Kerang terinfeksi oleh larva stadium pertama yang diekskresikan oleh tikus yang terinfeksi; pada saat larva stadium ketiga berkembang didalam kerang, maka tikus (dan manusia) yang menelan kerang juga akan terinfeksi. Di dalam tubuh tikus, larva pindah ke otak dan di otak matang menjadi stadium dewasa; larva dewasa muda pindah ke permukaan otak dan melalui pembuluh vena mencapai tujuan akhir mereka di arteri pulmonaris.
Sesudah kawin, cacing betina meninggalkan telur-telurnya yang kemudian menetas di ujung arteri pulmonaris; larva stadium pertama memasuki sistem bronkhi, melewati trakhea, tertelan dan keluar melalui tinja. Pada manusia, siklus ini jarang sekali melewati stadium SSP (Susunan Saraf Pusat).
6. Masa inkubasi : Biasanya 1 – 3 minggu, bisa juga lebih pendek atau lebih panjang.
7. Masa penularan : Tidak ditularkan dari orang ke orang.
8. Kerentanan dan kekebalan.
Semua orang rentan terhadap infeksi. Malnutrisi dan penyakit penyakit yang melemahkan keadaan umum bisa membuat penyakit ini bertambah berat bahkan fatal.
9. Cara pemberantasan.
A. Tindakan pencegahan.
1). Memberi penyuluhan kepada masyarakat umum tentang cara-cara menyiapkan makanan mentah dan makanan yang berasal dari siput baik siput darat maupun laut.
2). Pengendalian tikus.
3). Rebus siput, udang, ikan dan kepiting selama 3 – 5 menit atau bekukan pada – 15 oC (5oF) selama 24 jam; tindakan ini efektif membunuh larva.
4). Hindari makan makanan mentah yang terkontaminasi oleh siput dan mollusca, membersihkan salada dan sayur-sayuran dengan seksama untuk menghilangkan mollusca tidak selalu dapat menghilangkan larva yang infektif. Radiasi dan pasturisasi akan sangat efektif.
B. Pengawasan dari penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1). Laporan kepada institusi kesehatan setempat; laporan resmi tidak dilakukan. Class 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi: tidak dilakukan.
3). Disinfeksi serentak : Tidak diperlukan.
4). Karantina : tidak dilakukan.
5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan.
6). Investigasi dari kontak dan sumber infeksi : perlu dilakukan investigasi terhadap makanan yang diduga sebagai sumber infeksi serta cara-cara makanan tersebut disiapkan.
7). Pengobatan spesifik : Mebendazole dan albendazole efektif untuk pengobatan anak-anak di Taiwan.
C. Penanggulangan wabah : Jika ditemukan adanya pengelompokan sejumlah kasus dalam wilayah geografis tertentu atau pada suatu institusi tertentu, segera lakukan penyelidikan epidemiologis.
D. Implikasi bencana : tidak ada.
E. Tindakan internasional : tidak ada.

ANGIOSTRONGYLIASIS ICD-9 128.8; ICD-10 B83.2
(Eosinophilic meningoenchepalitis, Eosinophilic meningitis)
1. Identifikasi.
Penyakit nematoda dari Susunan Saraf Pusat (SSP) terutama menyerang selaput otak. Invasi parasit mungkin tidak memberikan gejala atau muncul gejala yang ringan, pada umumnya ditandai dengan sakit kepala berat, kaku pada leher dan punggung dengan paresthesia yang bervariasi. Kira kira 5 % penderita mengalami kelumpuhan pada muka dan terjadi secara temporer. Demam ringan mungkin muncul. Cacing ditemukan di Liquor Cerebrospinalis (LCS) dan mata. LCS biasanya menunjukkan gejala pleositosis dengan lebih dari 20 % eosinofil; Eosinofilia tidak selalu ada tetapi mencapai sekitar 82 %. Penyakit berlangsung dari beberapa hari hingga beberapa bulan. Jarang terjadi kematian.
Diferensial diagnosis adalah dengan cysticercosis otak, paragonimiasis, echinococcosis, gnathomiasis, tuberculous meningitis, coccidiodal meningitis, aseptic meningitis dan neurosyphillis.
Diagnosa, terutama di daerah endemis, yaitu dengan ditemukannya sel eosinofil di dalam LCS dan adanya riwayat pernah mengkonsumsi kerang mentah. Tes imunodiagnostik bersifat presumtif; ditemukannya cacing di dalam LCS atau pada otopsi lebih menegaskan diagnosa.
2. Penyebab penyakit
Parastrongylus (Angiostrongylus) cantonensis, adalah nematoda (cacing paru dari tikus). Larva stadium 3 pada hospes intermediair (kerang darat atau kerang laut) infektif terhadap manusia.
3. Disribusi penyakit.
Penyakit ini endemis di Hawaii, Tahiti, banyak pulau di Kepulauan Pasifik, Vietman, Thailand, Malaysia, Cina, Indonesia, Taiwan, Filipina dan Kuba. Nematoda ditemukan di bagian utara Jepang, Selatan Brisbane, Australia dan di Afrika ditemukan di bagian barat Pantai Gading dan juga dilaporkan ditemukan di Madagaskar, Mesir, Puertorico dan New Orleans (AS).
4. Reservoir : tikus (Rattus and Bandicota spp)
5. Cara penularan :
Karena memakan siput mentah atau setengah matang, siput dan planarian darat yang merupakan hospes intermediair atau berperan sebagai alat transport yang mengandung larva infektif. Udang, ikan dan kepiting darat yang memakan kerang atau siput bisa membawa larva infektif. Salada dan sayuran lainnya yang terkontaminasi oleh kerang kecil bisa berperan sebagai sumber infeksi. Kerang terinfeksi oleh larva stadium pertama yang diekskresikan oleh tikus yang terinfeksi; pada saat larva stadium ketiga berkembang didalam kerang, maka tikus (dan manusia) yang menelan kerang juga akan terinfeksi. Di dalam tubuh tikus, larva pindah ke otak dan di otak matang menjadi stadium dewasa; larva dewasa muda pindah ke permukaan otak dan melalui pembuluh vena mencapai tujuan akhir mereka di arteri pulmonaris.
Sesudah kawin, cacing betina meninggalkan telur-telurnya yang kemudian menetas di ujung arteri pulmonaris; larva stadium pertama memasuki sistem bronkhi, melewati trakhea, tertelan dan keluar melalui tinja. Pada manusia, siklus ini jarang sekali melewati stadium SSP (Susunan Saraf Pusat).
6. Masa inkubasi : Biasanya 1 – 3 minggu, bisa juga lebih pendek atau lebih panjang.
7. Masa penularan : Tidak ditularkan dari orang ke orang.
8. Kerentanan dan kekebalan.
Semua orang rentan terhadap infeksi. Malnutrisi dan penyakit penyakit yang melemahkan keadaan umum bisa membuat penyakit ini bertambah berat bahkan fatal.
9. Cara pemberantasan.
A. Tindakan pencegahan.
1). Memberi penyuluhan kepada masyarakat umum tentang cara-cara menyiapkan makanan mentah dan makanan yang berasal dari siput baik siput darat maupun laut.
2). Pengendalian tikus.
3). Rebus siput, udang, ikan dan kepiting selama 3 – 5 menit atau bekukan pada – 15 oC (5oF) selama 24 jam; tindakan ini efektif membunuh larva.
4). Hindari makan makanan mentah yang terkontaminasi oleh siput dan mollusca, membersihkan salada dan sayur-sayuran dengan seksama untuk menghilangkan mollusca tidak selalu dapat menghilangkan larva yang infektif. Radiasi dan pasturisasi akan sangat efektif.
B. Pengawasan dari penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1). Laporan kepada institusi kesehatan setempat; laporan resmi tidak dilakukan. Class 5 (lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2). Isolasi: tidak dilakukan.
3). Disinfeksi serentak : Tidak diperlukan.
4). Karantina : tidak dilakukan.
5). Imunisasi kontak : tidak dilakukan.
6). Investigasi dari kontak dan sumber infeksi : perlu dilakukan investigasi terhadap makanan yang diduga sebagai sumber infeksi serta cara-cara makanan tersebut disiapkan.
7). Pengobatan spesifik : Mebendazole dan albendazole efektif untuk pengobatan anak-anak di Taiwan.
C. Penanggulangan wabah : Jika ditemukan adanya pengelompokan sejumlah kasus dalam wilayah geografis tertentu atau pada suatu institusi tertentu, segera lakukan penyelidikan epidemiologis.
D. Implikasi bencana : tidak ada.
E. Tindakan internasional : tidak ada.
ANGIOSTRONGYLIASIS ABDOMINALIS ICD-9 128.8
ANGIOSTRONGYLIASIS INTESTINALIS ICD-10 B81.3
Pada tahun 1967, sindroma yang mirip dengan penyakit usus buntu ditemukan di Costa Rica, terutama pada anak-anak dibawah usia 13 tahun, dengan rasa sakit dan tegang pada perut dan fosa iliaca kanan dan punggung, demam, tidak nafsu makan, muntah, terasa kaku pada abdomen, teraba massa seperti tumor di bagian kanan bawah dan terasa sakit ketika dilakukan tuse rektal. Lekositosis umumnya berada pada angka 20.000 dan 30.000/cu mm (unit SI: 20 – 30 x 109/L) dengan eosinofil berkisar dari 11 % hingga 61 %. Pada waktu dilakukan operasi, ditemukan jaringan granulasi berwarna kuning pada lapisan subserosa dinding usus. Dan telur serta larva dari Parastrongylus (Angiostrongylus) costaricensis ditemukan di pembuluh limfe, dinding usus dan omentum; cacing dewasa ditemukan di arteri kecil, pada umumnya di daerah ileosekal. Infeksi ditemukan pada penduduk di Amerika Tengah, Amerika Selatan dan di AS.
Reservoir parasit ini adalah tikus (tikus kapas, Sigmodon hispidus, cacing ini antara lain ditemukan di daerah selatan AS), siput biasanya selalu merupakan hospes intermediair. Cacing dewasa hidup di arteria mesenterika di daerah sekal, dan telur-telurnya dibawa ke dinding usus halus. Pada masa embrionasi, larva stadium pertama pindah ke lumen usus, dikeluarkan bersama tinja dan di telan oleh siput. Didalam tubuh siput, larva ini berkembang hingga stadium tiga, yang sudah infektif bagi manusia dan tikus. Larva infektif ini ditemukan pada lendir keong yang ditinggalkan di permukaan tanah dan permukaan tempat-tempat lain. Jika lendir atau keong kecil ini ditelan oleh manusia, maka larva infektif ini masuk ke dalam dinding usus, menjadi matang di kelenjar limfe dan pembuluh darah limfa. Cacing dewasa migrasi ke arteriolae mesenterika di daerah ileosekal dimana telur-telur diletakkan. Pada manusia, sebagian besar telur dan larva ini mengalami degenerasi dan menyebabkan reaksi granulomatosa. Tidak ada pengobatan spesifik, tindakan bedah kadang-kadang perlu dilakukan.
ANISAKIASIS ICD-9 127.1; ICD-10 B81.0
1. Identifikasi.
Merupakan penyakit parasit dari saluran pencernaan manusia biasanya ditandai dengan gejala sakit pada abdomen, kejang dan muntah, oleh karena mengkonsumsi makanan mentah atau ikan laut yang belum diolah, yang mengandung larva cacing ascaridoid. Larva yang motil bergerak menembus dinding lambung menimbulkan lesi atau ulkus akut disertai dengan mual, muntah dan sakit epigastrik, kadang disertai dengan hematemesis. Larva ini mungkin migrasi ke atas dan menempel di dinding orofaring dan menyebabkan batuk. Di usus halus, larva menimbulkan abses eosinofil, dengan gejala menyerupai apendisitis atau enteritis. Pada saat larva menembus masuk rongga peritoneal, jarang sekali mengenai usus besar.
Diagnosa dibuat dengan menemukan larva dengan panjang 2 cm yang masuk kedaerah orofaring atau dengan menemukan larva melalui pemeriksaan gastroskopik atau menemukan larva pada sampel jaringan yang diambil dengan cara pembedahan. Tes serologis sedang dalam pengembangan.
2. Penyebab penyakit.
Larva nematoda dari sub famili Anisakinae genera Anisakis dan Pseudoterranova.
3. Distribusi penyakit.
Penyakit menimpa orang yang mengkonsumsi ikan laut, gurita atau cumi mentah atau yang tidak ditangani dengan baik (dibekukan, diasinkan, direndam garam atau diasap). Kebiasaan makan ikan mentah ini umum terjadi di Jepang (sushi dan sashimi), Belanda (herring), Skandinavia (gravlax), dan di Pantai Pasifik dari Amerika Latin (ceviche). Lebih dari 12.000 kasus ditemukan di Jepang. Dahulu penyakit ini sering ditemukan di Belanda. Namun sekarang terlihat jumlah penderita bertambah hampir diseluruh Eropa Barat dan AS dengan meningkatnya konsumsi ikan mentah.
4. Reservoir.
Anisakinae tersebar luas di alam, tetapi hanya jenis tertentu saja yang menjadi parasit pada mamalia laut dan merupakan ancaman bagi manusia. Siklus hidup parasit ini dialam meliputi transmisi larva dari satu predator ke predator lain, yaitu dari crustacea yang dimakan oleh cumi, gurita atau ikan, lalu dimakan oleh mamalia laut sedangkan manusia sebagai hospes insidental.
5. Cara penularan
Larva infektif hidup di dalam mesenterium perut ikan; seringkali sesudah ikan mati larva pindah ke otot ikan. Ketika dimakan oleh manusia larva dilepaskan pada waktu dicerna dalam perut, larva bisa menembus mukosa lambung atau mukosa usus.
6. Masa inkubasi
Gejala-gejala pada lambung bisa muncul dalam beberapa jam sesudah menelan larva infektif. Gejala pada usus besar dan usus halus muncul dalam beberapa hari hingga beberapa minggu tergantung dari jumlah, besar dan lokasi larva.
7. Masa penularan : Penularan langsung dari orang ke orang tidak terjadi.
8. Kerentanan dan Kekebalan : Setiap orang rentan terhadap penyakit ini.
9. Cara - cara pemberantasan.
A. Tindakan pencegahan
1). Hindari mengkonsumsi ikan laut yang tidak dimasak dengan baik. Panaskan ikan laut hingga 60 oC(140 oF) selama 10 menit, bekukan hingga – 35 oC (-31oF) atau lebih rendah selama 15 jam atau bekukan dengan cara biasa pada – 23oC (-10oF) selama paling tidak 7 hari, cara ini akan membunuh larva. Cara pengendalian yang dikembangkan akhir-akhir ini dilaksanakan dengan sukses di Belanda. Irradiasi efektif membunuh parasit.
2). Membersihkan dan membuang usus (eviscerasi) ikan secepat mungkin sesudah ditangkap dapat mengurangi jumlah larva yang masuk ke dalam otot mesenterik.
3). Penerangan dengan lilin direkomendasikan untuk menerangi produk ikan dimana dengan penerangan ini parasit bisa dilihat.
B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1). Laporan pada instansi kesehatan setempat : tidak dianjurkan, Kelas 5 (lihat Tentang pelaporan penyakit menular). Namun perlu dilaporkan jika ditemukan satu kasus atau lebih di daerah yang sebelumnya tidak pernah dilaporkan ada kasus, atau didaerah dimana tindakan pengendalian sedang berlangsung, kasus yang ditemukan sebaiknya dilaporkan.
2). Isolasi : tidak diperlukan .
3). Disinfeksi serentak : tidak diperlukan.
4). Karantina : tidak diperlukan.
5). Imunisasi kontak : tidak diperlukan
6). Investigasi kontak dan sumber infeksi : tidak ada.
7). Pengobatan spesifik : menghilangkan larva dengan cara gastroskopik, eksisi dari luka.
C. Penanggulangan wabah : tidak ada
D. Implikasi bencana : tidak ada.
E. Tindakan internasional : tidak ada. 

No comments:

Post a Comment